Saya Benci Menjadi Seorang Guru – Bagian IV

229
Festival budaya anak-anak Papua pesisir di SMA Adhi Luhur, 28 Oktober 2017 lalu

Manis diceritakan namun pahit saat dialami, itulah ungkapan yang paling tepat saat merenungkan kembali pengalaman berkarya di Papua. Bulan Juli 2017 adalah saat saya kembali mengajar di di Papua.

Saya diminta untuk mengajar 3 mata pelajaran, yaitu pendidikan agama katolik, matrikulasi bahasa Inggris dan biologi peminatan untuk kelas X IIS. Bagi seorang guru yang baru saja lulus dari pendidikan biologi dan mengajar pendidikan agama Katolik dan bahasa Inggris tentu adalah hal “manis“ yang saya alami.

Mengajar mata pelajaran yang baru butuh persiapan yang mendalam. Padahal, apa yang masih segar di otak saya adalah materi-materi pembelajaran biologi. Saat mengajar bahasa Inggris, saya tertegun, anak-anak kelas X SMA di sini tidak memahami materi bahasa Inggris kelas V SD yang saya berikan. Usut punya usut, ada sebagian dari anak-anak kami, ada yang belum lancar berbahasa Indonesia.

Saat penerimaan siswa baru, kami tidak memiliki banyak pilihan. Para siswa datang dari berbagai tempat, kebanyakan justru dari pedalaman dan pegunungan, di mana sistem pendidikan tidak berjalan dengan baik.

Akibatnya, para siswa yang mendaftar pun memiliki kemampuan akademik yang terbatas. Karena alasan itu, kami pun harus melaksanakan program matrikulasi untuk banyak mata pelajaran. Tak jarang, seiring berjalannya waktu studi, para siswa mengundurkan diri.

Sebagian dari mereka merasa tidak tahan untuk mengikuti dinamika pembelajaran di SMA Adhi Luhur. Betapapun mereka belajar dengan keras, mereka tidak mampu mengejar ketertinggalan yang mereka alami.  Sementara, para siswa yang mengundurkan diri merasa kesulitan mengikuti pola pembelajaran yang ketat dan disiplin.

“Romo, saya mohon ijin untuk keluar dari sekolah Adhi Luhur,“ tutur seorang siswa.

“Lho mengapa kamu mau keluar,“ tanya seorang romo rekan.

“ Sekolah ini terlalu baik dan disiplin jadi, maka saya mau pindah saja,“ jawab siswa tersebut.

Barangkali, kisah tersebut terdengar aneh di telinga kita, tetapi itu terjadi. Sementara itu, orang tua yang anaknya tidak naik kelas atau pindah, akan datang ke sekolah dan meminta kembali uang biaya sekolah yang pernah dibayarkan di sekolah adalah “pemandangan“ lain yang tak wajar namun juga terjadi.

(bersambung ke bagian ke V)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini