HIDUPKATOLIK.com – Kunjungan Paus Fransiskus ke Myanmar dan Bangladesh menjadi kesempatan Takhta Suci mendorong penyelesaian konflik secara damai.
Dwi Harjanto begitu gembira. “Akhirnya bisa melihat Paus Fransiskus secara dekat,” ungkapnya. Dwi mengakui, selama ini hanya bisa menyaksikan Paus lewat televisi dan media sosial. Ada kerinduan agar kelak dapat mengikuti Misa yang dipimpin Paus. Kerinduan itu terpenuhi tahun ini. Dwi adalah salah umat asal Indonesia yang ikut dalam Group Galery Maria ke Yangon, Myanmar. Bersama 42 rekan dalam kelompok pencinta Bunda Maria ini, Dwi mengikuti Misa di Kyaikkasan Ground, Yangon.
Momen ini dipergunakan Dwi dengan baik. Ia mengabadikan beberapa peristiwa ketika Paus Fransiskus menumpangi jeep terbuka menuju tempat Misa. Di tengah teriakan dan kibaran bendera Vatikan, Dwi menyaksikan betapa Paus adalah milik semua orang. Banyak orang menyemut menyaksikan kehadirannya. Sambil melambaikan tangan, Paus Fransiskus menyapa setiap orang yang dilewati. Semua orang dari berbagai lapisan berkumpul untuk menyaksikan figur Paus asal Argentina ini.
Di tengah terik matahari pagi, banyak orang rela berdiri selama tiga jam lebih untuk mengikuti Misa. Dwi mengakui, rasanya seperti mengikuti Misa di Lapangan St Petrus Vatikan. Euforia umat Katolik Asia sangat terasa ketika Paus memberi homili. Semua mata memandang dengan terpesona. “Rasanya sangat berbeda mendengar khotbah Paus yang begitu meneguhkan hati. Ada pengalaman iman tersendiri melihat wajah, senyuman, dan tatapan Paus dari dekat. Wajahnya penuh kebapaan. Ia seorang yang saleh,” kesan Dwi.
Negeri Junta
Paus Fransiskus bertolak dari Bandara Internasional Flumicino Roma dan tiba di Myanmar, Senin, 27/11. Ini merupakan kunjungan pertama Paus Fransiskus ke Myanmar. Sebelumnya, pada 1986, Paus Yohanes Paulus II pernah mengunjungi Myanmar. Tetapi kunjungan Paus Fransiskus tahun ini sangat istimewa. Lawatan ini membawa angin segar bagi sebagian besar masyarakat Myanmar. Hampir setengah abad, negara ini menderita karena sistem pemerintahan junta militer. Pemilihan umum 2015 yang dimenangkan oleh National League of Democration (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi mengakhiri sistem junta di negara ini.
Tetapi banyak ahli berpandangan, Aung San Suu Kyi lamban dalam menangani masalah kemanusiaan, khususnya penderitaan etnis Rohingya. Maka, lawatan Paus Fransiskus ke Myanmar dan Bangladesh selama enam hari, kiranya dapat mengakhiri spiral kekerasan dan krisis Rohingya. “Saya meminta Anda bersama saya dalam doa untuk orang-orang di sana (Red-Myanmar). Kehadiran saya adalah harapan bagi penyelesaian konflik dan nilai kemanusiaan,” pesan Paus di Lapangan St Petrus Vatikan sehari sebelum bertolak ke Myanmar.
Radio Vatikan merilis, sampai 2016 hampir 620 ribu etnis Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine di Myanmar ke Bangladesh. PBB dan Amerika Serikat bahkan menyebut hal ini sebagai genosida. Maka, ketika jadwal kunjungan apostolik Paus Fransiskus ke Myanmar dan Bangladesh diumumkan, banyak orang angkat suara. Mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan meminta Paus Fransiskus tidak menggunakan istilah Rohingya. Tetapi, sebagian juga mendukung penggunaan kata ini untuk mengangkat isu tersebut.
Ketika Paus Paulus VI pergi ke Timur Tengah pada 1964, para pengamat ingin mengetahui apakah Paulus VI akan menggunakan kata “Israel” sebagai pengakuan terhadap keberadaan negara Yahudi tersebut. Ketika itu, Paus Paulus VI menyebutnya. Ketika Paus Benediktus XVI ke Israel seperempat abad kemudian, banyak orang Yahudi sangat ingin mendengar Paus asal Jerman ini menyinggung perihal Holocaust, dan dia melakukannya. Pada 2016, Paus Fransiskus mengunjungi Armenia, banyak kalangan juga bertanya apakah dia mau meneriakkan pembantaian orang-orang Armenia selama Perang Dunia I. Meski Turki melarang mengungkit sejarah itu, tetapi Paus Fransiskus menyebutkannya.
Hal yang sama terjadi ketika berkunjung ke Myanmar dan Bangladesh. Paus Fransiskus mau menggunakan istilah Rohingya untuk menggambarkan minoritas Muslim yang tertindas di Myanmar. Bahkan beberapa hari sebelum kunjungan, Uskup Agung Yangon Kardinal Charles Bo SDB bertemu Paus di Roma dan mengingatkan agar tidak menggunakan istilah Rohingya.
Tetapi toh Rohingya disebutkan saat Paus berada di Bangladesh. Sebelumnya, ia beberapa kali menyerukan solidaritas bagi warga Rohingya. Agustus lalu, Bapa Suci menyerukan penghentian kekerasan terhadap warga Rohingya dan meminta agar mereka mendapat hak sepenuhnya.
Beberapa pengamat beranggapan, istilah itu digunakan di Bangladesh sebagai pemantik agar semua orang terlibat membantu mengatasi krisis kemanusiaan ini. Ketika di Myanmar, Paus Fransiskus tahu benar, siapa yang memegang peranan dalam krisis ini. Ia menyapa para politikus, pemimpin agama, masyarakat lokal, pemerintah, termasuk militer. Bahkan ketika pertama kali tiba di Myanmar, Paus langsung mengadakan pembicaraan secara pribadi dengan Jenderal Senior Mingu Aung Hlaing yang diakhiri dengan pelukan damai dan saling tukar cinderamata.
Jhon L. Allen, Jr, editor Cruxnow menulis, “Cara Paus Fransiskus menyapa ini sebenarnya menjawab kekhawatiran banyak orang soal Rohingya.” Setidaknya ia membuka rekonsiliasi melalui pintu yang tepat. Senada dengan Jhon Allen, Juru Bicara Vatikan, Greg Burke mengatakan, kata Rohingya bukan sebuah kata yang dilarang. Sebab Paus Fransiskus sudah menggunakannya beberapa kali. “Istilah ‘kaum Muslim di daerah Rakhine’ hanya mau menyebutkan orang-orang Rohingya,” komentar Greg seperti dilansir CNA (29/11).
Bertelanjang Kaki
Bapa Suci memulai kunjungan pertama di Myanmar dengan pertemuan yang tidak terjadwal di kediaman Uskup Agung Yangon. Di tempat ini, Paus bertemu para pemimpin agama. Setelah itu, ia melakukan perjalanan dengan pesawat ke Nay Pyi Taw untuk bertemu Presiden Htun Kyaw dan Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi. Lantas, Paus bertemu dengan para pejabat pemerintahan dan masyarakat sipil di Myanmar di International Convention Centre.
Di tempat yang sama, Paus lagi-lagi bertemu para militer dengan seragam hijau, Konferensi Waligereja Myanmar, para politisi, dan pemuka agama. Semua duduk bersanding setelah seorang anak dengan kostum etnik mengiringi Paus dan Suu
Kyi untuk mengambil tempat di atas panggung. Dalam pertemuan ini, Paus membahas tema kunjungan “Cinta dan Damai”. “Dialog menjadi jembatan penghubung manakala komunikasi terputus. Dialog dapat menyatukan.”
Pada kesempatan itu juga, Paus dengan tegas meminta perhatian kepada orangorang yang menderita. Ia menyebutkan, agar tragedi pembantaian dan krisis kemanusiaan segera dihentikan. Ia menyuarakan soal menghormati identitas setiap etnis tanpa pengecualian. “Bila mereka manusia entah dari etnis apapun, mereka perlu diperhitungkan.”
Pesan ini lalu membuat semua yang hadir tertunduk. Paus pun meminta agar pemerintah memprioritaskan penyembuhan atas luka-luka perang. Tentu permasalahan utama adalah rekonsiliasi yang perlu dibangun untuk membenahi krisis ini. Aung San Suu Kyi, yang sempat menjadi fokus kritik masyarakat internasional, berjanji membangun kembali masalah sosial, ekonomi, dan politik yang sehat dan beradab di Myanmar.
Pada hari berikutnya, Paus Fransiskus merayakan Misa di Lapangan Kyaikkasan, Yangon, Senin, 28/11. Lagi-lagi, Paus mengapresiasi umat yang menyemut dalam perayaan ini. “Saya menantikan saat ini. Banyak dari Anda berasal dari daerah pegunungan yang jauh dan terpencil, bahkan berjalan kaki ke sini. Saya ke sini sebagai peziarah untuk mendengarkan dan belajar dari Anda.”
Setelah itu, ia mengunjungi Sangha, Dewan Budhis Tertinggi di Pusat Kaba Aye. Demi menghormati tuan rumah, Paus Fransiskus melepas sepatu tetapi tetap mengenakan kaos kaki hitam. Ini suatu bentuk penerimaan diri, di mana baik biksu dan tamunya berjalan bersama dengan kaki telanjang di dalam Pagoda. “Ini juga merupakan kesempatan bagi kita untuk menegaskan komitmen terhadap perdamaian, menghormati martabat, dan keadilan bagi setiap manusia,” pungkasnya.
Pada hari terakhir kunjungan di Myanmar, Paus Fransiskus merayakan Misa bersama orang muda di Katedral St Maria Yangon, Kamis, 30/11. Paus Fransiskus mengakui, betapa sulit membicarakan “Kabar Baik” Injil saat ketidakadilan, kemiskinan, dan kesengsaraan ada di sekitar kita. “Tetapi Anda harus menjadi utusan harapan di Myanmar.”
Harmoni, Damai
Hari itu juga, Kamis, 30/11, Paus Fransiskus bertolak dari Myanmar menuju Bangladesh. Ia tiba di ibukota Bangladesh, Dhaka dan disambut Presiden Republik Bangladesh, Abdul Hamid bersama sepuluh Uskup dari Konferensi Waligereja Bangladesh. Dalam seremonial penyambutan, Paus memberi penghormatan kepada Bangladesh yang telah berusaha mencari solusi bagi etnis Rohingya. Di luar jadwal kunjungan, Paus bertemu Kepala Tatmadaw atau Angkatan Darat Bangladesh. Dalam pertemuan itu, Paus dengan senang hati mengajak militer agar terus mengupayakan perdamaian.
Paus juga mengunjungi Memorial Martir Nasional Savar. Ia diterima para pemimpin masyarakat sipil dan berjalan bersama menuju ke monumen, tempat “Guard of Honour” berada, dan menaruh karangan bunga. Bapa Suci juga menandatangani Kitab Kehormatan dan menanam sebatang pohon di “Taman Damai”, serta menaruh bunga di makam Sheikh Mujibur Rahman.
Pada hari kedua, Paus Fransiskus merayakan Misa di Taman Udyan Suhrawardy, Dhaka. Pada kesempatan itu, Bapa Suci juga menahbiskan 16 orang imam. Dalam homili, Paus memberi dorongan dan nasihat untuk para neomis. “Gembala yang baik datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani. Ia datang mencari dan menyelamatkan yang hilang.”
Pada 1986 di tempat yang sama, Paus Yohanes Paulus II pernah menahbiskan 18 diakon menjadi imam, salah satunya adalah Uskup Mymensingh, Mgr Paul Ponen Kubi. “Kehadiran Paus Fransiskus membuat iman kami terkenal di seluruh dunia.”
Saat di Bangladesh Paus diberi kesempatan menyambut sekelompok pengungsi Muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh. Enam belas orang Rohingya ini melarikan diri dari Cox’s Bazar, distrik Myanmar menuju Dhaka. Satu persatu mereka bersalaman dengan Paus dan meminta berkat. Pertemuan dengan kaum Rohingya ini berlangsung setelah Paus bertemu dengan para pemuka agama di Bangladesh.
Paus juga mengunjungi rumah anak yatim piatu yang dikelola para biarawati pengikut St Teresa dari Kalkuta di Tejgaon. Setelah itu, ia bertemu dengan para imam, biarawan, biarawati serta para seminaris. Ia menutup kunjungan ini dengan bertemu kaum muda di Kolose Notre Dame di Dhaka. Ia mengajak kaum muda untuk belajar menghormati orang lain dan berusaha menumbuhkan lingkungan yang harmonis.
Kunjungan Paus Fransiskus ke Myanmar dan Bangladesh ini menjadi bukti bahwa Paus sangat peduli dengan perkembangan iman di kawasan Asia. Pada konsistoris 2015 lalu, untuk pertama kali dalam sejarah, Paus Fransiskus menunjuk Mgr Charles Maung Bo SDB sebagai Kardinal pertama di Myanmar. Hal serupa diberikan kepada Mgr Patrick D’Rozario CSC, Uskup Agung Dhaka.
Pada Mei 2017 silam, Myanmar menjadi negara ke-183 yang menjalin hubungan diplomatik dengan Takhta Suci. Beberapa pengamat Vatikan menilai, kunjungan ini menjadi kesempatan Takhta Suci mendorong penyelesaian konflik secara damai, dengan menempatkan penghormatan terhadap martabat manusia di atas perselisihan etnis. Pesan utama ini mewarnai kunjungan ketiga Paus Fransiskus di negeri-negeri di Asia.
Marchella A. Vieba/Yusti H. Wuarmanuk