Uskup Agung Jakarta: Merawat “Ingatan Bersama”

228
Konferensi Pers Paskah Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) di GKP Katedral, Minggu, 1/4.
[Foto:fb @katedraljakarta]

HIDUPKATOLIK.com – Paskah: Merawat Ingatan Bersama

“Berbagai penelitian dan banyak petunjuk yang lain, mengungkapkan bahwa ada masalah yang menyangkut persatuan dan kebhinekaan di negara kita. Mengapa sampai demikian? Salah satu alasannya, karena meskipun bangsa kita sebenarnya mempunyai banyak ingatan bersama, namun ingatan bersama itu sudah banyak dilupakan, atau sekadar dibiarkan tinggal menjadi peristiwa masa lampau yang tidak mengikat kebersamaan, yang tidak menjadi inspirasi perjuangan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan, dan tidak menjadi kekuatan ketika bangsa menghadapi krisis besar,” demikian ditegaskan oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo dalam siaran pers yang disampaikan kepada hidupkatolik.com pada sore ini, Senin, 2/4/2018, berkaitan dengan Perayaan Paskah kemarin.

Uskup Suharyo – demikian Mgr Ignatius Suharyo akrab dipanggil – lebih lanjut mengatakan, “Yang saya maksud sebagai ingatan bersama bangsa Indonesia adalah tonggak-tonggak sejarah bangsa, khususnya Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.”

“Sementara itu dalam konsep “ingatan bersama” terkandung berbagai macam gagasan. Gagasan-gagasan itu perlu diterjemahkan menjadi berbagai gerakan. Kalau gerakan-gerakan ini dilakukan secara terus-menerus dan konsisten, akan terbentuklah habitus baru, yaitu cara merasa, cara berpikir, cara bertindak dan berperilaku baru, baik dalam tataran pribadi maupun bersama, dalam keluarga, komunitas dan masyarakat yang lebih luas. Habitus baru inilah yang menjadi daya transformatif, bentuk nyata dari Paskah yang memerdekakan,” papar Uskup yang juga Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

Di bagian lain dalam pernyataannya, Uskup Suharyo mengemukakan bahwa dalam ibadah malam Paskah, bersama dengan bacaan pilihan yang lain, wajib dibacakan kutipan dari Kitab Keluaran. Kutipan ini berkisah mengenai pembebasan Umat Allah Perjanjian Lama dari negeri perbudakan di bawah pimpinan Musa.

“Kisah mengenai peristiwa ini selanjutnya menjadi bagian dari ingatan bersama umat yang diwariskan turun-temurun (bdk Kel 26:5-10); bukan sekadar sebagai peringatan akan peristiwa masa lampau, tetapi sebagai peristiwa yang tetap aktual dan menyangkut kehidupan dan menentukan sejarah bangsa,” kata Uskup Suharyo.

Ingatan bersama ini, menurut Uskup Suharyo, menjadi daya penyatu bagi bangsa, menjadi inspirasi untuk terus bertumbuh sebagai umat yang menerima panggilan dan perutusan khusus dan menjadi kekuatan ketika umat menghadapi krisis besar yang menentukan eksistensinya.

Lebih jauh Uskup Suharyo mengemukakan, adanya ingatan bersama inilah, antara lain, yang dapat menjelaskan mengapa Umat Allah Perjanjian Lama tidak hilang dari sejarah, sementara kelompok-kelompok lain yang sekian banyak jumlahnya yang disebut dalam Kitab Suci, hilang ditelan jaman. Ingatan bersama inilah yang merupakan inti Pujian Paskah: “Pada malam ini, ketika Engkau menyelamatkan bapa kami, membebaskan umat-Mu dari perbudakan dan mengantar mereka lewat dasar Laut merah yang sudah kering.”

Pada malam ini, menurut Uskup, “umat yang mengimani Kristus Kaubebaskan dari kejahatan dunia dan kegelapan dosa, Kaupulihkan dalam rahmat Allah dan Kauterima dalam Gereja yang kudus.” Penggunaan kata “malam ini”- bukan “malam itu” -menegaskan aktualitas peristiwa-peristiwa yang dikenangkan itu, yaitu Paskah Perjanjian Lama dan
Paskah Kristus.

“Paskah adalah saat ketika umat merawat ingatan bersama itu, merayakannya dan mengalaminya sebagai daya yang terus-menerus mempersatukan dan memerdekakan,” kata Uskup Suharyo.

Menyinggung tentang relevansi Paskah 2018 ini, Uskup Suharyo menegaskan, “Paskah tahun 2018 ini dirayakan ketika Keuskupan Agung Jakarta menjalani TAHUN PERSATUAN dengan semboyan “Amalkan Pancasila : Kita Bhinneka, Kita Indonesia”. Dalam Tahun Persatuan ini seluruh umat diajak untuk bersyukur karena Tuhan menganugerahkan keragaman dalam hidup bersama sebagai satu nusa, satu bangsa. Dan satu bahasa.”

Keragaman itu, menurut Uskup Suharyo, tercermin antara lain dalam angka-angka ini: Negara dan Bangsa Indonesia terdiri dari 17.504 pulau, 1.340 suku bangsa dan 546 bahasa. Kendati begitu, beragam kita hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai rumah kita bersaman.

“Keragaman dan sekaligus kesatuan ini kita syukuri 2018 dalam Doa Prefasi Tanah Air: “Berkat jasa begitu banyak tokoh pahlawan, Engkau menumbuhkan kesadaran kami sebagai bangsa, … kami bersyukur atas bahasa yang mempersatukan, … dan atas Pancasila dasar kemerdekaan kami”.

Dalam doa Prefasi ini, kita mengungkapkan iman kita bahwa bangsa dan negara Indonesia adalah buah karya agung Allah. Doa Prefasi itu mengajak kita semua untuk mengenang peristiwa Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai karya Allah yang agung,” ujar Uskup Suharyo.

Menurut Uskup, sebagai bangsa yang beragam kita mempunyai cita-cita yang sama, yaitu mewujudkan negara yang berketuhanan, adil dan beradab, bersatu, berhikmat dan bijaksana serta damai dan sejahtera. Itulah “tanah terjanji” bagi kita dan bagi seluruh bangsa Indonesia. Kita semua sedang menapaki jalan menuju “tanah terjanji” itu.

“Di lain pihak, kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan, yang tampak jauh dari cita-cita kita sebagai bangsa. Secara khusus berkaitan dengan cita-cita Persatuan Indonesia, kita tidak jarang menyaksikan bahwa perbedaan yang seharusnya menjadi rahmat, seringkali tampak sebagai penghambat. Berbagai penelitian menguatkan kesan itu,” demikian Uskup Suharyo dalam pernyataan tertulisnya.

 

 

Download Konferensi Pers Paskah-Maret 2018

 

AB

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini