Haruskah Menikah?

225

HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh terkasih, nama saya Adriana. Mei nanti usia saya genap 29 tahun. Melalui surat ini, saya ingin minta masukan soal keresahan saya. Akhir-akhir ini, orangtua saya sering bertanya tentang siapa pacar saya, kapan menikah dan masih banyak pertanyaan lain. Saya cenderung diam kalau mereka bertanya tentang hal itu. Namun dalam “diam” itu, saya tidak nyaman. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, biasanya saya jawab dengan, “Belum menemukan jodoh yang cocok”.

Dari segi usia saya dianggap sudah matang dan siap menikah. Namun, karena belum siap untuk memiliki pasangan hidup dan masih ingin menikmati masa muda, saya belum serius untuk memikirkannya. Apa yang harus saya lakukan agar orangtua saya tidak terus bertanya? Mohon saran dan masukan. Terima kasih.

Adriana, Semarang

Dear Mbak Adriana, menikah adalah pilihan hidup dan hak setiap orang untuk memilih. Jika menganut pemikiran ini, sebenarnya tidak ada orang di dunia yang mengharuskan orang untuk menikah. Hanya saja, manusia adalah makhluk sosial yang berbudaya. Di budaya tertentu, ada keyakinan bahwa setiap orang yang dilahirkan memiliki pasangan. Situasi ini seringkali digunakan untuk memaksa seseorang secara tidak langsung untuk mengikuti aturan yang berlaku.

Oleh sebab itu, apabila seseorang menginjak usia yang sudah matang dan mapan, biasanya orangtua akan mengarahkan anaknya untuk segera menikah. Hal ini disebabkan juga oleh pandangan bahwa jika orangtua sudah dapat menikahkan anak, mereka dianggap sudah berhasil. Namun, ketika anaknya sudah menikah tapi bertahun-tahun belum memiliki anak, biasanya akan timbul problem baru. Orangtua akan gelisah karena belum memiliki cucu. Kegelisahan itu akan muncul dalam pertanyaan baru kepada anak mereka lagi. Terkadang tuntutan ini membuat sang anak bertindak melampaui batas dengan menikah lagi atau pada kasus kriminalnya dapat nekat menculik anak orang lain.

Lain cerita, jika anak memilih jalan hidup membiara seperti yang dilakukan oleh para Bruder, Romo, dan Suster. Mereka tidak akan diburu dengan pertanyaan kapan mereka akan menikah, karena sudah terikat aturan tidak boleh menikah.

Suka atau tidak suka, Mbak Adriana hidup dalam budaya Timur, khususnya Jawa, yang sarat dengan adat bahwa orang normal adalah orang yang menikah. Anak yang cukup umur namun belum menikah akan membuat peran orangtua dianggap gagal. Sebaliknya, jika orangtua sudah menikahkan seluruh anak, mereka akan dianggap sebagai orangtua yang sukses. Celakanya, para orangtua ini kurang berpikir panjang bahwa setelah mereka dianggap berhasil menyelesaikan tugas, bola panas akan beralih pada anaknya. Mereka kurang berpikir apakah anaknya akan bahagia atau malah sengsara dalam hidup berkeluarga.

Nah, Mbak Adriana, menurut saya Anda sudah cukup dewasa dalam memikirkan rencana dan tujuan hidup Anda beserta risikonya. Semakin tua usia, maka risiko melahirkan akan tinggi. Itu, jika Anda berencana memiliki anak. Dengan penjelasan tersebut, Anda tentu paham mengapa pertanyaan kapan akan menikah selalu muncul. Jika Anda sudah tahu rencana dan tujuan hidup Anda, bicarakanlah dengan orangtua agar mereka memahami diri Anda.

Selama Anda masih tinggal dalam budaya Timur (Jawa), dan tidak memiliki keinginan untuk hidup membiara, Anda harus siap untuk dihujani pertanyaan: “Kapan akan menikah?” Semoga pertanyaan-pertanyaan itu tidak lagi membuat Anda tidak nyaman, stres dan jengkel. Jika boleh saya sarankan, jangan Anda memutuskan untuk menikah karena desakan orang lain. Tapi, menikahlah setelah Anda menemukan pasangan yang Anda cintai dan mencintai Anda. Menikah tidak untuk menyenangkan orang lain, tapi untuk masa depan dan kebahagiaan Anda sendiri. Untuk memulainya, bukalah diri Anda dengan bergaul seluas-luasnya mulai dari sekarang di berbagai komunitas yang Anda sukai.

Dr Kristiana Haryanti M.Si, Psikolog

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini