Gara-gara Martin Luther

3589
Antonius Eddy Kristiyanto OFM
[NN/Dok.HIDUP]

HIDUPKATOLIK.com – Pergumulan rohaninya terjawab oleh Kitab Suci. Nubuatnya tentang perlunya reformasi berubah menjadi perseteruan. Ia keliru karena menangkap katolisisme pinggiran, meski ada maksud mengembalikan pada Injil.

Bagaikan luka lama yang selalu baru, begitu pulalah kondisi relasi antara pihak yang pro dan kontra terhadap gerakan pembaruan Gereja oleh Martin Luther cum suis. Sikap pro vs kontra itu bertumbuh di lingkungan Katolik dan Protestan. Masing-masing mempunyai alasan sendiri, dan bergeming.

Kelompok Pro Reformasi bagaikan kaum liberal. Mereka ini menemukan alasan sah bagi reformasi dan pembaruan dalam Gereja, bahkan reformasi itu diyakini sebagai keniscayaan, jika hendak tetap eksis dan bermakna. Sedangkan Kelompok Kontra bergeming bak kaum konservatif, yang alih-alih melakukan konservasi, malah menutup diri terhadap segala bentuk pembaruan. Tarik-menarik antarkubu tak jarang menghalalkan penggunaan istilah Antikristus, penjelmaan Lucifer, Tetua Penghulu Neraka.

Bersikukuh pada pendirian dan alasan baik rasional maupun emosional tidak pernah dilarang. Tetapi pada zaman lalu ada kekuasaan, baik gerejawi maupun sipil, yang memiliki otoritas untuk menentukan pilihan, termasuk pilihan beragama dan berkeyakinan.

Ketika (otoritas) agama berikut perangkat penopangnya seperti hierarki, pejabat lembaga agama, menjadi “panglima tertinggi”, maka yang terjadi adalah kesewenang-wenangan. Dalam kondisi seperti itu, aneka pandangan dan tafsir yang berbeda dan tidak mengikuti mainstream, disamakan dengan upaya menggulingkan “panglima tertinggi”. Heterodoksi tergilas oleh ortodoksi.

Sementara itu, “panglima tertinggi” menetapkan dirinya sendiri sebagai pemegang dan pelestari otoritas kebenaran. Atas nama pandangan yang diklaim sebagai mutlak itulah, agama berubah menjadi alat kekuasaan dalam dirinya sendiri.

Mengapa Luther
Adalah seorang imam Augustinian, Martin Luther. Jiwanya seakan terangkat ke surga dan disambut himpunan para malaikat ketika ibadat bersama dilantunkan dalam biaranya. Tetapi lain waktu ketika Katie (mantan biarawati) mengajaknya untuk menempuh hidup baru dan ada bersama di hutan kecil, Luther pun tidak pelit melantunkan lagu dengan penuh hasrat akan keindahan. Ia berkata lirih, “Perasaanku sedang dalam bulan April, musim semi!”

Kebatinan fluktuatif menandai karakter Luther dan menjadi lahan subur stres dan depresif, jika tidak berhasil diolah. Luther kemudian didera aneka mala: sembelit, insomnia, gout, bawasir, darah tinggi, batu ginjal, katarak, pendengaran sangat terganggu. Bisa jadi, desolasi spiritual mengejawantahkan jasmani yang merana. Malam gelap bagi jiwanya merupakan penggenapan Im. 26:36-37. Inilah tikungan tajam yang menanjak, yang menerbitkan bagi Luther, tekanan batin yang perlu.

Kegundahannya tentang keselamatan terjawab melalui Roma 1:17, Orang benar akan hidup oleh iman. Ditolaknya peran perbuatan baik dalam tata keselamatan. “Good works do no not make a person good, but a good person does good works”, kata Luther dalam The Freedom of the Christian Man. Pada awalnya, ia juga tidak membedakan antara yustifikasi dan santifikasi. Sebab baginya, yustifikasi itu kedua-duanya, yakni tujuan dan proses. Keduanya merupakan pemberian dari Allah melalui iman.

Para pengikut Luther kemudian membulatkan keyakinan. bahwa tiga asas terpenting bagi gerakannya adalah pembenaran hanya oleh iman, imamat semua kaum beriman, otoritas tertinggi Alkitab. Lalu terlihat gamblang gara-gara Martin Luther perbedaan doktrinernya dengan Katolik Roma: the Protestants saw the exclusive ground of justification as the imputed righteousness of Christ.

Ada ungkapan John Tetzel yang disitir di mana-mana, “Begitu satu koin dimasukkan dalam kotak dana itu berbunyi, maka satu jiwa dari api penyucian terangkat ke surga! Ungkapan ini dihubungkan dengan ambisi Paus Leo X untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan Basilika St Petrus, yang kemudian melakukan perhitungan dengan Uskup Agung Mainz, Albert. Semua kondisi sudah siap dan matang bagi lahirnya revolusi.

Tidak salah kalau orang memandang Luther sebagai pahlawan religius; malahan Jean Calvin memandang Luther sebagai “rasul”. Luther menempuh jalan heroik dan mempertaruhkan seluruh hidupnya di hadapan Parlemen (Diet) di Worms untuk semua yang ia percayai, yakni inti dan jiwa Injil. Tetapi heroisme itu kian muskil, ketika berupaya mempertahankan gerakan reformasi dan warisannya.

Awalnya, Luther hidup dan mengajar, nothing to lose. Tetapi ketika keberhasilan menjadi perangsang penuh daya, khususnya saat kebenaran dipertaruhkan, maka ia akan membela mati-matian berapa pun harganya. Dia gigit kebenaran itu dan tak akan melepaskan sebelum ajal tiba. Inilah Injil, inilah suara hati, inilah yang membuat Luther tidak bergeser seinci pun.

Anfechtung
Dalil No. 86 yang terasa nyeleneh berbunyi: Mengapa Sri Paus tidak membangun Gereja St Petrus dengan uangnya sendiri – karena kekayaannya kini lebih banyak daripada kekayaan Crassus, politisi terkaya dalam sejarah kekaisaran Roma, daripada uang orang-orang miskin Kristen? Tetapi itulah puncak gugatan (Anfechtung) hati yang tertindih oleh praksis yang bertentangan dengan Injil. Mungkin harus dikatakan, Martin Luther sangat subversif. Sebab, ia mau mengembalikan praksis Gereja yang korup dan dapat disuap kepada Injil Kristus.

Tentu saja, Martin Luther bukan segala-galanya. Nirmala! Ia kalang kabut, ketika gagasannya dimengerti oleh akar rumput, sebagai bentuk agitasi melawan kemapanan pada tuan tanah. Ia juga dinilai sangat tidak simpati dan menjadi antidote terhadap orang Yahudi dan Islam, yang perlu diperangi. Ia bagaikan nabi yang memiliki sisi gelap, tetapi manusia manakah yang tidak demikian?

Tokoh seperti H. Grisar, H. Denifle, J. Cochläus, A. Herte telah memandang Luther hanya sebagai pribadi dan sisi yang negatif. Dari pribadi yang negatif hanya dihasilkan negativitas. Sebaliknya, bagi orang Protestan, reformasi itu merupakan bentuk pembebasan dari Kristianitas yang benar dan murni dari beban perbudakan berabad-abad yang mewujud dalam manipulasi, idolatria, dan kesalahan.

Martin Luther adalah seorang reformator, yang acap kali dipandang secara keliru sebagai dedengkot yang memelopori keterpecahan dalam kesatuan Gereja Katolik. Lalu dimulailah denominasi baru yang dia rintis, yang kini banyak yang kembali ke muntahan Luther. Sesungguhnya, ia tidak bermaksud untuk memisahkan diri dari, apalagi memecah belah Gereja. Tetapi pihak pemimpin Gereja sendiri saat itu yang “menolak” Luther.

Protes itu dilayangkan kepada Uskup Mainz secara tertulis. Di sekitar berkas indulgensi ini muncul mitos yang tersebar luas. Konon, pada 31 Oktober 1517, Martin Luther sendiri memasang 95 dalil tentang kekuasaan dan efisiensi Indulgensi sebagai protes di daun pintu kapel gereja Wittenberg. Mitos itu dibumbui dengan ramuan tentang peran percetakan (rintisan Johann Guttenberg) yang kemudian melipatgandakan 95 dalil itu, sehingga dalam waktu relatif singkat, karya Luther itu tersebar ke seantero Jerman.

Mitos yang menyatakan inilah deklarasi kemerdekaan Luther dari Roma ini secara historis tidak akurat. Sebab satu-dua tahun setelah Luther wafat, 1546, Philip Melanchthon, sahabat Luther, menciptakan mitos itu. Daya guna mitos dengan demikian mencapai klimaksnya, yakni mendapatkan sosok reformator yang visioner dan tajam. Tetapi “daya dobrak” reformasi Luther sesungguhnya terdapat dalam hal ini: Luther dipengaruhi oleh Roh Kudus yang bekerjasama dengan pemerintah sipil (terutama Frederich Saxonia), dan para tokoh (Melanchthon, Karlstadt) untuk melancarkan pembaruan dan menyelamatkan Gereja Katolik.

Martin Luther sesungguhnya tidak kurang Katolik. Minimal ada tujuh karya yang memperlihatkan kekatolikannya yang mendalam. Misal Penjelasannya tentang Magnificat, yang mempertontonkan devosinya kepada Bunda Maria; Khotbah di Coburg, yang menunjukkan bagaimana Luther mempunyai hormat bakti pada para Kudus bagi tujuan-tujuan Injili; Traktat tentang Perjamuan Tuhan, yang memberi kesan tidak polemis dan mengandung kesalehan ekaristik yang kaya pada khususnya dan kesalehan sakramental pada umumnya; Teks tentang Sakramen Baptis dan Sakramen Tobat, serta persiapan untuk kematian (lih. P. Krey cs. The Catholic Luther).

Akhirnya kita menemukan cara baca baru atas peristiwa Martin Luther yang dilontarkan Kardinal Kasper (Martin Luther: An Ecumenical Perspective, 2017). Dia menekankan, betapa relevannya pesan Luther bagi orang Kristen dari semua denominasi. Pesan Luther tentang belas kasih dan Kerahiman Ilahi merupakan jawaban Luther terhadap problem yang dihadapinya dan masalah-masalah pada zamannya, sebagaimana juga terhadap kita sekarang ini.

Juga kalau kita membaca dokumen babon, seperti Unitatis Redintegratio Konsili Vatikan II tentang ekumenisme; The Joint Declaration on the Doctrine of Justification, 1999 (di mana Gereja Katolik dan Lutheran menyepakati ajaran tentang Yustifikasi); dan From Conflict to Communion (2017), kita memeroleh kesan sangat kuat tentang poin-poin rekonsiliatif. Ini semua ekspresi gara-gara Martin Luther, sehingga semua merasa perlu bertobat.

Cara baca baru itu diinspirasikan oleh kata-kata Joseph Lortz, Luther rang in sich selbst einen Kaholizismus nieder, der nicht katholisch war. Maknanya, Martin Luther telah mengatasi di dalam dirinya suatu katolisme yang bukan Katolik. Apa yang dikritik itu fakta di lapangan, tetapi fakta itu tidak menyatakan itu Katolik yang sesungguhnya.

Antonius Eddy Kristiyanto OFM, Guru Besar STF Driyarkara Jakarta

1 KOMENTAR

  1. saya tidak pernah menyangka kalau bapak pendeta atau pastor dari kalangan katolik memiliki pandangan yang bernuansa positif kepada luther sedangkan saya sendiri di media sosial sering diejek karena lahir di gereja reformed. Terimakasih atas artikel ini pak

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini