Hyacinthus Agus Susanto: Setia Mendidik dengan Cerdik

435
Pengabdian: Agus tengah mendampingi murid-muridnya belajar di kelas.
[HIDUP/Ivonne Suryanto]

HIDUPKATOLIK.com – Ia bercita-cita menjadi dokter, tetapi perjalanan hidup menuntunnya menjadi guru. Di luar jam sekolah, ia masih melayani les gratis bagi para murid.

Menjelang senja, rumah Hyacinthus Agus Susanto ramai suara anak-anak. Mereka adalah murid-murid Agus di sekolah. Tiga kali seminggu, anak-anak itu datang ke rumah Agus untuk belajar bersama semua mata pelajaran, kecuali olah raga.

Sekitar dua hingga tiga jam, Agus membimbing murid-muridnya yang kurang bisa menyerap pelajaran di sekolah. Hal ini sudah berlangsung selama enam tahun terakhir. Sebagai guru, ia merasa memiliki tanggung jawab moral untuk membantu anak didiknya, terutama untuk menempuh ujian kelulusan. Ia terdorong untuk membuka les gratis.

Cara ini ia tempuh karena anak-anak mungkin sulit memahami pelajaran dari gurunya di kelas.

“Beberapa anak, saya ajak belajar di rumah saya. Ketika semester satu, hanya 10 anak yang datang, khusus bagi mereka yang ketinggalan pelajaran. Pada semester dua mencapai 32 anak. Saya hanya membantu mereka untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian. Syukurlah lama-kelamaan mereka bisa memahami pelajaran,” tutur pria yang kini mengajar IPA kelas 6, dan agama kelas 4, 5, dan 6. Memancar bahagia dalam diri Agus tatkala mengetahui anak didiknya berhasil.

Agus berharap bisa terus membimbing dan mendampingi anak-anak didiknya. Laki-laki yang telah menjadi guru SD selama 32 tahun ini menyadari, menjadi pendidik tidaklah mudah. Komitmen untuk membentuk kepribadian murid mesti dimiliki. “Meski sulit, saya terus berjuang untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri murid-murid saya, sesuai pedoman saya untuk refleksi dan aksi,” ujar anak ketiga dari tujuh bersaudara ini.

Berganti Haluan
Menjadi guru sebenarnya bukan cita-citanya. Agus ingin menjadi dokter. Impian menjadi dokter itu muncul karena pengalaman masa kecilnya. Waktu itu, mantri (perawat) yang berkeliling di desanya hanya bisa dijumpai sebulan sekali. Jika ada yang butuh berobat, orang mengalami kesulitan. Ia ingin menjadi dokter agar bisa membantu mengobati warga desanya.

Namun, keadaan ekonomi keluarganya di Desa Demangan-Congkrang, Muntilan, Jawa Tengah kurang mendukung. Semasa kecil, Agus bahkan harus membantu orangtuanya menggembalakan itik demi menopang ekonomi keluarga. Cita- citanya menjadi dokter pupus. Ayahnya, guru SD, mendorongnya untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Van Lith Muntilan. Agus pun memutar haluan dan masuk SPG Van Lith.

Meskipun bukan cita-citanya, Agus berjuang untuk menyelesaikan pendidikan guru dengan baik. Ia juga aktif dalam kepramukaan. Dua minggu menjadi siswa SPG Van Lith, ia sudah menjadi pembina pramuka di SD Kanisius Mandungan, Muntilan. Alasannya sederhana, menjadi guru SD berarti siap menjadi pembina pramuka. Ia pun tergerak untuk memperkaya ilmu kepramukaan melalui buku-buku di perpustakaan.

Pendidikan asrama di SPG Van Lith yang ditempuhnya mengantar Agus untuk belajar mengenai jiwa misioner Romo Van Lith. Semangat itu tercermin dalam sikap guru-gurunya. Hal itu lambat-laun menempa jiwa kepemimpinan dan pelayanannya.

Agus mengaku, semua guru di SPG Van Lith menjadi sumber inspirasi baginya. “Terutama almarhum J.B. Sukarno. Beliau menanamkan religiositas dan jiwa pelayanan. Pesan beliau yang terus saya ingat yakni ikut serta membangun masyarakat. Maka setiap malam minggu, di SPG diadakan diskusi pembangunan masyarakat desa. Sebelum ujian sekolah, siswa SPG Van Lith sudah memulai program On Campus Teaching (OCT). Mereka praktik mengajar dan tinggal bersama masyarakat selama satu bulan. Selama OCT, pihak SPG menugaskan siswa- siswinya untuk membantu kegiatan desa,” beber pria kelahiran Magelang, Jawa Tengah, 17 Agustus 1964 ini.

Menginjak kelas 2 SPG, Agus dan teman- temannya dituntut untuk bisa mengajar agama di stasi-stasi. Agus mendapat tugas mengajar agama di Stasi Bunda Maria Sapta Duka Mungkid, Magelang, Jawa Tengah. Stasi itu berjarak sekitar sembilan kilometer dari asrama yang ditinggali Agus. “Saya dan teman-teman harus menyeberang sungai, memanggul sepeda untuk mempersingkat waktu perjalanan kami,” kenangnya.

Lulus SPG tahun 1983, Agus melamar sebagai guru di SD Pius Bakti Utama Gombong, Jawa Tengah. Ia mengetahui lowongan kerja itu dari seorang teman. Saat itu, ia baru berusia 18 tahun. Ia diterima dan mendapat tugas untuk mengampu sebagai guru kelas 4 SD, mendampingi 44 siswa. Jumlah itu cukup banyak untuk satu kelas. Ia belajar dan berjuang untuk menguasai kelas. Ia pun tak segan menimba ilmu dari rekan guru lainnya. Ia ingin memberikan yang terbaik bagi para muridnya.

Di sekolah itu, Agus menemukan belahan jiwanya. Ia menambatkan hatinya kepada rekan kerjanya, Veronica Dyah Pramugawati. Mereka kemudian menikah di Gereja St Mikael Gombong, Keuskupan Purwokerto, pada 17 Juni 1986. Kini, mereka dikaruniai tiga buah hati.

Terus Melayani
Di tengah kesibukannya sebagai guru, Agus tetap menyediakan diri untuk melayani di Gereja. Sederet tugas pelayanan pernah ia emban. Saat ini, ia dipercaya sebagai Wakil Ketua II Dewan Pastoral Paroki (DPP) Gereja St Mikael Gombong. Sebelumnya, ia pernah menjadi Ketua Bidang Diakonia yang membawahi Tim Kerja Pengembangan Sosial dan Ekonomi (PSE), Tim Kerja Pendidikan dan Kesehatan, pengurus lingkungan, dll. Sejak 1997, ia juga menjadi prodiakon. Salah satu tugasnya ialah mengirim komuni untuk orang sakit setiap hari Minggu. Walau hujan deras, ia tetap setia mengantar komuni. “Kalau dilaksanakan dengan senang hati, semua terasa menyenangkan. Hidup seperti air mengalir, kadang terbentur batu, namun selalu mengalir tenang,” ujarnya dengan tawa berderai.

Selain itu, Agus juga aktif dalam kegiatan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Ia menjadi Bendahara RT, Pengurus Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Ketua Unit Pengelola Sosial Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) Simpatik Desa Wero, Gombong.

Menjadi pelayan Tuhan jangan setengah- setengah! Demikian prinsip yang dihidupi Agus. Prinsip itu terinspirasi dari kutipan ayat Kitab Suci: “Carilah dulu Kerajaan Allah maka segalanya akan ditambahkan bagimu.” Prinsip itu menggema, menjadi semangat baginya untuk tak henti melayani Gereja dan masyarakat. Pun dukungan sang istri dan anak-anak turut mengobarkan api semangatnya. Bahkan Dyah, sang istri, menjadi Koordinator Tim Pembina Pendampingan Iman Anak (PIA) Paroki St Mikael Gombong.

Agus berharap, umat lain pun mau melayani sesuai kemampuan masing-masing. Menurutnya, hidup di dunia bukan hanya mencari harta. “Ada hal yang lebih berharga yaitu kepuasan batin. Kalau hidup tidak berguna untuk orang lain, lalu untuk apa hidup ini?”

Alumnus Sekolah Tinggi Pastoral dan Kateketik (STPKat) St Fransiskus Assisi Semarang (2012) ini juga bermimpi agar dirinya bisa menjadi pria Katolik sejati sesuai teladan Yesus. “Pria sejati bukan yang tampan atau kaya, tetapi pria yang mencintai keluarganya dan bisa berguna bagi masyarakat,” pungkasnya.

Ivonne Suryanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini