HIDUPKATOLIK.com – Masyarakat memanggilnya “PSK kelas teri” karena memiliki anak tanpa suami. Tetapi Eurosia Fabris tetap menjadi ibu yang saleh bagi anak-anaknya.
DI usia 19 tahun, Eurosia Fabris sudah menjadi ibu bagi dua anak. Perjuangan ini tak mudah bagi wanita yang kerap disapa Rosina ini. Tatkala teman-teman sebayanya asyik menikmati masa remaja, Rosina sibuk menjalankan peran sebagai seorang ibu.
Derita ini kian bertambah, masyarakat mencibirnya karena ia janda dan hamil di luar nikah. Rosina kerap diterpa isu miring. Meski begitu, gadis saleh ini tak menggubris. Ia berusaha menjadi ibu yang mencintai kedua putrinya.
Bagi keluarga, Rosina adalah pahlawan. Tahun 1885, Rosina menyaksikan tragedi kematian seorang ibu yang tinggal di dekat rumahnya. Wanita muda itu meninggalkan tiga putri yang masih kecil. Alih-alih merawat sang anak, sang suami justru melupakan tanggung jawabnya. Lelaki itu pergi dan menjalani hidup baru di rumah pamannya. Alhasil, ketiga anaknya hidup bak yatim piatu.
Rosina tak bisa lari dari pemandangan ini. Meski begitu, penderitaan itu belum berakhir. Sulung dari tiga bersaudara yang ibunya meninggal dan ditelantarkan sang ayah itu pun meninggal menyusul sang ibu. Chiara dan Italia, nama kedua anak itu, mencoba bertahan hidup meski dalam kondisi yang memprihatinkan. Keduanya kurus dan sakit-sakitan.
Dengan tulus hati, Rosina memutuskan menjadi ibu bagi mereka. Setiap hari, ia memandikan, memberi makan, pakaian, dan mengajarkan hidup Kristiani kepada mereka. Meski harus berpontang-panting menafkahi mereka, Rosina berhasil merawat keduanya dan menjadi orang yang matang dalam iman.
Banyak Anak
Hampir setahun, Rosina merawat dan mendidik dua putrinya. Di saat yang sama cibiran sebagai “penggoda” terus berdatangan. Beberapa pria rela memberi tarif mahal asalkan Rosina mau “melayani” mereka. Selain parasnya yang cantik, Rosina menjadi pujaan karena senyum manisnya. Ia menjadi gadis yang pandai bergaul dan suka memaafkan. Ia tidak pernah dendam atau marah bahkan saat orang memanggilnya “PSK kelas teri”. Ia membalas semua itu dengan senyum manis dan doa.
Bertubi-tubi menahan cibiran itu, Rosina akhirnya kalah. Ia terpukul saat mengetahui keluarga dekatnya termakan isu miring. Pastor parokinya kerap melihat Rosina menjadi mudah marah dan melupakan tanggung jawabnya sebagai ibu. Sang pastor menasihatinya untuk segera menikah, untuk memutuskan stigma negatif terhadapnya. Lewat pergumulan batin yang berat, Rosina memutuskan untuk mengikuti nasihat sang pastor. Pada 5 Mei 1888, Rosina menikah dengan Carlo Barban. Carlo adalah seorang pemuda saleh. Ia tahu Rosina seorang yang tetap perawan hingga hari pernikahan mereka.
Carlo tulus mencintai Gadis kelahiran Quinto Vincentino, Vicenza, 27 September 1866 itu. Meski ia bukan ayah biologis dari Chiara dan Italia, ia tulus mencintai keduanya. Rosina dan Carlo mengamini pernikahan mereka sebagai kehendak Tuhan. Keduanya saling mendukung, lebih-lebih Carlo mencoba meyakinkan keluarganya tentang status sang istri. Sedangkan Rosina berjuang menjadi istri dan ibu yang mencintai keluarga.
Dalam pernikahan ini, Carlo dan Rosina dianugerahi rahmat dengan kehadiran sembilan anak lainnya. Rumah mereka menjadi Gereja kecil yang dipenuhi cinta kasih. Mereka saling mendukung dan mendoakan. Rosina menjadi ibu yang berbahagia karena pertumbuhan iman anak-anaknya. Carlo pun demikian. Ia tak pernah pilih kasih dalam mendidik anak-anaknya. Semua menjadi sama di mata Carlo dan Rosina.
Disiplin hidup Kristiani seperti Misa, Rosario, devosi-devosi khususnya kepada Bunda Maria menjadi rutinitas keluarga. Rosina dan Carlo mereka memberi contoh dan teladan keluarga kudus Nazareth. Perasaan saling memaafkan dan menerima setiap kekurangan menjadi obat mujarab bagi Carlo dan Rosina bila berselisih paham.
Kehidupan rohani Rosina menjadi pukulan telak bagi mereka yang kerap mencibirnya. Meski begitu, tidak ada kesombongan rohani dalam dirinya, ia tetap rendah hati dan terbuka untuk siapa saja. Rumahnya disulap menjadi rumah singgah bagi siapa saja khususnya anak-anak jalanan Kota Vicenza, Italia. Salah satu anak yang dirawatnya adalah Bernardino. Kelak anak ini masuk seminari dan ditahbiskan sebagai seorang imam Ordo Fratrum Minorum/OFM. Pastor Bernardino inilah yang kemudian juga menulis biografi tentang Rosina.
Tidak hanya satu, antara tahun 1918-1921 total ada tiga anak yang dirawat Rosina akhirnya memilih jalan hidup menjadi imam. Berkat inspirasi dari Rosina, tak terhitung anak-anak jalanan yang memutuskan menjadi biarawan-biarawati. Mereka tersentuh dengan kehidupan rohani Rosina.
Anggota Fransiskan
Pastor Bernardino OFM menulis, setelah menikah, Rosina menunjukkan cinta dan hormat paling besar kepada suaminya. Ia pun menjadi penasihat dan orang paling dipercaya bagi Carlo. Dia memiliki cinta yang mesra pada semua anaknya. Dia adalah seorang pekerja keras dan pribadi yang dapat diandalkan untuk memenuhi tugas dan kewajibannya.
Rosina terus menjadi teladan bagi banyak anak. Di masa senjanya, ia terus tekun dalam doa. Ia begitu mengagumi Bunda Maria. Ia terlibat dalam kehidupan Ekaristi dan puasa. Seperti Bunda Yesus dalam Kitab Suci, Rosina menjadi harta karun bagi keluarga. Ia tahu mengatur belanja keluarganya sekaligus pandai melaksanakan karya cinta kasih yang besar bagi orang-orang miskin.
Tak jarang, Rosina membagi-bagikan roti dari tangannya sendiri untuk semua anaknya. Ia tak ingin dibantu siapa pun di saat-saat seperti itu. Dari kasih sayang itu mengantarkan tiga anaknya menjadi imam. Rosina menjadi wanita spesial di hati Carlo sampai Carlo meninggal dunia tahun 1930. “Carlo menjadi menara gading bagi anak-anaknya tetapi Rosina menjadi bintang kejora bagi semua anak,” tulis Pastor Bernardino.
Setelah kematian Carlo, Rosina memutuskan untuk bergabung menjadi anggota Ordo Ketiga St Fransiskus (Ordo Fransiskan Sekular). Ia setia hadir dalam setiap pertemuan komunitas. Di tengah kerja dan doa, Rosina terus menghidupi semangat kemiskinan seturut teladan St Fransiskus Asisi. Dalam panggilannya sebagai ibu Katolik, Rosina mempersembahkan dirinya untuk pelayanan kepada orang-orang miskin dan terpinggirkan. Dia bergaul secara santun dengan setiap orang, memahami alam semesta sekaligus membangun relasi intim dengan Tuhan.
Rumahnya menjadi komunitas kecil yang ideal. Anak-anak diajari berdoa, taat dalam iman, dan hormat kepada kehendak Tuhan. Rosina yang masa kecilnya dihabiskan dengan hidup berpindah-pindah dari Quinto sampai Marola, Emmilia, Italia berhasil menjadikan rumahnya “surga” bagi banyak anak.
Pengalaman kemiskinan di masa kecil, membuat wanita yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar ini membuka hatinya bagi banyak orang miskin. Kegemar an membaca Kitab Suci, Katekismus, Sejarah Gereja, tulisan-tulisan St Fransiskus de Sales, dan warisan St Alfonsius Ligouri menjadi bekal bagi kesalehan yang dihidupi Rosina.
Rosina menjadi pendoa, penderma, pencinta anak hingga akhir hidupnya. Ia meninggal pada 8 Januari 1932. Ia dimakamkan dengan pengharapan akan kebangkitan di Gereja Paroki Marola, Keuskupan Agung Padua, Italia. Proses beatifikasi dimulai pada 3 Februari 2005. Setelah melalui berbagai proses panjang, Paus Yohanes Paulus II menggelarinya beata pada 7 Juli 2003. Sejak itu, Rosina menjadi teladan keluarga-keluarga Katolik zaman ini.
Yusti H. Wuarmanuk