Wartawan Udin

386

HIDUPKATOLIK.com – Peristiwa ini terjadi hampir 19 tahun lalu. Nama wartawan harian Bernas kelahiran Bantul, 18 Februari 1964 itu adalah Udin. Lengkapnya: Fuad Muhammad Syaruddin. Kematiannya hampir 19 tahun lalu masih menyisakan jejak misterius.

Selasa malam, pukul 23.30 WIB, 13 Agustus 1996, Udin dianiaya pria tak dikenal di depan rumah kontrakannya, di Dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta. Udin dipukul dengan batang besi pada bagian kepala. Sejak malam penganiayaan itu, ia berada dalam keadaan koma dan dirawat di RS Bethesda, Yogyakarta. Esok paginya, Udin menjalani operasi otak di rumah sakit tersebut. Udin meninggal pada Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB pada usia 32 tahun. Ia mati tepat 10 tahun setelah bergabung dengan Bernas, tepatnya sejak 1986.

Saat itu muncul sorotan terhadap kinerja polisi yang melakukan penyelidikan dan penyidikan di mana kepolisian masih menjadi bagian dari ABRI. Semestinya, dalam melakukan proses penyidikan, polisi berbasis pada hasil olah TKP dan bukti-bukti forensik. Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya.

Kanit Reserse Kriminal Umum Polres Bantul yang berpangkat Serka (kalau sekarang: Brigadir Polisi) saat itu justru melakukan hal yang berbau klenik, dan bukannya memraktikkan metode scientific investigation. Sampel darah Udin yang harusnya disimpan sebagai barang bukti justru dilarung ke laut Kidul dengan alasan untuk membuang sial. Awalnya, si Kanit menyatakan sampel darah tersebut akan dipakai untuk kepentingan pengusutan dengan cara supranatural dengan cara dilarung ke laut selatan. Bukan hanya itu, buku catatan Udin juga diambil dan kemudian tidak jelas ada di mana.

Para wartawan dan aktivis di Yogyakarta menemukan indikasi kemungkinan adanya kaitan antara beberapa tulisan kritis Udin di Bernas dengan kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Bupati Bantul Kolonel Art Sri Roso Sudarmo, yang merupakan kerabat keluarga Cendana saat itu, dikait-kaitkan dengan kematian Udin. Kapolres Bantul saat itu, Letkol Pol Ade Subardan mengatakan tidak ada dalang dalam kasus Udin, meski tersangka belum tertangkap. Ia menyatakan akan menangkap pelaku pembunuh Udin dalam waktu tiga hari setelah konferensi pers tersebut berlangsung.

Penjelasan polisi berbeda dengan logika masyarakat. Masyarakat menilai ada skenario pihak tertentu yang tampaknya mencoba mengalihkan kasus ini. Seorang perempuan bernama Tri Sumaryani mengaku ditawari sejumlah uang sebagai imbalan membuat pengakuan bahwa Udin melakukan hubungan gelap dengannya dan kemudian dibunuh oleh suaminya. Sedangkan Dwi Sumaji (Iwik) seorang sopir perusahaan iklan, juga mengaku dikorbankan oleh polisi untuk membuat pengakuan bahwa ia telah membunuh Udin. Iwik mengaku dipaksa meminum bir berbotol-botol dan kemudian ditawari uang, pekerjaan, dan seorang pelacur. Namun di pengadilan, pada 5 Agustus 1997, Iwik mengatakan, “Saya telah dikorbankan untuk bisnis politik dan melindungi mafia politik.”

Upaya pengungkapan pembunuhan Udin melalui jalur pengadilan juga tampaknya buntu dan berbau tak sedap aroma perselingkuhan politik. Iwik yang tak terbukti melakukan pembunuhan akhirnya ditangguhkan penahananannya dan kemudian divonis bebas. Pakar pidana dari Universitas Airlangga Prof Dr J.E. Sahettapy SH menilai, pengusutan kasus Udin banyak direkayasa. Ia juga menilai motif yang selama ini diyakini polisi, yaitu motif perselingkuhan terlalu dicari-cari.

Hampir 19 tahun semua hingar bingar itu sepertinya telah berlalu, yang dibutuhkan hanyalah kemauan dan tekad polisi untuk mengungkap kebenaran. Sebuah kejahatan tak akan selamanya dapat ditutupi, suatu saat akan terbongkar. Ingat, sebuah tindak kejahatan selalu meninggalkan jejak! Jejak-jejak yang jelas ini tinggal dirunut kembali.

Kematian Udin yang hampir dua dasawarsa memang telah mengubur jasadnya. Tetapi, kasus Udin tidak pernah mati. Matinya wartawan Udin bukan matinya sebuah kebenaran. Kini saatnya kita mengintai kembali peristiwa tersebut dan mengajak semua pihak untuk menjadikan kasus Udin sebagai sebuah utang bangsa ini. Pengungkapan kasus Udin adalah hal agar bangsa ini bisa bergerak melaju ke depan. Apalagi awal Mei 2015 nanti seluruh dunia akan memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional di ibukota Latvia, sebuah negara baru pecahan Uni Soviet.

Stanley Adi Prasetyo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini