Kekatolikan di Sekolah Katolik

830

HIDUPKATOLIK.com – Kini, kondisi sekolah Katolik mengalami penurunan, baik kuantitas maupun kualitas. Kondisi serupa juga dialami sekolah lain. Pada awal masa tugasnya, Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan, mengatakan, dari 40.000 sekolah pada 2012, 75 persen tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Pada tahun yang sama, uji kompetensi terhadap 460.000 guru, 44,5 persen berada di bawah standar. Menteri Anies menilai kondisi ini sebagai “gawat darurat”.

Dalam survei terbatas berupa wawancara langsung terhadap orangtua Katolik yang menyekolahkan anak di sekolah non-Katolik, muncul beragam alasan, seperti: mutu sekolah Katolik tidak seperti dulu, sekolah Katolik tidak jauh beda dengan sekolah yang lain, pendidikan karakter di sekolah Katolik kurang bisa diandalkan, sekolah Katolik cenderung membebani siswa dengan banyak tugas dan kurang mengembangkan kreativitas, dan disiplin di sekolah Katolik tidak seperti dulu lagi. Survei terbatas ini menunjukkan daya pikat sekolah Katolik menurun. Sementara daya pikat sekolah nasional plus dan sekolah negeri mulai membaik.

Beragam ekstra-kurikuler ditawarkan sekolah negeri dan sekolah plus untuk mengembangkan pribadi siswa. Sarana dan prasarana di dua jenis sekolah ini pun semakin lengkap dan modern. Kesejahteraan guru juga membaik. Pelatihan dan pengembangan mutu guru sangat diprioritaskan di sekolah nasional plus. Bahkan di beberapa daerah, pemerintah amat memperhatikan pengembangan profesi guru negeri. Sebut saja Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara yang meminta pelatih dalam program Indonesia Mengajar untuk melatih seluruh kepala sekolah dan guru. Mereka juga membangun pusat pelatihan bagi pengembangan guru. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga tengah mengembangkan kerja sama dengan Pemerintah Finlandia untuk melatih guru.

Dana pendidikan yang makin meningkat membuat pemerintah kian mampu mengembangkan sekolah negeri. Sebenarnya, sekolah Katolik masih memiliki daya pikat, bila mau kembali kepada panggilan jati diri sebagai sekolah yang menghidupi nilai-nilai kekatolikan; menghidupi ajaran cinta kasih dalam seluruh proses pendidikan. Nilai cinta kasih itu harus dialami oleh setiap peserta didik ketika menginjakkan kaki di halaman sekolah. Mereka bertemu dengan guru yang ramah, menyambut anak didik dengan senyum tulus. Mereka juga bertemu dengan teman-teman berelasi penuh penghargaan.

Di kelas, ketika guru mengajar, dia menghadirkan cinta kasih. Guru mempersiapkan diri, mempersiapkan alat peraga yang memudahkan peserta didik memahami beragam konsep abstrak yang akan dijelaskannya. Guru tak hanya mengajar, tapi sungguh-sungguh mendidik. Semua dijalankan dengan penuh kasih sayang. Nilai-nilai kekatolikan pun menjadi pengalaman bagi setiap orang di sekolah tersebut.

Setiap siswa mengalami dan merasa nilai-nilai kekatolikan dalam sekolah. Prinsip “tidak ada anak yang tertinggal” (No child left behind) diterapkan dengan baik. Siswa yang lemah dibimbing sampai bisa, sehingga semua siswa mampu menunjukkan bahwa dia kompeten. Hal itu sangat mendorong anak untuk berkembang dan bertumbuh, termotivasi dan semangat belajar. Pendek kata, seluruh kegiatan pembelajaran di sekolah diwarnai semangat memberi yang terbaik kepada orang lain; semangat cinta kasih. Semua aturan sekolah dilaksanakan karena semangat cinta kasih. Siswa mau mengantri dan menunggu giliran karena mau menunjukkan penghargaan kepada teman yang lain. Semua dikerjakan berlandaskan semangat cinta kasih.

Bila nilai-nilai kekatolikan ini dihidupi terus-menerus, setiap hari, oleh guru, siswa, karyawan, dan seluruh manajemen sekolah Katolik, bisa jadi daya pikat sekolah-sekolah Katolik dan kejayaan sekolah-sekolah Katolik akan terulang lagi. Mungkin ada sekolah Katolik yang mau mencoba.

Fidelis Waruwu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini