Tentara Negara dan Gereja

6795
Marlyn Rellius Nainggolan.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Memberikan diri untuk Negara dan Gereja menjadi harapannya. Setelah pensiun dari TNI AD, ia ambil bagian dalam pelayanan di Gereja. Kehidupan doa pun terus ia hayati hingga kini.

Marlyn Rellius Nainggolan, anak kedua dari tujuh bersaudara. Orangtuanya, petani dan nelayan di Pulau Samosir, Danau Toba, Sumatra Utara. Keluarga Marlyn Rellius Nainggolan menjadi keluarga Katolik pertama di Pulau Samosir. Kediaman orangtuanya menjadi tempat kebaktian atau ibadat selama beberapa tahun. Hal itu terjadi karena gereja stasi belum ada di sana.

“Tempat kami termasuk wilayah Paroki St Mikael Pangururan Pulau Samosir, Keuskupan Agung Medan. Saya dibaptis ketika kelas 5 SD bersama orangtua dan saudara yang lain,” kisah Nainggolan.

Lulus SD, Nainggolan melanjutkan pendidikan di SMP Bakti Mulia Samosir. Di sana, ia tinggal di asrama. Menurut Nainggolan, kehidupan di asrama turut membentuk kedisiplinan dan penanaman nilai-nilai kekatolikan dalam dirinya. “Saya mengikuti Misa pagi, berdoa malam bersama, menjadi misdinar, dll,” ujarnya. Kehidupan doa terus ia hayati sejak usianya masih dini.

Kemudian Nainggolan melanjutkan pendidikan di SMA Bakti Mulia Samosir. Setamat SMA, ia sempat kuliah. Karena keadaan ekonomi keluarga, ia terpaksa tidak melanjutkan kuliahnya. Selama tahun 1969-1973, ia menempuh pendidikan di AKABRI Magelang, Jawa Tengah. “Ya … keputusan itu karena keadaan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan saya melanjutkan kuliah. Orangtua harus membiayai adik-adik saya juga. Waktu itu sedang musim paceklik juga,” ujarnya.

Melalui pendidikan di AKABRI, tergelar jalan untuk hidup sebagai tentara. Ia pun memutuskan untuk meniti karir militer di Angkatan Darat (AD). Berbagai tugas sebagai seorang TNI AD pernah ia emban. Nainggolan pernah dipercaya sebagai Komandan Kodim (Dandim) di Tarakan, Kalimantan Timur (1991-1993). Ia juga pernah bertugas sebagai Komandan Korem (Danrem) 173 Biak, Irian Jaya.

Sebagai tentara, Nainggolan ingin membaktikan diri untuk negara. Hal itu juga seiring dengan keinginannya untuk bisa ambil bagian dalam pelayanan Gereja. Namun karena tugas-tugas yang diemban, keinginan itu belum terwujud. “Sekarang saya sudah pensiun dari TNI AD, saya ingin bisa memberikan diri untuk pelayanan di Gereja,” tuturnya.

Menghidupi Iman
Dalam menjalani tugasnya sebagai seorang TNI AD, Nainggolan berusaha untuk menghayati imannya sebagai seorang Katolik. Di mana pun ia ditugaskan, ia berusaha untuk mencari gereja dan mengikuti Misa mingguan.

“Saya meyakini iman saya. Kita mesti juga tulus ikhlas berdoa karena berdoa bisa mengubah hidup,” kata ayah tiga putra dan seorang putri ini. Nainggolan juga berusaha untuk ambil bagian di tengah masyarakat dan Gereja di mana ia ditugaskan. Misalnya, ketika menjadi Danrem di Biak, ia singsingkan lengan dan ikut membantu umat yang tengah merenovasi gereja. “Saya ikut memindahkan altar karena ada renovasi gereja,” ujarnya.

Dalam kehidupan sehari-hari di tengah tugas sebagai TNI AD, Nainggolan dikenal sebagai sosok sederhana, tegas, dan dapat menghargai orang lain. Prinsip kesetaraan pun selalu ia pegang. Rekan-rekannya menyebutnya sebagai pendeta. Nainggolan hanya tersenyum menanggapi sebutan tersebut.

Sebagai anggota TNI AD, Nainggolan mesti siap sedia ketika harus pergi dari satu daerah ke daerah lain untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Pun ketika ia mendapat tugas untuk menjadi Veteran Timor-Timur pada 1970-an. “Dua kali saya bertugas di Timor-Timur, yaitu pada 1970-an dan 1979. Tiga bulan saya tidak bisa dikontak. Saya pasrah, menyerahkan semua kepada Tuhan. Waktu itu, saya masuk dalam pasukan tempur,” kenang Nainggolan.

Nainggolan sadar akan pilihannya menjadi tentara. Ia berusaha untuk berserah kepada kehendak Tuhan atas dirinya. Ia berupaya untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya.

Berdoa dan Melayani
Pada 2003, Nainggolan pensiun dengan pangkat kolonel. Lantas, ia ingin mewujudkan keinginannya untuk bisa melayani Gereja. Selama tiga tahun, 2004-2007, Nainggolan ambil bagian sebagai Kabag Personalia atau Umum di Paroki St Aloysius Gonzaga Cijantung, Jakarta Timur dan juga menjadi Ketua Monitoring Dewan Paroki Harian Cijantung.

Selain itu, sejak 2007 hingga sekarang, Nainggolan juga melayani sebagai prodiakon. Sudah tiga periode ia melibati pelayanan sebagai prodiakon. Tahun 2007-2010, ia dipercaya sebagai Wakil Ketua Prodiakon Paroki Cijantung. Kemudian periode berikutnya, 2010-2013, ia menjadi Ketua Prodiakon Paroki Cijantung.

Dalam kegiatan lingkungan dan wilayah, umat Lingkungan St Benediktus Wilayah 9 ini berusaha ambil bagian dalam berbagai kegiatan. “Sepanjang saya masih bisa, saya akan memberikan diri saya untuk pelayanan,” tandas laki-laki kelahiran Pulau Samosir, 27 Juni 1948 ini. Bagi Nainggolan, ada kebahagiaan tersendiri yang ia rasakan tatkala ia bisa memberikan diri untuk orang lain dan melayani orang lain.

Kehidupan doa pun terus ia hayati dalam kesehariannya. Ketika menjalankan tugas sebagai anggota TNI AD di daerah terpencil, kekuatan doa menjadi salah satu penopang hidupnya. Sejak sang ibu meninggal, Nainggolan secara khusus berdevosi kepada Bunda Maria.

Selain itu, Nainggolan mendedikasikan sebagian waktunya untuk membaca Kitab Suci sampai selesai. Butuh waktu tiga tahun, sekitar 1996-1998, ia menyelesaikan membaca Kitab Suci. “Di waktu- waktu luang, saya sempatkan membaca, kemudian saya kutip dan saya tulis ayat-ayat yang menarik di buku catatan,” tuturnya.

Salah satu ayat favoritnya adalah 1Kor 13:13, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” Nainggolan mengaku bahwa ayat itu paling ia resapi. Kadang jam satu malam Nainggolan terbangun. Ia lantas membaca Kitab Suci dan mengutip ayat yang menarik. Atau ia akan membaca buku-buku lain tentang agama.

Di lantai dua rumahnya ada satu ruangan yang digunakan sebagai ruang doa. Ia biasanya menghabiskan waktu di sana untuk membaca Kitab Suci dan berdoa. “Dulu, kadang saya berdoa bersama keluarga di kapel. Kami duduk melingkar kemudian berdoa.”

Akhir-akhir ini, Nainggolan berdoa dengan berjalan mengelilingi taman di bagian belakang kediamannya. Sambil menggenggam Rosario, ia mendaraskan Salam Maria. Suasana hening dan asri menambah khusyuk doanya.

Nainggolan dengan mantap mengungkapkan, “Saya ingin maju, terus berpengharapan yakni optimis, dan prihatin. Prihatin itu saya yakini dengan berdoa. Dengan berdoa itu, saya diajari untuk rendah hati. Pintu surga itu rendah … yang bisa rendah hati, bisa masuk. Siapa yang menanam kasih, akan menuai kemuliaan.”

Maria Pertiwi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini