Membawa Nilai ATMI dalam Kerja

1242
Toni Sartono.
[HIDUP/Edward Wirawan]

HIDUPKATOLIK.com – Toni Sartono menapaki karier profesional hingga di puncak perusahaan trading peralatan industri. Meski menyimpang dari pabrik, Toni adalah isyarat, bahwa alumni ATMI Surakarta sangat ahli dan dibutuhkan dunia industri.

Seorang sekretaris Kawan Lama Sejahtera menyampaikan pesan dari Managing Director Toni Sartono untuk menunggu sebentar. Tak lama berselang, ia memperbolehkan untuk naik ke lantai dua perusahaan trading peralatan industri itu. Di lantai para tamu itu, nyaris tak ada meja yang kosong. “Itu para pengusaha, pelanggan perusahaan ini,” terang
sang sekretaris itu.

Tak lama berselang, Toni tiba. Ia mengenakan kemeja batik lengan pendek dan celana panjang hitam. Toni baru saja rapat bersama tim perusahaan yang sedang menggarap sebuah proyek untuk sebuah Badan Usaha Milik Negara. “Perusahaan ini juga akan mensuplai ke pemerintah, misal peralatan kebersihan untuk Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup,” jelas Toni.

Warisan ATMI
Sejak muda, Toni sudah karib dengan produk mesin atau alat pendukung industri. Lulus SMA Negeri I Pekalongan, pada 1978, Toni melanjutkan kuliah di Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Surakarta. Kata ayah tiga orang anak ini, ATMI memberi jaminan lulus kuliah langsung kerja. Tiga tahun berselang, Toni lulus. Benar saja, Romo J. Cassut SJ, pendiri ATMI Surakarta menawarkan beberapa perusahaan kepada Toni dan kawan seangkatannya. “Setelah lulus, saya boleh memilih pekerjaan. Mana ada lulusan baru memiliki hak istimewa semacam itu,” kenang Toni.

Dari sekian perusahaan, Toni memutuskan untuk bekerja di sebuah pabrik baterai di Jakarta. Toni muda giat. Ia berangkat pagi dan pulang malam. Nyaris tak ada waktu untuk menjelajahi Jakarta. Rutinitas semacam itu melahirkan kejenuhan. Toni muda bergeming. Ia pun berikhtiar untuk mencari pekerjaan lain. Padahal, alumni ATMI diperuntukan
menjadi ahli dalam bidang produksi untuk mesin industri.

Pada momen penuh pergumulan itu, seorang kawan menawarkan sebuah lo wongan di Kawan Lama. Sebuah perusahaan penjualan bidang mesin penunjang industri yang separuhnya Toni kenal sejak di ATMI. Tapi, ia bukan lagi bekerja di bidang produksi melainkan menjual produk. Toni pun melamar dan meniti karier, mulai dari sales engineering, hingga mencapai puncak tertinggi sebagai managing director.

Saat Toni masuk, Kawan Lama Sejahtera tak semegah saat ini; hanya sebuah kantor kecil di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. Sekarang pemiliknya, Kuncoro Wibowo dikenal sebagai salah satu konglomerat. “Dulu cuma tiga sales engineering, saya salah satunya. Sekarang 350 orang dengan total karyawan 1600 untuk Kawan Lama Sejahtera.”

Kawan Lama Grup kini menjelma menjadi sebuah perusahaan raksasa dengan 24.000 karyawan. Toni ada dalam seluruh detak jatuh bangun perusahaan. Anak ketiga dari empat bersaudara ini mendapatkan kepercayaan penuh dari bosnya. “Saya diberi banyak kesempatan. Bos lebih sebagai sutradara. Nah, kalau dipercaya, maka ada beban mengembalikan kepercayaan itu,” urai Toni.

Di jejak panjang profesionalitas itu, Toni dalam setiap ayunan langkahnya, selalu berpijak pada nilai luhur almamaternya. ATMI memiliki semacam simpul nilai bernama Trilogi C: Competentia (keterampilan teknis), Constientia (tanggungjawab moral), dan Compatio (kepedulian sosial). “Ketiga nilai ini ditanam betul dalam praktik dan studi kami di ATMI.”

Toni bercerita, di ATMI, kalau terlambat satu detik sampai 15 menit, maka mahasiswa membayarnya setengah jam. Cara membayarnya, para mahasiswa ATMI pulang pukul 15:00, maka ia harus menggunakan dua jam setelah itu, untuk membayar keterlambatannya. Saat sakit, para mahasiswa juga harus mengganti waktu ketidakhadiran mereka. Misal, satu hari tidak masuk karena pilek. Baik ada surat dokter maupun tidak, mahasiswa bersangkutan harus membayar delapan jam pengganti ketidakhadirannya. Artinya selama empat hari, ia harus menggunakan dua jam antara pukul 15:00-17:00 sebagai penggantinya. Pun begitu untuk bentuk ketidakhadiran lainnya, semua memiliki hitungan dalam kerangka disiplin ATMI.

