Benarkah Imam Dilarang Memberi Salam Damai?

2981

HIDUPKATOLIK.com – Benarkah pada perayaan Ekaristi, Romo dilarang memberi Salam Damai kepada umat, serta tak boleh dinyanyikan lagu “Salam Damai”? Apakah ungkapan Salam Damai itu boleh dipindahkan ke tempat lain dalam perayaan Ekaristi? Mengapa muncul larangan seperti ini?

Brigita Gita Kencana, 085855917xxx

Pertama, Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen telah menerbitkan Surat Edaran tentang ekspresi ritual “Salam Damai” yang ditandatangani Paus Fransiskus, 7 Juni 2014. Surat ini merupakan tindak lanjut dari konsultasi Paus dengan Konferensi Para Uskup untuk mempertimbangkan dan mengusulkan hal-hal yang perlu tentang “Salam Damai” pada Mei 2008. Kebanyakan Konferensi Uskup mengusulkan agar “Salam Damai” tetap dipertahankan seperti sekarang, atau tidak dipindahkan ke saat sebelum persembahan. Sebelum umat menyambut Tubuh Kristus dalam rupa hosti suci, sudah sepatutnyalah umat mengawali dengan ekspresi kedamaian antara satu dengan yang lain, sebagai tanda Kesatuan dan Cinta Kasih yang sangat luhur (bdk. Mat 5:23-24). Pelaksanaan Salam Damai ini haruslah sederhana dan mempertimbangkan rasa religius umat.

Kedua, Surat Edaran itu melarang penggunaan nyanyian untuk mengiringi Salam Damai. Alasannya, hal itu tidak tertulis dalam Rubrik Ritus Romawi. Salam Damai dilakukan tanpa nyanyian apa-apa.

Namun, tidak benar bahwa imam dilarang memberikan Salam Damai. Surat Edaran itu mengatur bahwa imam boleh memberikan Salam Damai sebatas di Panti Imam, misal kepada Asisten Imam, misdinar, dan sesama imam yang berkonselebrasi. Imam tidak perlu meninggalkan Panti Imam untuk menyalami umat, apalagi sampai berjalan jauh ke ujung gereja. Saat Salam Damai, imam cukup melakukan di Panti Imam.

Umat juga dilarang meninggalkan tempat duduk untuk menyalami umat lain. Salam Damai cukup diberikan kepada orang-orang yang duduk di dekatnya. Tidak perlu pergi ke sana ke mari untuk memberi Salam Damai. Demikian pula dalam perayaan Ekaristi Sakramen Perkawinan, atau Sakramen Imamat, atau upacara kaul, kesempatan Salam Damai sering digunakan untuk ramai-ramai memberi salam kepada pengantin atau kepada si tertahbis (imam atau diakon) atau kepada yang mereka yang berkaul. Hal yang demikian ini juga dilarang.

Ketiga, mencermati pelarangan beberapa praktik Salam Damai di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa Kongregasi Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen ingin mempertahankan kesakralan dan kekhidmatan saat sebelum komuni. Saling memberi Salam Damai sebelum komuni akan membantu mempersiapkan batin agar persatuan dengan Tuhan melalui hosti suci bisa dihayati secara lebih maksimal. Pemberian salam damai secara berlebihan bisa justru mengganggu dan tidak menopang peristiwa suci komuni. Komuni adalah puncak dari perayaan Ekaristi, karena saat itulah kita disatukan dengan Yesus Kristus, Sang Penyelamat, yang hadir secara nyata dalam hosti suci. Untuk menopang saat puncak ini, maka praktik memberi Salam Damai perlu dilakukan secara sederhana, dengan mempertimbangkan rasa religius.

Jika pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung, seorang perempuan mengalami haid, apakah dia tetap harus berpuasa?

Brigita Gita Kencana, 085855917xxx

Menurut pandangan Gereja Katolik, pantang dan puasa seorang perempuan tak dibatalkan karena haid. Kewanitaan, termasuk haid, adalah ciptaan Allah. Maka, bersifat baik dan suci. Allah melihat bahwa segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya sungguh amat baik (Kej 1:31). Maka, haid tidak membatalkan puasa seorang perempuan. Pada Rabu Abu dan Jumat Agung, kewajiban puasa tetap berlaku bagi perempuan yang haid. Tentu saja, pertimbangan kesehatan orang per orang.

Petrus Maria Handoko CM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini