HIDUPKATOLIK.com – PARA Suster dari Kongregasi Saudari Yesus Kkottongnae (Congregation of Kkottongnae Sister of Jesus) mengikuti upacara adat We’e Kudut Lonto Ngasang Bongkok, di pelataran Rumah Kasih Kkottangnae Indonesia, di Gang Tengah, Cowang Dereng, RT 05 RW02, Desa Batu Cermin, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur, Sabtu, 2/6/2018 malam. [KKOTTONGNAE: KAMPUNG BUNGA DARI KOREA]
Ritual ini merupakan rangkaian prosesi menjelang pemberkatan dan peresmian Rumah Kasih yang akan diselenggarakan pada Senin, 4/6/2018 pagi. Misa akan berlangsung secara konselebrasi. Administrator Apostolik Ruteng, Mgr Silvester Tung Kiem San, rencananya akan menjadi selebran utama, dan didampingi oleh salah satunya pendiri Kongregasi Bruder dan Suster Kkottongnae, Romo John Oh Woong-Jin. [MGR SAN AKAN MERESMIKAN “KEBUN BUNGA”]
Menurut salah satu perwakilan tuan rumah yang didapuk menangani upacara adat tersebut, Ferdinand Jemaun, upacara We’e sebagai bentuk ungkapan terima kasih kepada leluhur yang telah merestui pembangunan Rumah Kasih sekaligus menjaga para pekerja dan penghuni di sana sehingga proyek dapat berjalan lancar.
Upacara itu, lanjut Ferdi, juga memuat permohonan agar para nenek moyang atau leluhur yang lebih dahulu mendiami area Rumah Kasih senantiasa menjaga seluruh penghuni rumah tersebut. Selain itu, meminta pertolongan mereka agar segala harapan positif anggota rumah ini terwujud. [POHON CINTA UNTUK NUSA BUNGA]
Ada enam pria, yang disebut sebagai tu’a adat atau tua golo, memimpin upacara tersebut. Satu orang merapal ungkapan adat dalam bahasa setempat, sementara yang lain menjadi saksi. Keenam pria itu mengenakan baju putih berlengan panjang, songke (sarung), dan sapu (kain penutup kepala).
Ada beberapa materi untuk menunjang upacara tersebut, seperti telur ayam kampung, dua ekor ayam warna putih dan merah, lilin, dan arak/tuak. “Ayam berwarna putih sebagai ungkapan syukur. Sementara, ayam berwarna merah sebagai permohonan agar segala harapan baik tercapai. Sedangkan telur sebagai undangan kepada leluhur di tanah ini,” beber pria asal Karot, Manggarai Tengah itu.
Usai menyampaikan sapaan adat, dua ayam itu dipotong. Darah hewan itu kemudian dioleskan ke beberapa tiang pasak. “Itu sebagai simbol perdamaian antara bangunan baru dengan tanah, yang mengingkat relasi antara pendatang baru dengan mereka yang telah ada lebih dahulu,” lanjut Fredi.
Dua ayam itu lantar dibakar. Dua bagian inti hewan tersebut, seperti ati dan rempela diambil dan disatukan dengan segenggam nasi dalam sebuah piring. Seorang dari keenam pria tadi membawa piring tersebut bersama telur ayam kampung menuju sudut bangunan terluar. Di sana orang itu mengungkapkan sapaan adat lalu menabur nasi yang telah dicampur dengan ati dan ampela. Upacara We’e berlangsung sekitar 30 menit.
Yanuari Marwanto