Saat barang rusak, juga harus diganti. Pergantiannya bukan dengan uang atau benda serupa, tetapi dibayar dengan waktu. Misal, nilai barang yang rusak Rp 500 ribu, maka apabila setiap satu jam bernilai Rp 10.000, berarti yang merusak barang harus membayar sebanyak 50 jam. “Ini menuntut untuk hati-hati, teliti, dan fokus, karena barang yang kami kerjakan di ATMI merupakan pesanan pelanggan, bukan bahan praktik saja,” jelas Toni.

Pemimpin Demokratis
Buah dari nilai semacam itu membentuk Toni menjadi pribadi yang demokratis. Seperti sang pemilik perusahaan yang memberi keleluasaan baginya, Toni juga memperlakukan para karyawan dengan cara yang sama. “Orang kalau bekerja dan leluasa, mereka akan menjaga kepercayaan dan fight.”

Toni punya prinsip. Baginya, bekerja pertama-tama adalah mencari pengalaman untuk meningkatkan keahlian. Bekerja bukan soal mencari uang. Karena itu, setiap kepercayaan yang diberikan kepadanya tak pernah ia tampik. “Orang kalau cari uang, begitu dikasih job, pasti minta naik gaji. Tapi kalau kita ingin meningkatkan keahlian, uang bukan tujuan tetapi sebagai hasil. Atasan mana yang diam saja saat tahu anak buahnya begitu loyal dan kapabel?” tanya Toni.

Kalau kerja untuk mencari uang, lanjut Toni, orang akan meninggalkan pendapatan yang kurang dan mencari yang lebih. Tetapi, ia bisa saja kehilangan keahlian dirinya. Nilai semacam ini, Toni warisi kepada para bawahannya. Ia selalu mengajak mereka berembug dan berbagi cerita. Toni bercerita, ia memiliki pelanggan, sebuah perusahaan di Bogor. Relasinya dengan perusahaan itu amat karib. Kalau Toni datang, ia seperti datang ke kantor sendiri.

Tentu, sebagai sales, Toni tak mau kehilangan pelanggan semacam itu. Namun sebagai pemimpin, Toni tahu, ia harus beranjak, mencari pelanggan besar lain dan mempercayakan pelanggannya kepada bawahannya. “Saya bilang ke customer, ke depan, ada orang saya yang akan selalu ke sini. Kalau ada apa-apa, saya tetap bisa dikontak.”

Toni berprinsip, untuk maju, harus menghindari zona nyaman. Di tempat yang nyaman, orang tidak pernah tumbuh. Toni mencontohkan Singapura yang apa-apa harus diimpor dari negara tetangga. Namun, situasi ketergantungan yang “tidak nyaman” ini justru membuat Singapura harus kreatif dan menata negara dengan baik. Karena itu, ia selalu memberi kepercayaan kepada bawahannya sembari menantang dirinya untuk menjelajahi medan lain. “Kan kalau mereka berkembang, pekerjaan pemimpin lebih ringan.”

Atas kiprahnya, Toni mendapatkan beberapa penghargaan bergengsi. Satu yang paling berkesan, adalah saat ia menyabet Peugeot Business Award. Untuk mendapat predikat ini, ia harus berproses dalam seleksi ketat, bahkan harus membuat tesis berjudul “Key Success Factor Perusahaan Kawan Lama Sejahtera”. Penghargaan ini mencari orang nomor dua, bukan pemilik, bukan perusahaan monopoli, di lima kategori. Toni menjadi juara di kategori marketing.

Karier yang cemerlang, tambah Sekretaris RW 017 Kelurahan Pegangsaan II Kelapa Gading ini, mesti seimbang dengan dunia privat di keluarga dan pelayanan untuk sesama. Meski jadwal padat, Toni tak mengelak dari pelayanan.

Ia adalah prodiakon dan katekis di Paroki St Yakobus Kelapa Gading, Keuskupan Agung Jakarta. Untuk menjadi katekis, Toni harus mengikuti Kursus Evangelisasi Pribadi dan Kursus Katekis. “Umat Kelapa Gading banyak, Romo cuma lima orang, sementara baptisan tiap tahun banyak. Maka siapa yang mengajar?” ujar Toni tentang hal ihwal ia melibati diri sebagai katekis.

Tony Sartono
TTL :
Pekalongan, Jawa Tengah, 13 Mei 1958
Istri : Inge Candrawati
Anak : Isabella, Martinus Saputra, Ivana Kristiani

Pendidikan:
• ATMI Surakarta

Pekerjaan:
• Supervisor Produksi Perusahaan Battery
• Sales Engineer, Supervisor, Manager hingga Direktur Manager PT Kawan Lama Sejahtera

Penghargaan:
• Peugeot Business Award bidang Marketing
• Marketing Award dari Majalah Marketing
• SGS Quality Award
• Top 15 Chief Marketing Officer Majalah SWA

Edward Wirawan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini