Agama dan Politik

446

HIDUPKATOLIK.com – Kedua tatanan hidup manusia ini memiliki visi dan misi yang sama, keduanya berjuang agar manusia sebagai individu dan makluk sosial dapat hidup dengan damai dan sejahtera.

Pertama menurunkan nilai-nilai kehidupan dan tata cara hidup individual dan sosial berdasarkan semangat spiritual. Atau dengan kata lain, nilai-nilai itu ditarik dari keyakinan bahwa adanya Tuhan dan peran aktif Tuhan dalam hidup manusia. Pada tataran ini, tidak ada ruang berada bagi mereka yang tidak percaya pada Tuhan. Mohon dipahami bahwa pada bahasan ini saya tidak membedakan agama-agama yang ada.

Kedua, politik, visi misinya mengarahkan warga negara (istilah yang lebih tepat bila dibandingkan dengan umat manusia) untuk dapat hidup dengan damai sejahtera dalam suasana yang adil dan makmur sejahtera. Pada paparan ini, kaum yang meragukan adanya Tuhan pun layak mendapat tempat sama besarnya sebagai warga negara.

Sehingga sangat aneh, bila suatu saat nanti ada pertanyaan tentang percaya tidaknya seseorang pada Tuhan. Orang yang tidak percaya pada Tuhan sekalipun, dapat hidup dalam alam demokrasi yang adem. (Mohon dibaca, bahwa pada paragraf ini, saya tidak membahas tatanan hidup di Indonesia).

Tidak sedikit dari antara mereka, yang dengan terang-terang menyatakan dirinya tidak percaya pada Tuhan, tetapi mengamalkan spirit politik dengan baik. Bagi mereka, tidak perlu kehadiran Tuhan untuk berbuat baik dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Mereka berbuat baik, karena sudah menjadi tuntutan hidup itu sendiri. Persis sebaliknya, tidak sedikit orang yang sangat menggaungkan agamanya, tetapi kelakuannya sangat buruk dari sudut pandang politik.

Membaca bahasan singkat ini, akan muncul beberapa pemikiran, perlu enggak sih agama untuk menjalani politik dengan baik? Mungkin pertanyaan lebih ekstrim lagi, untuk apa sih agama ini, kalau para umatnya tetap saja tak mengamalkan ajaran agamanya?

Agama tetap dibutuhkan agar politik berjalan dengan baik. Tatanan nilai-nilai agama diturunkan dalam tatanan nilai yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan publik. Contoh sederhana, tatanan nilai agama seperti cintailah sesamamu manusia, diterjemahkan dalam kelima sila Pancasila lalu ke dalam UU Dasar.

Ketika kita bicara mengenai agama sebagai sebuah institusi, kita bicara tokoh agama dan umatnya. Keduanya adalah warga negara dalam tataran hidup berpolitik sehingga memiliki hak dan kewajiban sama dihadapan politik.

Namun, apakah dua peran itu memiliki tanggung jawab yang sama? Pemuka agama memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar. Mereka adalah cermin dari tataran nilai-nilai ajaran agama masing-masing. Mereka adalah panutan bagi umatnya. Pada posisi inilah, para pemuka agama harus mampu menempatkan dirinya sebijaksana mungkin dalam proses perpolitikan.

Saya pribadi melihat agama-agama adalah sebuah kekuatan keempat atau kelima dari sistem politik demokratis. Para pemuka agama memiliki tanggung jawab untuk membawa tongkat moral dan spiritual. Apakah agama sebagai sebuah institusi dalam negara layak berpolitik? Jawaban saya ya, bahkan harus terlibat.

Ketika sekumpulan umat turun ke jalan dan menyuarakan agar pemerintah menyiapkan sistem kesehatan dan pendidikan yang lebih baik bagi semua warga, di sini agama sudah melakukan politik kesejahteraan. Ketika pemuka agama dan atas nama agama tertentu mengajak umatnya untuk memilih tokoh dengan menegaskan ciri-ciri nilai, semangat, visi, dan misi hidup yang lebih baik.

Pemuka agama dan agama seyogyanya menjadi “key maker” bagi para ksatria. Tetapi ketika pemimpin agama memilih untuk turun derajat menjadi kaum ksatria, maka saya harap (ini opini pribadi) politik kesejahteraanlah tujuan utamanya. Dan tidak salah bila saya ingatkan, godaan duniawi itu selalu datang dalam wajah yang indah, lembut dan menawan.

 

Advent Tarigan Tambun

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini