Martir Jalanan, Pelukis Wajah Tuhan

865
Beato Paulus Yi Gyeong-eon bersama 124 martir lainnya.
[martyrkorean.co.id]

HIDUPKATOLIK.com – “Tubuh saya yang lemah dengan sekuat tenaga dapat bertahan dari deraan fisik. Semua karena Tuhan dan Bunda Maria,” ucapan terakhir Beato Yi sebelum wafat.

Paulus Yi Gyeong-eon tidur di atas lantai yang kotor. Hatinya ingin memberontak kala mencium bau yang sangat menyengat. Di dalam sel itu tak ada kamar mandi atau lubang kecil sedikit pun. Air juga tak ada. Dalam penjara itu hanya terdapat kegelapan. Meski banyak penghuni, mereka tak saling mengenal. Dalam gelap, Paulus mengalami kesepian.

Penderitaan Paulus kian bertambah saat menyadari tinggal bersama orang Kristen, tapi tak bisa mewartakan Sabda Tuhan. Batin Paulus memberontak. Sebagai katekis, Paulus mesti bertindak. Dengan buku Katekismus yang sudah usang, Paulus mulai mengajar. Seburuk apapun keadaan, ia masih memiliki roh yang menyala-nyala bagi Tuhan. “Aku lebih banyak berjerih lelah, lebih sering di dalam penjara, didera di luar batas, kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi. Setiap kali empat puluh kurang satu pukulan. Tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut…,” pesannya mengutip surat 2 Timotius 11:23.

Paulus terus bertahan di tengah penderitaan. Semua karena pengorbanan Kristus di kayu salib. Ia menyadari, bahwa setiap orang yang mau hidup dalam Kristus, akan menderita. Ia menghabiskan hari-hari penderitaan sampai maut menjemput. Ia meninggal dalam sukacita. Paulus menjadi martir yang tak pernah kalah menghadapi siksaan.

Budaya dan Iman
Sejak kecil, Paulus kerap disapa Jonghoe atau Gyeong Byeong. Konon, penambahan nama “hoe” hanya untuk kaum bangsawan. Sebab sebutan “hoe” lebih bermakna kewibawaan dan pekerja keras. Gelar ini bisa disandingkan dengan gelar Wang (Hangeul, Yeowang) yang berarti raja atau permaisuri. Paulus memperoleh gelar ini karena pengabdian sang kakek.

Paulus berasal dari keluarga terdidik. Kakeknya seorang hakim istana di Yeon-Gi, Chungcheong-do, Korea. Ayahnya, Matius Yi-Yun Ha juga mengikuti jejak sang kakek menjadi hakim. Sementara seorang paman dari ibunya Yi Ik, seorang insinyur yang disegani. Ibunya adalah adik dari Beato Fransiskus Xaverius Kwon Il-sin (1738-1801), peletak dasar iman Katolik di Korea.

Sebagai keturunan hakim, Paulus tentu tak kesulitan mendapat pendidikan formal. Wajar saja, karena kedudukan hakim selalu dianggap sebagai pemangku keadilan bagi warga. Gengsi keluarga Byeong ini terkadang membuat sang ayah dan kakek menyombongkan diri. Tapi, Paulus benar-benar berbeda dengan mereka. Ia seorang yang jujur dan saleh. Ia tak pernah menyombongkan diri. Ia sangat rendah hati.

Kesederhanaan hidupnya berpuncak pada pengenalan akan agama Kristen. Lewat sang ibu, Paulus memantapkan hati meninggalkan kepercayaan Konfusianisme dan Taoisme yang sudah dianut sejak kecil. Pria kelahiran Seoul, 1792 ini terlanjur mencintai Kristus dan Bunda Maria. Ia berharap kelak dapat menjadi pelayan Tuhan.

Selain saleh, Paulus sangat mencintai kebudayaan Korea. Ia tak pernah absen mengikuti hari besar Korea, seperti Seollal, Festival Daeboreum (Festival Bulan Purnama), Festival Dano (Musim Semi), dan Festival Chuseok (Panen Raya). Paulus amat suka mengenakan pakaian tradisional Korea Hanbok; jeogari (baju) dan baji (celana panjang).

Martir Jalanan
Meski secara fisik Paulus seorang yang lemah, tapi ia memiliki karakter yang kuat. Ia tak pernah mengeluh bila menghadapi kesulitan. Hal ini terbukti dengan ketulusan hatinya membantu orangtua ketika dua kakaknya memutuskan menjadi katekis. Bahkan ketika Karolus dan Lutgardis mengalami penganiayaan, Paulus tak pernah melupakan iman. Dalam penganiayaan itu, keluarga terpaksa hidup dalam kemiskinan. Meski begitu, ia pasrah kepada kehendak Tuhan. Ia percaya, kemiskinan karena Tuhan akan memerdekakan.

Sebelum mengungkapkan niat menjadi katekis, Paulus berkenalan dengan seorang gadis dari keluarga menengah. Awalnya keluarga menolak gadis itu. Hal ini karena gadis itu kerap marah-marah. Bagi keluarganya, perempuan itu tak menghargai budaya. Ia dianggap perempuan tak beragama. Tapi Paulus bersikukuh dan berjanji akan mengubah karakater calon istrinya. Memasuki usia 22 tahun, dia menikah. Setahun kemudian, sang istri berubah total. Ia menjadi istri yang saleh.

Sayang, memasuki lima tahun perkawinan timbul prahara. Paulus sering sakit-sakitan. Sang istri tak pernah lelah merawatnya. Dia juga sering membaca Kitab Suci serta mengajarkan cara menjadi pengikut Kristus yang setia. Dalam situasi itu, Paulus sadar, hanya satu cara agar tak mati sia-sia, yakni menjadi katekis.

Atas restu istri, Paulus bertemu dengan Petrus Jo Suk, katekis yang menjadi martir pada 1819. Lewat Jo Suk, Paulus semakin yakin menjadi pewarta. Ia ikut serta dalam perkumpulan Myeongdohoe, sebuah paguyuban para katekis Korea. Paulus mulai menerjemahkan Kitab Suci dalam bahasa Korea dan memperbanyak tulisantulisan para imam praja asal Paris (Missions Étrangères de Paris/MEP). Ia juga membantu menggambar lukisan Yesus dan Maria untuk disebarluaskan kepada umat. Bahkan, ia mencarikan biaya untuk perjalanan Paulus Jeong Ha-sang ke Beijing untuk membagikan tulisan-tulisannya dan lukisan kepada umat di Beijing.

Bersama Yesus
Dalam melayani, Paulus senang merefleksikan kisah Via Dolorosa. Perjalanan penderitaan Yesus membuatnya tak takut menyebut diri pelayan Tuhan. Ketika masuk keluar desa, ia menggunakan rantai salib besar dan membawa buku katekismus, juga Kitab Suci. Banyak orang memanggilnya “Kitab Suci Berjalan”.

Kala itu, Gereja Katolik Korea terus mengalami masa-masa suram. Umat Katolik dikejar dan dibunuh selama 1781-1888. Sekitar 800 ribu umat Katolik tewas dalam delapan kali penganiayaan di berbagai wilayah, seperti Shinhae (1791), Eulmyo (1795), Jeongsa (1797), Shinyu (1801), Eulhae (1815), Junghae (1827), Gihae (1839), dan Byungin (1866).

Paulus tak takut sedikit pun. Ia terus menyebarkan buku-buku rohani dan gambar-gambar Yesus serta Maria. Ia sangat paham bahwa tindakannya ini tentu melanggar aturan yang dikeluarkan Gubernur Jeonju yang melarang segala aktivitas peribadatan di Seoul. Pada 1827, ia dilaporkan ke Gubernur Jeonju. Ia ditangkap dan dibawa ke pusat keamanan, lalu dijebloskan ke penjara Jeonju.

Luka-luka di sekujur tubuh membuat Paulus menderita infeksi yang mendalam hingga tutup usia pada 27 Juni 1827. Ia wafat pada usia 35 tahun. “Tuhan telah menolongku. Jika saya pergi ke surga lebih dahulu, saya akan menyambut siapa saja yang datang ke rumah Bapa,” pesannya sebelum meninggal.

Pada 2004, Konferensi Uskup Korea (Catholic Bishops’ Conference of Korea/CBCK) mengajukan proses penggelaran kudus bagi Paulus bersama 123 martir Korea yang lain. CBCK membentuk komisi khusus penyelidikan proses penggelaran kudus yang dipimpin Sekretaris CBCK sekaligus Uskup Auksilier Daejeon, Mgr Agustinus Kim Jong Soo. Pada 7 Februari 2014, Kongregasi Pengge-laran Kudus mendapat restu Bapa Suci untuk membeatifikasi 124 martir Korea, di dalamnya terdapat nama Paulus. Misa Beatifikasi dipimpin Paus Fransiskus ketika berkunjung ke Korea pada 13-18 Agustus 2014. Misa digelar di Gwanghwamun Gate, Gyeong-bokgung di Jongno-gu, Seoul, pada 16 Agustus 2014. “Inilah tanda bahwa tubuh bisa hancur, tetapi iman selalu hidup agar Gereja pun bisa hidup,” pesan Bapa Suci.

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini