Secercah Harapan Bagi ABK

454
Pembelajaran: Seorang anak sedang mengerjakan soal Matematika di papan tulis, sementara teman-temannya tenang menyimak.
[HIDUP/Celtus Jabun]

HIDUPKATOLIK.com – Anak berkebutuhan khusus (ABK) tumbuh menjadi pribadi mandiri. Lembaga ini mendampingi mereka dengan memberi bekal pengetahuan dan keterampilan.

Belasan anak berkebutuhan khusus (ABK) berseragam, asyik menikmati waktu istirahat sekolah di gang, selebar dua meter. Di gang yang memisahkan gedung sekolah dan pemukiman warga itu mereka ditemani beberapa guru. Sementara, sejumlah anak yang lain memilih tetap berada di dalam kompleks sekolah.

Sekolah ini dikelola Yayasan Kasih Bunda Sejati (YKBS), berlokasi di Duri Selatan, Tambora, Jakarta Barat. Secara gerejani, wilayah ini masuk dalam reksa pastoral Paroki Damai Kristus Kampung Duri. Anak-anak yang belajar di tempat ini tak hanya mendapatkan bekal pengetahuan akademik, tetapi juga belajar mandiri dan berkarya sesuai bakat masing-masing.

Bela Rasa
Pelayanan untuk anak berkebutuhan khusus ini digagas oleh Elisabet Ekowati Tohir, karena dorongan hatinya untuk memberi perhatian khusus bagai anak tuna grahita, tuna rungu, tuna ganda, yang seringkali tidak diperhatikan masyarakat. Pada 1995 ia mendirikan YKBS. Dan, pada awalnya, lembaga ini melayani 15 murid.

YKBS menggunakan jenjang pendidikan mulai dari kelas persiapan atau sosialisasi, SD, SMP, dan SMK, serta Kelas Karya. Kelas Karya ini dibuat untuk mendampingi ABK yang sudah dewasa dan tidak mungkin bergabung di kelas formal.

Setiap hari, anak-anak ini diantar dan dijemput oleh pihak keluarga dan mengikuti pelajaran dari pukul 07.30 sampai 12.30 WIB. Setiap kelas, jumlah murid maksimal delapan orang. Tujuannya, agar guru lebih mudah dalam pendampingan, mengingat setiap anak punya kemampuan yang berbeda.

Pada awal karya ini, Elisabet dibantu beberapa guru. Mereka, bahkan masih setia mendampingi di tempat ini, hingga kini. Kesetiaan itu mereka timba dari semangat Bunda Maria. Dalam semangat yang mereka hidupi, fokus pelayanan adalah ABK yang tidak mendapat pendampingan karena ketidakmampuan keluarga secara ekonomi. Anak-anak dilatih sesuai bakat dan kemampuan masing-masing. Harapannya, mereka bisa hidup di tengah masyarakat.

Kekatolikan
Pada 30 Mei 1999, Elisabet tutup usia. Meski demikian, pelayanan ini masih kokoh berdiri sampai sekarang. Tahun 2015, murid di lembaga pendidikan ini berjumlah 90 orang. Di antara mereka, hanya 10 % anak Katolik. Di tempat ini, sekolah memberikan pelajaran agama Katolik. Pada pukul 12.00, mereka juga diajak untuk mendaraskan Malaikat Tuhan, dipimpin oleh guru lewat pengeras suara.

Menurut Direktur Pelaksana Harian YKBS Albertus Wibowo Wahyu Sanyoto, materi pendidikan mengikuti kurikulum yang dibuat pemerintah. Namun praktiknya, mereka tidak bisa sepenuhnya menjalankan kurikulum itu. Maka, mereka membuat modifikasi, disesuaikan dengan kompetensi anak, dengan membuat materi yang lebih sederhana. Sebagai evaluasi tingkat akhir, para siswa juga diikutkan dalam Ujian Nasional. Setiap siswa pun punya Nomor Induk Nasional, sebagai syarat peserta ujian nasional.

Pada jam istirahat, anak-anak tetap mendapatkan pendampingan dari para guru. Bahkan, untuk memudahkan, sekolah memasang Closed Circuit Television (CCTV). Di gedung sekolah tiga lantai ini ditempatkan 20 CCTV.

Anak-anak mengikuti aktivitas belajar mengajar di kelas, Senin hingga Kamis. Sementara pada Jumat, kegiatan difokuskan untuk pengembangan keterampilan, antara lain menjahit, membuat lilin, merangkai manik-manik, melukis, dan menari. Mereka juga dibimbing untuk mengurus diri sendiri, misalnya cara memakai baju, makan, dan mandi. Semua kegiatan ini dilayani oleh 13 guru.

Kesabaran
Apa syarat anak bisa belajar di tempat ini? Menurut Wibowo, tidak serta merta semua yang didaftarkan, diterima. Setiap anak diberi kesempatan dalam kurun waktu tertentu untuk mengikuti seluruh dinamika di YKBS. Para guru melihat perkembangan anak tersebut. Dan, jika dianggap bisa menyesuaikan diri, anak itu diizinkan bergabung. “Tetapi, pada prinsipnya, kami selalu terbuka untuk menerima dan melayani setiap anak yang ingin bersekolah di tempat ini,” ungkapnya.

Kadang, jelas Wibowo, anak terlihat bisa menyesuaikan diri. Tetapi, setelah masuk kadang sikapnya bisa berubah. Untuk itu, menurut Kepala sekolah YKBS Maryati Sri Supadmi, para guru harus punya kesabaran lebih dan peka terhadap kebutuhan murid. “Kadang, saya tidak tahu apa yang mereka butuhkan. Karena itu, diperlukan kepekaan dalam pendampingan. Ini adalah tantangan saya,” kisah umat Paroki St Gregorius Agung Tangerang ini.

Maryati mengungkapkan, dirinya merasa bahagia saat melihat anak-anak bertumbuh dan berkembang. Demikian juga, pengakuan dari pengajar Kelas 1, Suranti. “Saya sungguh terhibur saat anak-anak memahami materi yang saya berikan,” ungkap perempuan Muslim ini.

Sementara S. Anang Mardyanto mengaku puas jika pelajaran yang diberikan sungguh bermanfaat bagi anak-anak. Saat ini umat Paroki St Servatius Kampung Sawah Bekasi ini mendampingi siswa SMK yang berjumlah 16 orang. Ia menceritakan bahwa setelah lulus dari YKBS, anak-anak biasanya berinisiatif mencari pekerjaan. Namun, tak jarang mereka ditolak saat melamar.

Anang berharap, “Sebaiknya jangan memandang mereka secara fisik. Mereka punya keterampilan tertentu selama belajar di sini. Dan, saya berharap anak-anak bisa mandiri dan tidak bergantung pada orangtua.”

Celtus Jabun

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini