Vitamin Penolakan dan Teror

336
Maman Imanulhaq.
[Angela Rianti]

HIDUPKATOLIK.com – Maman berkawan tanpa memandang latar belakang agama. Ia pernah dilempar batu karena cara pandang dan pilihan sikapnya. Api semangat inklusif pada dirinya tak meredup.

Maman Imanulhaq, akrab disapa Kang Maman, sibuk menyalami tamu usai acara Peluncuran Buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, di Gedung Pakarti Center Jakarta, Selasa, 14/4. Di antara sejumlah tamu yang ia salami, yakni Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo. Kang Maman agak membungkukkan badan ketika mengulurkan tangan ke Mgr Suharyo. Bapak Uskup pun menyambut sambil mengurai senyum.

Selain itu, Kang Maman juga menyalami Prof Dr Franz Magnis Suseno SJ. Namun gaya salaman keduanya berbeda. Mereka langsung berpelukan dan cipika-cipiki. Lalu, Kang Maman membisikkan sesuatu ke telinga Prof Magnis. Lantas, keduanya tertawa. Itu terulang beberapa kali.

Keakraban Kang Maman dengan para imam dan tokoh Katolik sudah sejak lama. Selain dengan para pastor, aktivis Nahdatul Ulama (NU) ini juga bersahabat dengan banyak tokoh dari kalangan agama lain. Baginya, “Persahabatan antar sesama melampaui sekat-sekat agama. Kita sama-sama membangun kesejahteraan sebagai sesama manusia.”

Aktivis Dialog
Anggota Komisi 8 dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ini, aktivis dialog antaragama. Bahkan, jauh sebelum berkantor di Senayan, Kang Maman sudah biasa menggalakkan dialog di tempat tinggalnya, Majalengka, Jawa Barat. Ia berpendapat, dialog antarumat beragama memiliki tiga tahap Pertama, silaturahmi atau perjumpaan. Pada tahap ini, yang dibutuhkan adalah kesempatan untuk berjumpa dan mengenalkan diri satu dengan yang lain. Kedua, silatul fikri, yakni perjumpaan ide atau gagasan.Setelah saling mengenal, bisa terjadi penyambungan ide atau gagasan transformatif tentang banyak hal. Ketiga, silatul amal. Tahap ini merupakan tahap akhir, yaitu aksi nyata setelah saling mengenal dan menyambung ide.

Agar tiga tahap dialog ini berjalan baik, dibutuhkan keterbukaan dari kedua belah pihak. “Kita butuh kejujuran. Tidak perlu saling puji. Mari kita bahas bersama apa yang jadi kendala. Persoalan bersama saat ini adalah materialisme, hedonisme dan intoleransi. Ini musuh kita, musuh semua agama,” tandasnya.

Kang Maman mengungkapkan, ia setuju dengan cara berdakwah Walisongo – para penyebar agama Islam di Jawa pada abad XIV. Bagi Kiai Maman, dakwah bukan hanya di mimbar, di masjid, atau di televisi. Dakwah yang baik adalah turun dan menyapa mereka yang terpinggirkan. “Kita menanyakan dan berdiskusi tentang apa yang dibutuhkan masyarakat. Lalu, kita carikan solusinya bersama,” katanya.

Pesantren Inklusif
Kang Maman tidak menyimpan sendiri semangat inklusifnya. Ia menanamkan semangat ini kepada para santri Pondok Pesantren Al Mizan, yang berlokasi di Cibolang, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat. Pondok ini ia dirikan pada 1998.

Dengan memilih nama ‘Al Mizan’, yang bermakna menegakkan keadilan, Kang Maman ingin menyemat pesan bahwa setiap santri punya tugas memperjuangkan nilai keseimbangan atau harmoni. “Jangan sekali-sekali mengurangi timbangan kemanusiaan kita,” tandas Kang Maman.

Pesantren Al-Mizan dikenal sebagai pesantren yang menjunjung tinggi visi keagamaan yang pluralis dan humanis dengan nasionalisme yang kokoh. Sultan Hamengkubuwono X, Dahlan Iskan, Muhaimin Iskandar, tokoh lintas agama dari Amerika Serikat, Belanda, dan Australia sudah pernah berkunjung ke tempat ini. Demikian juga budayawan Acep Zamzam Noor, Butet Kertarajasa, Putu Wijaya, Hery Dim, Endo Suanda, Doel Sumbang, dan Candramalik. Bahkan, grup band SLANK sudah pernah menyambangi pesatren ini.

Menurut pria yang mengaku banyak berguru pada Presiden RI ke-4 KH Abdurrahman Wahid ini, apa yang membedakan Al Mizan dengan pesantren lain adalah keterbukaan menerima ide pluralis. Hidup di sebuah tempat, demikian Kang Maman, mau tidak mau harus berhadapan dengan perbedaan. Cara berpikir inilah yang memungkinkan Kang Maman dan para santri luwes bergaul dengan semua komunitas dari beragaman latar belakang. “Saya bisa dengan tenang masuk ke gereja dan berdiskusi dengan para romo. Saya juga pernah datang ke klenteng dan wihara,” demikian pengakuan Kang Maman.

Kepada para santri yang menamatkan pendidikannya di Al Mizan, Kang Maman menekankan dalam pesannya agar mereka memahami Islam sebagai agama yang mendorong pemeluknya untuk mengusahakan perdamaian; bahwa hidup ini bukan hanya milik kelompok tertentu tetapi semua orang. “Siapapun yang berjuang untuk kemanusiaan ia adalah sahabat kita,” tandasnya.

Pilihan Kang Maman bukan tanpa risiko. Ada yang tidak bisa menerima cara pandang Kang Maman. Bahkan, ada yang menyebut ajaran dan gaya Pesantren Al Mizan sebagai sesat. “Ada yang terpengaruh dengan hasutan itu. Tetapi, setiap tahun santri yang masuk jauh lebih banyak,” beber pria yang sedang menyelesaikan S2 di IAIN Syech Nurjati, Cirebon ini.

Sebagai pribadi, Kang Maman sendiri juga sudah sering ditolak. Ia pernah dilempar dengan batu saat sedang berbicara di mimbar. Pernah juga ada yang mencoba “menurunkan” dia dari mimbar. Ada orang yang berusaha “mencegat” kehadirannya pada sebuah acara. Bahkan, ada pula orang yang meneror pihak yang mengundang dia. Menanggapi semua itu, Kang Maman mengungkapkan, “Bagi saya, kalau ada pintu yang ditutup, selalu ada pintu-pintu lain yang terbuka. Jika saya tidak diundang ke tempat itu, masih ada banyak tempat lain yang menerima saya. Sekarang saya sudah terbiasa dengan penolakan. Saya menganggap teror dan penolakan sebagai vitamin.”

Maman Imanulhaq 
TTL : Sumedang, 8 Desember 1972
Istri : Ha Upik Rofikoh
Anak :
1. Fahma Amiratul Haq
2. Hablie Ainal Haq
3. Emily Ghaitsa Nuril Haq

Pendidikan:
• S1 PAI STAI Majalengka Maman Imanulhaq

Angela Rianti

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini