HIDUPKATOLIK.com – Beruntung mudik (pulang kampung) bukanlah tradisi dalam merayakan Natal. Meskipun demikian, merayakan Natal ”di luar Nazaret” (baca: di tanah perantauan), kadang memilukan, namun tetap indah.
[kilas balik Hidup edisi-51 hal.8-9 Desember 2008]
Merayakan Natal di kampung halaman bisa dengan keluarga dan sanak saudara. Natal di perantauan hanya bisa dirayakan dengan teman-teman,” jelas Viannie Ping (31), perempuan asal Putusibau, Kalimantan Barat (Kalbar).
Sejak tahun 2000, ia merantau ke Hong Kong untuk mencari nafkah. Sebelumnya, Viannie sempat menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Singapura.
Menurutnya, Natal di perantauan tak selamanya menyedihkan, meski dia tidak bisa mengikuti Misa Malam Natal karena perusahaan tempatnya bekerja melarang untuk keluar malam. ”Namun, saya bisa merayakan Misa Natal 25 Desember, pagi hari bersama Komunitas Hati Kudus Yesus Hong Kong dengan imam asal Indonesia, Pastor Johanes Indarta SVD,” ungkap Viannie.
Para TKI Hong Kong yang beragama Katolik mempunyai sebuah komunitas bernama
Komunitas Hati Kudus Yesus (HKY). Mereka sering melakukan pertemuan dan
Misa menggunakan bahasa Indonesia. Misa dipimpin oleh imam asal Indonesia.
Awalnya, pertemuan Komunitas HKY diselenggarakan di Konsulat Indonesia. Namun, sejak dua tahun terakhir, Keuskupan Hong Kong memberikan Gereja Christ The King, milik Suster-suster St Paul (SPC) sebagai tempat Misa Komunitas HKY. Kegiatan ini berlangsung setiap Minggu, pukul 13.30 waktu setempat.
”Dalam Komunitas HKY, saya bisa bertemu dengan teman-teman dari Indonesia, termasuk para pastor, suster, dan frater yang sedang bekerja di Hong Kong,” ungkap Viannie. Suasana rindu kampung di malam Natal juga dirasakan Retha (38), rekan Viannie sesama TKI di Hong Kong.
Ibu dua anak dari Desa Srimulyo, Kalirejo, Lampung Tengah ini menuturkan, ”Saya kadang sedih saat mengingat keluarga di malam Natal, apalagi kalau mendengar anak-anak sedang sakit. Namun, saya merasa bahagia jika sudah bertemu dengan
teman-teman Komunitas HKY.”
Retha aktif di kepengurusan Komunitas HKY. Dia pergi ke Hong Kong untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Dengan bekerja di luar negeri, Retha berharap dapat
menyekolahkan kedua anaknya setinggi mungkin, sehingga kelak dapat menjadi
orang yang berguna dan bisa melayani sesama.
Membuat mukjizat
Konon, untuk ”membuat mukjizat” (memperbaiki kehidupan), seseorang hendaknya keluar dari Nazaret alias tempat kelahiran atau kampung halamannya. Sama halnya dengan Yesus yang semasa hidup-Nya tak pernah membuat mukjizat di Nazaret.
Barangkali realitas seperti itulah yang menyebabkan banyak orang mencari kehidupan
yang lebih baik dengan merantau. Jika Yesus tetap di Nasaret, barangkali Dia akan tetap dianggap sebagai Anak Yusup, si tukang kayu.
Demikian yang dilakukan Linawati Sidabalok (28) asal Medan, Sumut; Yoakim Rahmatprasojo (42) asal Sleman, DIY; Bonaventura Ginting (40) asal Tanah Karo, Sumut; dan Maksimus Sea (30) asal Nagekeo, Flores, NTT.
Dengan alasan yang hampir sama, untuk memperbaiki kehidupan, mereka menuju ”tanah yang menjanjikan”, yakni Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Lina memilih bekerja di PT Batu Ampar. Rahmat meninggalkan profesi guru bahasa Inggris di SMA Negeri Ngaglik, Sleman, DIY untuk bekerja di PT Unisem. Sedangkan Ginting bekerja di PT Poultrindo Lestari. ”Sebelumnya, saya bekerja di pembibitan dan penjualan bunga,” tutur Ginting yang semula memilih Jakarta sebagai tujuan perantauan.
Maksi memilih bekerja di PT Volex Kawasan Industri Sekupang. ”Saya merantau untuk mencari suasana hidup baru dan ingin mandiri tanpa tergantung pada orangtua,” ungkap Maksi. Ketika lulus SMEA, 2000, Lina tak mungkin melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi
karena ketiadaan biaya. Dia memutuskan merantau ke Batam untuk bekerja di pabrik.
Sebelum di PT Batu Ampar, Lina pernah berkerja di PT Muka Kuning. Kini, dengan penghasilannya, Lina berhasil ”membuat mukjizat”: membantu orangtuanya di
Medan. ”Sebagai karyawan pabrik, meski dengan gaji basic, namun ditambah dengan uang lembur, hasilnya lumayan hingga saya dapat mengirim tambahan biaya sekolah adik-adik di kampung,” tutur Lina yang aktif di Mudika, Bina Iman, dan Legio Maria, serta sering menjadi lektor di Paroki Beato Damian Bengkong itu.
Lain halnya dengan Rahmat. Setelah menyelesaikan kuliah Sastra Inggris di Universitas
Gajah Mada (UGM), 1992, Rahmat melamar kerja ke sejumlah perusahaan. Sembari
menunggu panggilan, dia mengajar bahasa Inggris di SMA. Tawaran kepastian kerja dari Batam datang lebih awal dibandingkan perusahaan-perusahaan lainnya. ”Saya memutuskan mengambil kesempatan tersebut, meskipun saya sedang mengikuti tahapan seleksi di dua lembaga perbankan negeri,” ungkap Rahmat. Pilihannya ternyata tepat.
Setelah bekerja dua tahun, 2002, Rahmat diizinkan membeli rumah perusahaan yang
sampai sekarang ditinggali bersama istri dan keempat anaknya. Dalam kehidupan menggereja, Rahmat dipercaya menangani Bidang Pewartaan Paroki Beato Damian Bengkong, periode 2007-2010.
Merantau, kemudian menikah dan beranakpinak di tanah rantau juga dilakukan Ginting
yang kini hidup bahagia dengan istrinya, Martalena Helena Tarigan dan keempat anaknya.
Ginting boleh dikatakan cukup sukses membina kesejahteraan keluarga.
Semula Ginting bekerja di Indosat, kemudian ia merintis menjadi agen perkapalan, lalu ia
beralih ke usaha pembibitan dan penjual bunga, sebelum akhirnya ia menjadi karyawan
perusahaan lagi. Cerita Maksi agak berbeda. ”Mukjizat” yang sempat dibuat Maksi antara lain ketika ia melamar Ester Rio yang kini telah memberikan dua anak. ”Pernikahan yang kami langsungkan tanpa bantuan orangtua, tetapi berjalan lancar. Semua itu berkat dukungan rekan-rekan seperjuangan,”kenang Maksi bangga.
Meski jarang merayakan Natal di kampung halamannya, Maksi tetap merasa terhibur Natalan di Batam. Di sini, dia dapat merayakan Natal bersama orang-orang asal Flores lainnya. ”Cuma saya sering sedih jika mendengar kabar duka dari kampung halaman dan kami tidak bisa pulang,” ungkap aktivis Paroki Kerahiman Ilahi Tiban itu. Maksi pernah menjadi penyemir sepatu dan tukang parkir, sebelum ia bertemu seseorang yang membawanya ke Batam.
Tanah air kedua
Meskipun banyak kenangan indah yang pernah mereka alami di kampung halaman masing-masing, mereka tak ingin kembali, kecuali sekadar mengunjungi orangtua dan sanak keluarga atau berlibur. Seperti seorang misionaris, mereka meninggalkan negerinya dan mengganti paspor lama dengan paspor baru sebagai warga negeri yang dilayaninya.
Mereka menganggap ”tanah misi” merupakan ”tanah air keduanya”. Maksi, misalnya. Dia sudah betah berada di Batam. ”Harapan saya ke depan, kami dapat menjalani kehidupan lebih baik sesuai yang dikehendaki Tuhan, yaitu keluarga harmonis dan bisa menyekolahkan anak-anak,” tegas Maksi. Hal senada juga diungkapkan Ginting
dan Rahmat. Ginting mengaku, penghasilannya sudah mencukupi.
”Ya, terpikirkan juga keinginan merayakan Natal bersama keluarga besar di Tanah Karo. Bertemu dengan sanak keluarga merupakan kesempatan untuk semakin mempererat
jalinan persaudaraan, berdoa bersama, sharing pengalaman hidup dan iman,” tutur
Ginting.
Sedangkan bagi Rahmat, Batam bukanlah sekadar tempat menumpang hidup. Batam juga menjadi ladang kerasulannya. Sebagai anggota masyarakat, dia ingin menularkan pola kehidupan yang tidak membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya tapi peka terhadap masyarakat yang menderita.
Hanya Lina yang belum memutuskan Batam sebagai ”tanah air kedua”. ”Semoga pada
Natal tahun ini, Yesus mengabulkan doa-doaku, terutama agar aku dapat melayani kegiatan di paroki dan mendapat jodoh yang seiman…, doakan ya,” harap Lina.
Retha dan Viannie pun demikian. Keduanya belum pernah berpikir untuk menukar
paspornya menjadi warga negara Hong Kong.
Budi Santosa Johanes/Ludgerus Lusi Oke (Batam)/Retha (Hong Kong)
(ab)