HIDUPKATOLIK.com – Suhu politik menjelang pemilihan presiden, anggota dewan, dan kepala daerah terus menghangat. Meskipun belum memasuki masa kampanye, masyarakat semakin familiar dengan berbagai survei, slogan-slogan politik dan “pertarungan gagasan” para calon pemimpin di Republik ini. Ada calon pemimpin yang ingin menghentikan masuknya tenaga kerja asing, terus menghembuskan isu komunis dan penguasaan tanah. Ada juga calon kepala daerah yang ingin membenahi birokrasi, meningkatkan daya saing daerah, menarik investasi ke daerah, mengentaskan kemiskinan, dan sebagainya.
Pertanyaan kritis yang harus dijawab setiap orang Katolik adalah “Bagaimana harus menyikapi pesta demokrasi yang sudah ada di hadapan mata? Orang Katolik mendambakan pemimpin politik seperti apa?”
Sebagai dari Gereja yang memisahkan secara tegas Gereja dari politik praktis, kita tidak mengharapkan semacam endorsement dari hierarki terhadap calon tertentu. Meski demikian, sebagai umat kita tetap mengharapkan pengajaran atau refleksi pemikiran Gereja tentang hakikat kekuasaan serta pentingnya sikap bijaksana dalam memilih para pemimpin masyarakat. Meskipun tidak harus dalam bentuk “Surat Gembala”— karena dapat dipolitisir sehingga merugikan kepentingan gereja—diskusi, seminar, katekese atau kotbah yang mengaitkan pesan Kitab Suci dengan karakteristik pemimpin yang adil dan jujur akan mencerahkan umat.
Di atas kertas, program yang ditawarkan para calon pemimpin cukup menarik dan mendesak untuk direalisasikan. Pertanyaannya tetap sama dan akan terus diulang, “Bagaimana merealisasikan berbagai cita-cita dan janji poliltik itu?” Apa titik berat pembangunan di daerah yang akan dipimpinnya? Pertanyaan ini relevan terutama jika dikontekskan dalam kehidupan bernegara, yang masih marak dengan penggusuran, kemiskinan, korupsi, kekerasan berbasis SARA, akses pendidikan dan kesehatan yang belum merata, rendahnya toleransi hidup beragama, dan semacamnya. Dalam konteks semacam ini pula imperatif ajaran sosial Gereja Katolik “option for the poor” menghadapi tantangan nyata. Apakah Gereja dan umatnya akan memilih calon pemimpin yang punya komitmen “membangun masyarakat untuk semua” atau hanya untuk segelintir?
Sesungguhnya orang Katolik mencita-cita terbentuknya masyarakat yang plural, yang mampu menerima dan hidup bersama orang lain secara damai, yang tidak mengorbankan kaum kecil dan marjinal hanya demi kepentingan kapitalisme, dan semacamnya. Orang Katolik juga menginginkan pemerintahan daerah yang demokratis, yang melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan publik. Yaitu pemimpin yang terbuka, jujur, dan imparsial, dan sebagainya.
Kita juga ingin memiliki pemimpin yang tidak korup dan yang merepresentasikan berbagai golongan dan kelompok. Kita ingin memilih pemimpin yang tidak mudah dikendalikan oleh birokrasi yang korup, tidak gampang kompromi terhadap kepentingan kelompok tertentu, atau yang memanfaatkan kekuasaannya untuk “membayar utang” atas dukungan partai politik atas dirinya.
Pemimpin yang mampu memenuhi harapan kita adalah mereka yang mampu mewujudkan prinsip-prinsip etika politik Kristiani. Seperti memiliki kebaikan hati (pluralis dan imparsial), berpihak pada kehidupan (tidak suka menggusur, gemar menggalakkan pembangunan yang pro lingkungan, mengurangi polusi), memajukan kesejahteraan umum, demokratis, solider dengan kaum miskin. Ia juga menghormati dan mentaati Hak Asasi Manusia (termasuk menjamin kebebasan beragama), serta menolak kekerasan dan premanisme (Franz Magnis-Suseno, Menjadi Saksi Kristis Di Tengah Masyarakat Majemuk, 2004: 114-116).
Kalau kemudian muncul pesimisme terhadap calon pemimpin karena adanya gap antara cita-cita politik Kristiani dengan karakter politik yang mereka miliki, pada akhirnya kita harus bersikap realistis. Memilih yang terbaik dari yang terburuk barangkali akan menjadi sikap politik kita dari pada tidak memilih sama sekali. Ikut memilih berarti ikut menentukan masa depan negara ini.
Yeremias Jena