Relasi Ala Yesus

737
Renungan Mingguan_edisi-23. [Dok.HIDUP]

HIDUPKATOLIK.com Minggu, 10 Juni 2018, Minggu Biasa X : Kej 3:9-15; Mzm 130:1-2, 3-4ab, 4c-6, 7-8; 2Kor 4:13-5:1; Mrk 3:20-35.

“Sebaliknya, banyak orang Kristiani menemukan saudara-saudari baru, bahkan yang bukan keluarganya, sedarah, atau atas dasar suku atau bangsa, justru karena dasar persaudaraannya adalah relasi baik dengan Allah.”

SALAH satu isi dari bacaan pertama (Kej 3:9-15) dan Injil (Mrk 3:20-35) yang bisa kita jadikan bahan permenungan adalah relasi. Kutipan dari Kejadian itu menggambarkan rusaknya relasi Allah dan manusia, Adam dan Hawa, dan antar mereka berdua, yang adalah suami-isteri.

Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam, yang berarti keduanya sesungguhnya satu, telah terpisah. Kerusakan itu karena mereka tidak menaati kehendak Allah. Mereka menuruti keinginan sepele yaitu makanan (buah terlarang). Sebagai usaha mempertahankan diri, masing-masing melemparkan kesalahannya ke pihak lain. Relasi dengan Allah dan sesama tetap rusak dan tidak terpulihkan.

Sedangkan Markus berbicara tentang relasi Yesus, orang Farisi, dan kaum keluarga-Nya. Yesus mewartakan datangnya Kerajaan Allah dan seruan untuk bertobat (lih. Mrk 1: 15) membuat pendengarnya bertanya-tanya.

Ajaran ini dipandang baru (lih. Mrk 1:27), apalagi tindakan Yesus mengampuni dosa (lih. Mrk 2:5) dianggap aneh sehingga tidak dapat mereka terima. Tindakan mengusir setan juga mendapat reaksi negatif. Ahli Taurat menuduh, setan keluar karena Yesus mendapat bantuan Beelzebul.

Semua menjadikan relasi antara Yesus dan beberapa pihak terganggu. Boleh jadi kurangnya waktu bersama kaum keluarga-Nya menimbulkan anggapan bahwa Ia tidak waras.

Yesus memanfaatkan situasi itu untuk menyampaikan ajaran baru tentang relasi yang benar yang mesti dikembangkan. Persaudaraan berdasarkan hubungan darah tidak lagi dipandang paling penting.

Yang menentukan adalah relasi dengan Yesus dan juga dengan Allah. Ajaran baru ini pasti tidak sesuai dengan faham hidup bangsa Israel yang beranggapan bahwa jaminan keselamatan adalah menjadi warga Bangsa Terpilih.

Tidak termasuk bangsa itu maka tidak terberkati dan berada di luar keselamatan. Bisa dimengerti, banyak warga Yahudi, bahkan warga tempat asal Yesus sendiri menutup diri dan tidak mendengar dan percaya kepada-Nya.

Mereka merasa tidak memerlukannya. Namun, tidak sedikit orang di luar Israel yang terbuka hati dan percaya. Yesus menegaskan, bahwa yang menentukan keselamatan adalah relasi dengan Allah, yaitu yang melakukan kehendak-Nya, dan bukan relasi berdasarkan hubungan darah, suku, atau bangsa.

Siapapun yang melakukan kehendak Allah, menjadi saudara-saudari dan Ibu Yesus. Merekalah yang memperoleh keselamatan. Tidak sedikit orang Katolik beranggapan, dibaptis dan menjadi warga Gerejalah jaminan keselamatan. Asal dibaptis pasti selamat. Status sebagai orang Katolik dirasa cukup.

Dengan status yang lebih berciri administratif itu orang sudah membanggakan diri, khususnya karena dibaptis sejak kecil dan memiliki identitas jelas sebagai Katolik. Dalam banyak kesempatan, itu menjadi alasan untuk tidak memperdalam isi iman Katolik.

Melaksanakan kewajiban-kewajiban orang Katolik juga dipandang sebagai opsi, boleh ya, tidakpun tidak apa-apa. Jika demikian, hidup imannya tidak akan berkembang. Bisa diandaikan relasi dengan Allah juga renggang bahkan tidak diperhatikan.

Yang berkembang justru sikap tertutup terhadap masukan dan kritik. Sikap itu membuat orang menjadi fanatik dalam arti negatif, sehingga sulit berkembang. Tidak jarang relasi dengan saudara seiman pun kurang baik.

Praktik hidup itu diperparah dengan anggapan, bahwa mereka yang memberi masukan atau membantu untuk memperbaiki keadaan, dianggap mengganggu, sehingga relasi menjadi kurang baik.

Seperti dialami Yesus. Saat Ia menyuarakan pembaruan dan memperbaiki keadaan dengan mengembalikan relasi dengan Allah dan sesama. Pembaruan ini tidak bisa diterima, sehingga relasi antara Yesus dan mereka terganggu bahkan mereka memusuhi-Nya.

Pada hal yang terpenting dalam hidup keagamaan adalah berkembangnya relasi dengan Allah. Ini akan mewujud dalam relasi dengan sesama. Relasi yang mestinya dekat dan erat karena ada hubungan darah, justru terganggu karena hal sepele.

Masih saja terjadi pertikaian dalam keluarga atau antar keluarga karena hal kurang mendasar bahkan hanya karena materi, misal karena berebut warisan. Itu terjadi karena melalaikan relasi yang paling penting yaitu relasi dengan Allah.

Sebaliknya, banyak orang Kristiani menemukan saudara-saudari baru, bahkan yang bukan keluarganya, sedarah, atau atas dasar suku atau bangsa, justru karena dasar persaudaraannya adalah relasi baik dengan Allah.

Semua yang berelasi dengan-Nya telah diikat oleh kasih-Nya. Persaudaraan mendalam dan melampaui batas hubungan darah, suku, dan bangsa. Ini tidak berarti relasi atas dasar hubungan darah atau suku menjadi tidak penting lagi.

Namun, diharapkan dasar relasi atas dasar hubungan darah atau suku dan bangsa akan menguat. Relasi tetap kokoh dan tidak bisa diganggu oleh hal-hal duniawi, seperti warisan, kekayaan atau uang.

Mgr Yustinus Harjosusanto MSF
Uskup Agung Samarinda

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini