Suami Melakukan KDRT

1141

HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh yang baik, saya menikah lima tahun lalu dengan pria beda suku. Awalnya ia menunjukkan perhatian dan cinta. Saya merasa nyaman dan bahagia karena dia mencintai saya. Namun belakangan ini, dia mulai bertindak kasar dan sering marah. Kadang-kadang saya dipukul dan ditendang disaksikan anak kami yang berumur empat tahun. Saya tidak ingin keluarga kami runtuh karena sudah menikah secara sah di Gereja Katolik. Saya harus bagaimana? Mohon bantuan pengasuh. Terima kasih.

Elisabeth, Jakarta

Ibu Elisabeth yang terkasih, masalah yang Ibu alami adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Berdasarkan surat pendek Ibu, saya tak bisa mengidentifikasi latar belakang KDRT tersebut. Namun bisa ditengarai, kini kondisinya sudah memasuki ‘stadium’ yang serius. KDRT adalah bentuk penyimpangan negatif atau bahkan patologis berupa tindak kekerasan (fisik, psikis-emosional, maupun seksual) dalam kehidupan perkawinan. Dalam kasus Ibu, pelakunya adalah suami.

Dalam banyak kasus, akibat kekerasan yang dialami para korban bervariasi, namun seringkali urutan eksesnya serupa: bermula dari perasaan cemas, berkembang menjadi rasa takut, marah, malu, kehilangan respek, dan akhirnya kehilangan cinta dan kasih sayang pada pasangan (pelaku).

Bila hal terakhir ini sudah terasa, maka ancaman terjadinya akhir perkawinan kian besar. Dalam KDRT dengan korban yang memiliki ketergantungan pada pasangan (yang sekaligus pelaku), kondisi ketidakberdayaan serta rendahnya otonomi diri bisa lebih jauh lagi eksesnya, yakni kehilangan respek dan kasih sayang pada diri sendiri. Bagi anak, KDRT bisa menimbulkan efek psikopatologis, antara lain ketegangan, depresi, apatisme emosi, sikap semaunya dan menguatnya watak temperamental.

Harus diakui, KDRT memang soal yang kompleks. Siapapun yang pernah menghadapi bisa merasakan konkretnya kepelikan itu. Kebanyakan pelaku KDRT cenderung ‘mengamankan’ perilakunya di zona domestik. Ancaman, dan teror psikologis dengan berbagai cara sering dilakukan pelaku terhadap korban. Sedangkan pihak korban, sering terjebak pada pusaran rasa takut terhadap pelaku yang berkomplikasi kronis dengan rasa aib bila mengungkapkan apa yang dialaminya ke pihak luar. Lalu bagaimana menghadapinya? Menjawab pertanyaan Ibu Elisabeth, saya mengusulkan beberapa hal.

Pertama, cobalah mencari kesempatan khusus, dalam situasi yang relatif netral untuk berdialog “empat mata”. Ungkapkan segala pikiran dan perasaan terkait dengan perlakuan suami yang menurut Ibu tak seharusnya dilakukan. Mintalah kepada suami untuk mengungkapkan tanggapan, perasaan, alasan, harapannya, dsb. Tahap ini membutuhkan gabungan dua hal: keberanian mental dan kelembutan hati. Memang bukan hal yang mudah.

Kedua, bila dialog “empat mata” sulit ditempuh, sebaiknya jangan bersikap skeptis dan mengambil keputusan sepihak. Libatkan pihak luar misalnya sahabat, saudara/mertua /kerabat yang disegani, pendamping pastoral, konsultan perkawinan, atau fasilitator masalah KDRT yang disepakati suami. Dengarkan tanggapan suami. Bila dengan cara itu suami tak peduli dan tak bersedia dialog, tetaplah libatkan pihak luar untuk memfasilitasi refleksi diri Ibu. Dari sini Ibu akan mendapat wawasan objektif apakah kehidupan perkawinan masih bisa diharapkan; atau layak untuk diakhiri. Menurut pengakuan banyak korban KDRT yang telah berhasil lolos dari situasi KDRT, melibatkan pihak luar yang kompeten bisa menjadi pilihan efektif untuk ditempuh; meski awalnya terasa tidak nyaman.

Ketiga, dari komunikasi dialogis yang difasilitasi pihak luar, terbukalah kemungkinan, harapan, serta langkah baru yang mungkin membuka wawasan untuk melanjutkan kehidupan perkawinan dengan komitmen baru. Pernyataan Ibu “tidak ingin keluarga runtuh karena perkawinan sudah sah di Gereja Katolik” merupakan kekuatan penting yang akan menjaga kelestarian hidup berkeluarga. Sampaikan hal-hal ini kepada suami.

Semoga langkah ini mendapat tanggapan konstruktif dari pihak suami, sehingga ia dapat mengakhiri KDRT. Bila dalam rentetan proses terjadi kendala, silakan Ibu kontak saya. Saya bersedia mendiskusikan langkah-langkah alternatif lainnya. Demikian tanggapan saya, semoga bermanfaat.

H.M.E. Widiyatmadi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini