Memandang Allah di Surga

1193

HIDUPKATOLIK.com – Dalam khotbah, seorang Romo mengatakan bahwa surga bagi orang Katolik ialah memandang Allah. Mengapa penekanan diletakkan dalam pandangan? Bukankah gambaran biblis surga sebagai perjamuan lebih menarik dan kaya? Apakah “memandang Allah” adalah ajaran Gereja Katolik?

Yohanes Tony Seputro, Malang

Pertama, lukisan kebahagiaan kekal sebagai memandang Allah (visio beatifica) adalah ajaran Gereja Katolik sampai sekarang (KGK 1023, 1028), tetapi bukan satu-satunya gambaran tentang surga (KGK 1023-1027). Ajaran ini ditetapkan Paus Benediktus XII dalam Konstitusi Benediktus Deus (1336): “Sejak sengsara dan wafat Tuhan kita Yesus Kristus, jiwa-jiwa orang yang terberkati, di surga, telah memandang hakikat ilahi dengan penglihatan intuitif, dari muka ke muka, karena hakikat ilahi dinyatakan kepada mereka secara langsung, tak-tertutup, jelas dan terbuka.” Paus Pius XII dalam ensikliknya tentang Tubuh Mistik Kristus, menegaskan lebih lanjut, “Mereka melihat Bapa, Putra, dan Roh Ilahi karena mata rohani mereka dikuatkan dengan cahaya dari atas.”

Ajaran Gereja tentang visio beatifica ini seringkali diungkapkan dalam Kitab Suci. Yesus sendiri berkata, “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.” (Mat 5:8). Sekali lagi, “Ada malaikat mereka di surga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di surga.” (Mat 18:10). Yohanes Rasul juga menulis, “Sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya.” (1 Yoh 3:2). St Paulus menulis, bahkan lebih jelas lagi, “Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka.” (1 Kor 13:12). Itulah pengenalan yang lebih sempurna akan Allah di surga.

Kedua, yang dimaksud pandangan di sini adalah sebuah analogi, bukan tindakan fisik memandang secara jasmani, karena Allah adalah roh dan tidak kelihatan. “Pandangan” melukiskan relasi manusia dengan Allah, di mana manusia “mencerap” secara penuh dan tak terhalang kekayaan keberadaan misteri Allah, karena Allah memampukan manusia.

Berhadapan dengan Allah, manusia menikmati kelimpahan kebahagiaan kekal dari keberadaan Allah. Hal ini bisa secara analog dibandingkan dengan sepasang kekasih yang “melihat” keberadaan yang kaya dari kekasihnya bukan lagi dengan mata jasmani, tetapi dengan mata hati, dan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Itulah alasana Kristus menggambarkan kebahagiaan surgawi sebagai perjamuan nikah (Mat 25:1-13; Why 19:6; 21:2). Di surga, dalam perjamuan nikah abadi, Allah akan menjadi mempelai laki-laki dari jiwa kita. Allah dan manusia saling ditenggelamkan dalam satu kesatuan rohani yang paling intim.

Ketiga, gambaran kita tentang surga sebagai visio beatifica memang bisa diperkaya dengan gambaran surga sebagai “kehidupan sempurna bersama Tritunggal Mahakudus”, persekutuan kehidupan dan cinta bersama Allah, serta pemenuhan kerinduan terdalam manusia, keadaan bahagia tertinggi dan definitif.” (KGK 1024). Surga adalah persekutuan bahagia dari semua yang bergabung sepenuhnya dengan Kristus.

Katekismus mengajarkan: “Misteri persekutuan berbahagia dengan Allah ini dan dengan semua mereka yang berada dalam Kristus, mengatasi setiap pengertian dan setiap gambaran. Kitab Suci berbicara kepada kita mengenai itu dalam gambar-gambar, seperti kehidupan, terang, perdamaian, perjamuan pernikahan meriah, anggur Kerajaan, rumah Bapa, Yerusalem surgawi, dan firdaus. ‘Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul dalam hati manusia, semuanya itu disediakan oleh Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.’ (1 Kor 2:9)” (KGK 1027). Yesus menggambarkan kesatuan kasih antara Allah dan manusia ini pada Perjamuan Terakhir, ketika berkata, “Aku ada dalam Bapa dan kamu (para murid) ada dalam Aku dan Aku ada dalam kamu.” (Yoh 14:20)..

RP Petrus Maria Handoko CM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini