Pastor, Misionaris, dan Xaverian

1030
Pastor Ciroi dan sebagian kecil koleksi cakram di ruang kerjanya.
[HIDUP/Yanuari Marwanto

HIDUPKATOLIK.com – Kemiskinan, membuat ia dan keluarganya tinggal berpindah-pindah tempat. Situasi yang justru menumbuhkan empatinya kepada persoalan sosial.

Potret sang ayah menjadi salah satu barang amat berharga bagi Ciroi Rodolfo. Tanpa foto itu, bungsu dari dua bersaudara ini takkan mengetahui rupa sang ayah yang bernama sama dengan dirinya. Sang ayah meninggal dua bulan sebelum ia lahir. Kepergian pria yang saban hari sebagai tukang batu itu sungguh memilukan. Ia terjatuh ketika bekerja di sebuah proyek bangunan.

Sejak itu, ibunya, Turolo Gemma, menjadi kepala sekaligus tulang punggung keluarga. Ia bekerja sebagai asisten rumah tangga. Pendapatannya sebulan hanya cukup untuk membeli makanan. Ada satu masa, kenang Pastor Ciroi, mereka tak bisa makan sehari karena ibunya tidak mempunyai uang sepeser pun.

Mereka juga tak mempunyai rumah. Selama belasan tahun mereka menumpang di rumah kakek, baik dari ibu maupun ayah. Rumah yang mereka tinggali juga bukan milik kakek, tapi punya orang lain. “Mereka juga seperti kami, menumpang di rumah orang,” kenangnya, saat ditemui di Wisma Xaverian, Jakarta Pusat, Rabu, 29/11.

Strategi Jitu
Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris berbunyi demikian, home sweet home, artinya kurang lebih, rumah sendiri adalah tempat tinggal (rumah) paling nyaman. Ini sangat dirasakan oleh Ciroi. Pada suatu ketika, pemilik rumah yang ditempati kakek, ingin tinggal di tempat itu. Ciroi dan keluarganya, begitu juga kakek, harus pindah ke tempat lain.

Beruntung, ada seorang teman yang meminjamkan rumahnya untuk mereka tempati. Di sana, mereka tak sendirian, ada satu keluarga lain juga menumpang. Mereka baru memiliki tanah dan rumah setelah 18 tahun menumpang di sana-sini. Uang itu didapat dari hasil menjual sepetak kebun warisan keluarga ditambah gaji kakaknya, Ciroi Acelio Giovanni. “Dia sudah bekerja di percetakan kala itu,” terangnya.

Keterbatasan ekonomi mengantar Ciroi dan kakaknya masuk asrama dan sekolah khusus untuk anak yatim. Sekolah tersebut gratis. Seluruh biaya pendidikan ditanggung pemerintah. Ciroi masuk ke sekolah tersebut ketika naik ke kelas IV. Setahun kemudian, seorang misionaris Xaverian (Pia Societas S. Francisci Xaverii pro exteris missionibus/SX), Pastor Lini Lorenzo SX, mengunjungi sekolah itu.

Imam asal Italia itu menampilkan foto alam dan masyarakat Indonesia. Ia juga membagikan kisah misi di sana dengan penuh antusias. Ciroi terkesima dengan pemandangan alam Nusantara yang begitu indah. Ketika Pastor Lini menjelaskan bahwa misi membutuhkan tenaga pastor untuk memperkenalkan Yesus, Ciroi berkata dalam hati, “Ya, saya mau menjadi misionaris di Indonesia,” ujarnya, mengenang.

Gemma mendukung keinginan putra bungsunya menjadi imam. Namun, hal yang membebani pikirannya adalah soal biaya pendidikan di seminari. Ia tak sanggup membayar uang sekolah putranya. Sebab, menurut Ciroi, seminari tak mendapat subsidi dari pemerintah. Maka keluargalah yang harus menanggung seluruh biaya pendidikan para seminaris.

Rektor Seminari Xaverian di Udine, Italia, iba dengan situasi yang merundung keluarga Ciroi. Ia tak ingin panggilan Ciroi menjadi imam mati, hanya karena terbentur biaya. Rektor melancarkan strategi jitu. Rektor mencantumkan nama Ciroi sebagai siswa di sekolah untuk anak yatim, namun Ciroi mengikuti pendidikan di seminari. “Saya tetap mendapat subsidi dari pemerintah dan uang itu untuk membiayai pendidikan di seminari hingga selesai,” kata Fan club sepak bola Udinese ini.

Kasih Kristus
Kemiskinan yang membelit amat lama ternyata menumbuhkan empati kepada persoalan sosial di Indonesia. Selama 16 tahun di Yogyakarta sebagai Animator Misioner dan Promotor Panggilan Xaverian, Pastor Ciroi terlibat dalam sejumlah pembangunan.

Ketika gempa meluluhlantakan rumah penduduk di sejumlah tempat di D.I. Yogyakarta pada 2006, mantan Ketua Komisi Kateketik dan Pendamping PMKRI Cabang St Anselmus Padang ini bekerjasama dengan Caritas Indonesia (Karina) Keuskupan Agung Semarang. Mereka membangun dan merenovasi puluhan rumah penduduk.

Di Yogyakarta, mereka juga membangun tujuh bak tampung air hujan untuk masyarakat di wilayah pegunungan. Bak tersebut menyelamatkan penduduk dan ternak dari kekeringan akibat letusan Gunung Merapi. Tak hanya itu, di wilayah Kali Kuning, ia bersama seorang teman asal Yogyakarta mendirikan sejumlah pompa hidrolik. Beberapa proyek pembangunan masih berjalan hingga kini.

Pastor Ciroi mengenang, wilayah tersebut semula amat menentang bantuan dari agama Katolik. Tapi, Pastor Ciroi mengatakan kepada temannya agar pembangunan terus berjalan dan jangan pernah memberitahu identitasnya. “Tujuan saya hanya untuk membantu masyarakat,” ungkap imam yang sempat berkarya selama beberapa tahun di Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Padang ini.

Ia amat berbeda sikap dan intensi dengan sejumlah imam di Eropa yang masih terkungkung dengan kejar target mempermandikan orang. Pastor Ciroi menilai, mereka menjadikan jumlah pembaptisan sebagai parameter keberhasilan misi satu-satunya. Sementara tujuan utama Pastor Ciroi datang ke Indonesia sejak 14 Agustus 1975 untuk mewartakan bahwa Kristus mencintai semua manusia.

Imam yang ditahbiskan oleh Mgr Giuseppe Zaffonato (1899-1988), pada 14 Oktober 1967 ini hobi mengoleksi cakram berbagai film, mulai dari aksi hingga kisah hidup santo-santa. Kesukaannya kepada film tumbuh sejak kecil. Pada waktu itu, tiap kali sang ibu menjenguknya di sekolah atau seminari selalu membawanya ke bioskop. “Hiburan anak-anak seperti saya pada waktu itu hanya bioskop,” kata Pastor Ciroi tertawa.

Paling kurang satu kali dalam seminggu, para frater di Wisma Xaverian menonton film koleksinya. Sampai sekarang, ada sekitar seribu judul film yang dimilikinya. Cakram-cakram itu ia simpan rapi di dua lemari dan satu meja di ruang kerjanya. Setiap bulan, Romo Ciroi bersama para Frater Xaverian mengadakan rekoleksi bersama. Sumber rekoleksi salah satunya dari film-film yang mereka tonton. Jadi, menurut pendamping Komunitas Sant’Egidio dan Choice ini, menonton tak sekadar hiburan tapi juga bisa dipakai sebagai sarana pembinaan kaum muda.

Kado Emas
Pertengahan Oktober lalu, Pastor Ciroi merayakan ulang tahun ke-50 tahbisan imamat. Pastor Ciroi mendapat kesempatan untuk kembali ke kampung halaman dan merayakan Misa bersama keluarga dan umat. Imam yang memiliki moto tahbisan “Pujilah Tuhan hai jiwaku…Jangan lupa atas segala kebaikan-Nya (Mazmur 103)” sungguh merasakan kebaikan Tuhan karena mendapatkan kado emas imamat. Selain itu, bersama sejumlah imam dari Keuskupan Roma, ia merayakan Misa bersama Paus Fransiskus.

Pada usia emas imamat, Pastor Ciroi hanya menginginkan tetap menjadi seorang pastor, misionaris, dan Xaverian. “Pun seandainya saya terlahir kembali, saya tetap menginginkan tiga hal itu,” ungkapnya tersenyum.

Usia dan stamina fisik yang terus menurun tak bisa ia hindari. Bahkan, ia sempat menjalani operasi lutut akibat sering berkunjung ke pelosok Nusantara. Bahunya pun kerap terasa nyeri. Ia hanya memohon doa dan dukungan, terutama kaum muda, agar dirinya tetap berjiwa muda dan terus mewartakan kasih dan kebaikan Tuhan hingga tutup usia.

Yanuari Marwanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini