Benarkah Gereja Pernah Setujui Hukuman Mati

366

HIDUPKATOLIK.com – Jika hak atas kehidupan itu milik Tuhan, mengapa pada masa lalu Gereja mendukung pelaksanaan hukuman mati? Bukankah ini melanggar perintah, “Jangan membunuh”? Bukankah hukuman mati tak jauh dari aborsi atau euthanasia?

Pertama, benar hidup manusia berasal dari Allah (Kej 2:7). Maka, hanya Allah yang berhak mengakhiri hidup manusia (bdk. Ul 32:29; 1 Sam 2:6), sedangkan manusia sama sekali tidak berhak (bdk. Kej 4:10-11). Barangsiapa mengakhiri hidup sesama manusia, ia akan dituntut balas oleh Allah (Kej 9:5-6). Inilah dasar dari larangan “Jangan membunuh”. Larangan ini memiliki nilai absolut ketika merujuk kepada orang yang tak bersalah (bdk EV 57; KGK 2268). Yang dilarang di sini ialah tindakan intensional, yang disengaja, dari seorang manusia untuk mematikan hidup orang lain yang tak bersalah.

Kedua, Gereja selalu mengakui, pemerintahan sipil memiliki kuasa menghukum yang bersalah, melindungi yang tak bersalah, dan menjaga ketertiban. Tujuan dasar perintah “Jangan membunuh” ialah pemeliharaan dan pengamanan kehidupan bersama manusia. Sesuai dengan tujuan dasar ini, pemerintah sipil diijinkan mempraktikkan hukuman mati.

Perjanjian Lama mengijinkan hukuman mati. Hukum Musa merinci tak kurang dari 36 pelanggaran yang bisa dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati merupakan tuntutan balasan Allah, “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” (Kej 9:6). Perjanjian Barujuga mengijinkan hukuman mati. Yesus menegaskan keabsahan hukuman mati, “Siapa yang mengutuki ayah atau ibunya, pasti dihukum mati” (bdk. Mat 15:4;Mrk 7:10; bdk. Kel 21:17 dan Im 20:9). Rasul Paulus mengajarkan, pemerintah sipil memiliki pedang sebagai pembalas murka Allah. Pemerintah sipil adalah “hamba Allah untuk kebaikanmu” (Rom 13:4).

Jadi, praktik hukuman mati tak dipandang sebagai pembunuhan, tapi sebagai pembelaan atas kehidupan dan kesejahteraan umum. Katekismus menegaskan, “pembelaan kesejahteraan umum masyarakat menuntut agar penyerang dihalangi untuk menyebabkan kerugian” (KGK 2266). “Pembelaan yang sah itu, bagi orang lain yang bertanggung jawab atas kehidupan orang lain atau keselamatan keluarga atau masyarakat negara, tidak hanya merupakan hak, tetapi kewajiban yang berat.” (KGK 2265). Jika peredaran narkoba sudah tak bisa diatasi hanya dengan hukuman seumur hidup, karena dari dalam penjara, para penyelundup narkoba dan atau bandar narkoba masih bisa mengendalikan peredaran narkoba, dan di lain pihak, para penegak hukum juga telah dilemahkan dengan membiarkan peredaran itu, atau bahkan ikut serta sebagai pemakai atau pengedar, maka hukuman mati dapat dibenarkan sebagai sarana melindungi masyarakat dari situasi yang lebih membahayakan.

Ketiga, mengijinkan hukuman mati tak serta merta mengijinkan aborsi dan euthanasia.  Hukuman mati tak pernah dilihat Gereja sebagai kejahatan, dan bisa dibenarkan sebagai tindakan pembelaan demi kehidupan dan kesejahteraan umum. Hal ini berbeda sekali dengan aborsi dan euthanasia. Aborsi adalah pembunuhan atas janin yang sama sekali tak bersalah, bahkan tak berdaya (KGK 2270-2271). Euthanasia ialah pematian dengan sengaja orang yang sakit atau cacat dengan menghentikan sarana perawatan medis atau memberikan zat yang mematikan. Aborsi dan euthanasia tetap dipandang sebagai kejahatan yang mendatangkan ekskomunikasi (bdk. KHK Kan 1398; KGK 2272 dan 2277).

Keempat, Gereja Katolik tak mengubah prinsip doktrinal tentang hukuman mati. Gereja menghimbau pemerintah sipil melakukan pertimbangan yang lebih mendalam demi menghormati nilai dan kesakralan hidup, serta demi menggalakkan budaya kehidupan dan kasih, sehingga penerapan hukuman mati menjadi jarang atau tak ada sama sekali (EV 56; KGK 2267).

Petrus Maria Handoko CM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini