Perutusan Topi Merah untuk Berdialog

169

HIDUPKATOLIK.com – Paus Fransiskus, pada konsistori kali ini, mengangkat 20 kardinal, termasuk dari negara yang belum pernah punya kardinal. Apa makna di balik pilihan ini?

Yang pertama akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang pertama. Adagium ini seolah mewujud dalam konsistori pengangkatan kardinal baru dalam dua tahun terakhir. Takhta Keuskupan Agung Torino dan Kepatriakhan Venezia yang sudah mentradisi selalu menerima “topi merah” ternyata dilewati begitu saja.

Sejak konsistori 2014, Paus menganugerahkan “topi merah” untuk pertama kali dalam sejarah bagi tiga keuskupan, yakni Keuskupan Les Cayes, Haiti, Keuskupan Castries, St Lucia-Karibia, dan Keuskupan Cotabato, Filipina. Tahun ini, ia membuat hal yang sama untuk empat keuskupan, yaitu Keuskupan David, Panama, Keuskupan Santiago de Cabo Verde, Cape Verde, Keuskupan Tonga, Pasifik-Oceania, dan Keuskupan Agung Yangon, Myanmar. Empat Kardinal baru ini berhak mengikuti konklaf (elektor).

Konsistori 2015 menghasilkan 20 Kardinal baru: 15 elektor dari 14 negara dan lima non-votingsebagai gelar kehormatan. Kardinal elektor baru berasal dari Eropa lima orang, Asia tiga, Amerika Latin tiga, Pasifik dan Afrika masing-masing dua orang. Empat elektor baru berlatar belakang imam religius, yakni dua Salesian (SDB), Agustinian Recollects (OAR) dan Lazaris (CM). Enam elektor masih menjabat sebagai Presiden Konferensi Para Uskup di negara asalnya, dan tiga lainnya pernah menduduki posisi serupa.

Secara umum, ada 19 tarekat dalam Kolegium. Salesian (SDB) berada di peringkat teratas dengan sembilan orang Kardinal, lalu Fransiskan (OFM) enam orang, Jesuit (SJ) empat orang, Dominikan (OP) tiga orang, Oblat (OMI) dua orang, Lazaris (CM) dua orang, dan Claretian (CMF) dua orang. Masing-masing satu orang Kardinal adalah Kapusin (OFMCap), Redemptoris (CSsR), Sulpician (PSS), Scalabrinian (CS), Cistercian (OCist), Allepian (OMM), dan Institut Sekulir St Pius X (ISPX), Dehonian (SCJ), Agustinian (OSA), Studit Ukraina (MSU), dan P.Schönstatt.

Gereja Peduli
Konsistori kali ini menegaskan wajah Gereja yang peka pada persoalan sosial kemanusiaan. Penunjukan Kardinal Alberto Suárez Inda amat sarat makna. Keuskupan Agung Morelia, Michoacán, Meksiko merupakan salah satu daerah dengan aktivitas kartel, perdagangan narkotika, dan organisasi kriminal bersenjata terbesar di sana. Dalam dua tahun terakhir, delapan imam dibunuh. Meski sudah mengajukan pengunduran diri sebagai Uskup Agung Morelia, Paus meminta Mgr Inda untuk tetap bertahan dan terus berpastoral. Bahkan dalam pertemuan Mei 2014 di Vatikan, Bapa Suci mendorongnya untuk kian lantang menyuarakan kaum tertindas. Januari 2015, Paus menunjuknya menjadi Kardinal. Ia pernah mengeluarkan surat gembala tentang penculikan 43 siswa di Guerrero.

Hal sama dirasakan oleh Uskup David Panama, Kardinal Mgr José Luis Lacunza Maestrojuán OAR. Ia dikenal sebagai mediator konflik ketika Panama dikuasai rezim militer pada akhir 1980-an. Ia gigih melakukan advokasi terhadap pemilikan tanah penduduk asli Ngabe-Bugle yang kian tergusur oleh perusahaan tambang. Berkat jasanya, ia dianugerahi Doktor HC dari salah satu Universitas Panama tahun 2012.

Sementara Uskup Agung Agrigento, Italia, Mgr Francesco Montenegro seolah menerima signal untuk memperhatikan migran “manusia perahu” dari Afrika Utara. Keuskupannya telah dikunjungi Paus Fransiskus pertama kali, yakni di Pulau Lampedusa, Juli 2013. Ia tercatat sebagai Kardinal pertama di Sisilia sejak 1786.

Sama halnya dengan Uskup Agung Yangon, Myanmar, Kardinal Charles Maung Bo SDB. Aktivis Catholic Relief Service di Asia dan Kepala Komisi Pengembangan Sumber Daya Manusia FABC ini berjuang mengatasi jurang kaya-miskin di Myanmar. Penunjukannya sebagai kardinal menjadi hadiah 500 tahun Gereja Katolik Myanmar pada 2014. Di negeri yang berpenduduk 51 juta dengan mayoritas Budha itu, umat Katolik hanya satu persen. Mereka diutus menjadi garam dan terang di tengah konflik etnis dan agama, seperti kasus Rohingya.

