HIDUPKATOLIK.com – Hubungannya dengan sang bapak sempat memburuk. Hingga kini, dia terus berdoa agar orangtuanya bersatu kembali.
Rumah yang seharusnya menjadi sumber keteduhan dan kesejukan bagi setiap penghuni, ternyata tak dirasakan oleh Yollanda Wilany Pery. Situasi kediamannya amat bising. Ia juga gerah di sana. Orangtuanya nyaris tak pernah absen bertengkar. Hingga pada suatu ketika perseteruan itu berujung getir, orangtua Yollanda berpisah.
Yollanda, yang kala itu duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, bersama ketiga adiknya tak kuasa menelan “pil” pahit kenyataan hidup itu. Apa yang bisa dilakukan para bocah seumur jagung terhadap perkara orangtua? Mereka hanya menangis dan terpaksa menanggung akibat perpisahan ibu-bapaknya, tanpa protes dan banyak tingkah.
Satu-satunya yang terekam di benak Yollanda kala itu adalah watak keras kepala ibunya yang menjadi pangkal persoalan. Belakangan baru ia ketahui pandangannya keliru. Sikap sang bapaklah yang menjadi penyulut masalah hingga mereka berpisah. Yollanda dan adik-adiknya tinggal bersama ibu, sementara bapaknya tinggal di rumah lain, sendirian.
Luka Batin
Yollanda tak menemukan figur kepala keluarga yang baik dalam diri bapaknya. Kata Yollanda, bapaknya tak perhatian kepada keluarga. Bapak tak pernah memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada buah hati dan istrinya. Dia hanya mengalamatkan perhatiannya kepada orang lain. Tak heran, bapaknya mendulang pujian dan simpati dari orang lain, tapi justru melecehkan perasaan keluarganya sendiri.
Suatu ketika, kenang Yollanda, dia dan saudari kembarnya Yohana Windany Pery melihat bapaknya berada di dalam mobil. Mereka saling beradu pandang, tapi bapaknya seakan tak peduli dengan keberadaan dua putrinya. Berbeda saat acara keluarga besar, bapaknya amat manis di hadapan mereka. Keluarga menilai dia amat perhatian dengan keluarga, padahal kenyataannya jauh api dari panggang.
Bapak, keluh Yollanda melanjutkan, tak pernah mengeluarkan uang sepeser pun untuk pendidikan anak-anaknya. Mama yang menanggung semua biaya tersebut. Padahal, meski sama-sama abdi masyarakat, pangkat bapak lebih tinggi daripada ibu. Otomatis, gaji yang bapak terima lebih besar dari sang istri. “Saya tidak tahu ke mana uang bapak (disalurkan)?” tanyanya retoris.
Terkait hal itu, ada sebuah peristiwa yang menoreh luka dalam di kalbu Yollanda. Pada suatu ketika, bapak didatangi seorang temannya. Orang itu ingin meminjam uang bapak. Tapi mengatakan kepada orang itu bahwa uangnya sudah dikirim untuk biaya hidup anaknya yang kuliah di Yogyakarta. “Orang itu (teman bapak) menceritakan hal itu kepada mama, dan membuat mama marah,” kenang mahasiswi Universitas Sanata Dharma ini.
Akumulasi beberapa kejadian membuat relasi Yollanda dengan bapaknya menjadi renggang. Yollanda tak lagi simpati dengan orangtuannya itu. Namun, sikap Yollanda amat berbeda dengan saudara-saudaranya. Mereka, menurut pengakuan Yollanda, meski bertubi-tubi menanggung sakit akibat perlakuan bapak, tetap iba kepadanya. Mereka juga takut durhaka bila berseteru dengan orangtua.
Titik Balik
Karakter ibu bak langit dan bumi dibanding bapak. Ibu, kata Yollanda, amat menyayangi keluarga. Bahkan, meski sempat bertengkar, dan kerap kali tersakiti, dia selalu mendorong anak-anaknya untuk menghargai keluarga suaminya. Ibu juga meminta untuk senantiasa mendoakan bapak mereka.
Tak mudah bagi gadis berdarah Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur untuk menuruti nasehat ibunya. Tapi, karena permintaan itu terus-menerus terlontar dari bibir perempuan yang melahirkannya, Yollanda pun memaksakan diri untuk mengikutinya. Semula berat, tapi semakin lama, dalam setiap doa Yollanda menyelipkan intensi itu.
Perubahan sikap dan relasinya dengan sang bapak mulai Yollanda rasakan kala menyelam dalam aktivitas Komunitas Persekutuan Doa (PD) Rhema. Salah satu kegiatan komunitas itu adalah seminar dan penyembuhan luka batin. Yollanda semula tak menghiraukan kegiatan itu. Dia mengira, relasi pelik dengan bapaknya tak termasuk dalam kategori luka batin.
Menjelang kegiatan itu, Yollanda iseng mendaftar. Dia ingin sekadar mencari tahu dan berkumpul dengan teman-teman lain. Yollanda menggandeng juga adiknya ke kegiatan itu. Dari hari pertama hingga ketiga, sama sekali tak ada yang berubah. Namun, pada tahap konseling, dia menceritakan relasi antara dirinya dengan sang bapak, kepada konselor.
Pembimbing menyarankan Yollanda untuk memaafkan dan mendoakan bapaknya. “Di bibir iya, tapi tidak di hati saya. Tiap kali ada orang yang meminta saya untuk mengampuni bapak, seluruh keburukannya muncul di pikiran saya,” akui Yollanda.
Meski begitu, adik-kakak itu tetap mendoakan bapak setiba di kos. Titik balik mulai terasa saat Doa Mukjizat –rangkaian kegiatan seminar dan penyembuhan luka batin– di komunitas doa itu. Fasilitator meminta Yollanda untuk mencari satu figur representatif bapaknya. Fasilitator meminta peserta, termasuk Yollanda, untuk mengungkapkan semua uneg-uneg di batinnya. Jelang penghujung tahap itu, fasilitator meminta mereka untuk membasuh kaki figur representatif yang menorehkan luka dalam kehidupan mereka.
Air mata Yollanda jatuh dari kedua bola matanya. Sambil membersihkan kaki orang itu, dia meluapkan seluruh perasaan yang bercokol dalam dirinya. Dia seperti menguras bak berisi air keruh. Batinnya plong. Peristiwa itu juga menyibak tabir gelap yang menyelubungi pikirannya. Amarah telah membungkus rapat dirinya sehingga tak ada sedikit pun pancaran kebaikan dari bapaknya yang dilihat Yollanda.
Yollanda sadar, boleh jadi bapaknya ingin menyapa dia, namun terhalang sikap Yollanda yang keras dan dingin dengannya. Bisa jadi juga, Yollanda tak memberi ruang untuk bapaknya masuk dan menjelaskan semua sikap dan tutur katanya. Yollanda langsung meminta nomor kontak sang bapak kepada Yohana, adiknya.
Yollanda mengakui semula canggung, tapi dia memberanikan diri. Begitu menerima telepon, ujar Yollanda, bapak langsung menanyakan kabar dan memberikan selamat atas kelulusan kuliah putrinya. Peristiwa itu membuka babak baru relasi Yollanda dengan bapaknya. Hubungan bapak-anak yang dulu membeku kini mencair.
Doa Harapan
Yollanda dan Yohana akan kembali ke Ruteng bila seluruh urusan administrasi kampus rampung. Sambil menanti kesiapan itu, mereka mengisi waktu dengan ikut kursus menjahit. Sarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan itu berencana menjadi guru dan membuka butik di daerah asal.
Mereka juga ingin meretas Komunitas PD di kampungnya. Yollanda yakin, bukan hanya dirinya tapi banyak orang juga mengalami hal nyaris serupa dengannya. Bisa jadi, tak sedikit generasi seusianya mengambil jalan pintas dan keliru untuk menyembuhkan luka batin.
Yollanda tak menampik, nun jauh di seberang sana, relasi antara ibu-bapaknya belum membaik. Perjuangan Yollanda belum berakhir. Dia dan sang adik tak kunjung putus berdoa dan berharap agar orangtua mereka saling memaafkan dan bersatu kembali kelak.
Anna Marie Happy