Gereja Berdialog
Potret Gereja yang berdialog ini juga nampak dalam sepak terjang Kardinal Lacunza di Panama. Meski negara berpenduduk 80 persen Katolik, Gereja masih direcoki aktivitas “pencurian domba di kandangnya” oleh beberapa sekte Evangelis.

Begitupun di Ethiophia. Kardinal Souraphiel berkiprah dalam dialog dengan mayoritas umat Orthodoks di Ethiophia dan umat Islam yang berjumlah 30 persen dari jumlah penduduk. Gereja Katolik hanya punya umat kurang dari satu persen. Hal serupa diperjuangkan oleh Uskup Agung Bangkok, Thailand, Mgr Francis Xavier Kriengsak Kovithavanij. Ia dituntut mengarahkan tongkat gembalanya untuk membawa kurang dari setengah persen umat Katolik dari 64 juta penduduk agar hidup harmonis dengan mayoritas etnis Thai yang beragama Budha.

Tak disangka, Kardinal baru juga dipilih dari negara komunis, yakni Uskup Agung Hanoi, Vietnam, Kardinal Pierre Nguyên Van Nhon. Pemilihan ini ditengarai terkait dengan belum adanya hubungan diplomatik antara Vatikan dan Vietnam. Pembicaraan dua negara baru dimulai 2013.

Cerminan Gereja yang ingin berdialog juga muncul dengan terpilihnya Uskup Tonga, Pasifik-Oceania, Kardinal Soane Patita Paini Mafi. Dalam usia 53 tahun, Uskup pertama dari imam Diosesan putra Tonga ini menjadi Kardinal termuda, menggeser posisi Uskup Agung Mayor Gereja Katolik Siro-Malankara Trivandrum, India, Kardinal Baselios Cleemis Thottunkal. Ia menggembalakan 15 ribu umat atau 13 persen dari total 100 ribu penduduk Tonga yang tersebar di 176 pulau, di antara mayoritas umat Gereja Methodis sejak 2007. Dari kawasan Pasifik, ia terpilih bersama Uskup Agung Wellington, Selandia Baru, Kardinal John Atcherley Dew. Ia berharap, Gereja mampu berbahasa yang membumi di tengah umat.

Selain negara mini di Pasifik, Bapa Suci juga mengangkat Uskup Santiago de Cabo Verde, Cape Verde, Kardinal Arlindo Gomes Furtado, dari negara mini di Afrika yang berpenduduk setengah juta jiwa. Putra asli yang menjadi Kardinal pertama negara itu menggembalakan umat yang berjumlah 90 persen dari total penduduk.

Harapan Baru
Pusat kekristenan ratusan tahun silam mengemuka dengan penganugerahan “topi merah”. Uskup Agung Valladolid, Spanyol, Mgr Ricardo Blázquez Péres. diangkat sebagai Kardinal ketiga Valladolid sejak Keuskupan Agung ini didirikan abad XVI. Hal serupa dialami pemilik Fiat Panda tua yang hidup sederhana, Uskup Agung Ancona-Osimo, Italia, Kardinal Edoardo Menichelli. Pun terjadi pada diri Patriakh Lisabon, Portugal, Kardinal Manuel José do Nascimento Clemente. Setelah satu periode konsistori, tahun ini Kepatriakhan Latin Lisabon mendapat giliran gelar Kardinal. Sejak Kardinal José da Cruz Policarpo pensiun pada 18 Mei 2013 dan digantikan oleh Mgr Clemente, baru konsistori 2015 Mgr Clemente dianugerahi gelar Kardinal.

Kuria Roma pun mengalami transformasi terkait kekardinalan. Inilah konsistori pertama dalam sejarah yang hanya mengangkat seorang pejabat papan atas Kuria di antara 14 Kardinal Elektor berlatar belakang Uskup Diosesan. Tak pelak Kuria Roma hanya memiliki kursi elektor 29 persen, turun dari 35 persen. Kondisi ini mirip dengan akhir masa Yohanes Paulus II (24 persen), Paulus VI (27 persen), dan Pius XII (24 persen). Uskup Agung Tituler Sagone yang menjabat Prefek Apostolik Signatura, Kardinal Dominique Francois Joseph Mamberti masuk dalam pasukan porporati.

Harapan baru itu mulai terlihat di lingkungan Kuria Roma saat ini. Dulu, di lingkungan kepausan digunakan Bahasa Italia untuk berkomunikasi. Kini, Bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol pun sudah mulai digunakan sebagai komunikasi harian.

R.B.E. Agung Nugroho

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini