Masalah Perbudakan

184

HIDUPKATOLIK.com – Pasal 281 ayat 1 UUD 1945 berisi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Perbudakan merupakan masalah Hak Asasi Manusia (HAM) pertama yang membangkitkan perhatian dunia internasional secara luas.

Walau dikutuk seluruh dunia, praktik semacam perbudakan tetap merupakan masalah genting dan berkepanjangan pada tahun terakhir abad ke-20. Saat ini, kata “perbudakan” mencakup beberapa macam pelanggaran HAM. Di samping perbudakan tradisional dan perdagangan budak, pelanggaran ini meliputi jual-beli anak, pelacuran anak, pornografi anak, eksploitasi buruh anak, penggunaan anak dalam konflik bersenjata, penghambaan sebagai penebus hutang, perdagangan organ tubuh manusia, eksploitasi pelacur, dan praktik tertentu di bawah rezim penjajahan.

Beberapa bulan terakhir kita dikejutkan dengan pemberitaan media lokal, nasional dan asing tentang dugaan perbudakan anak buah kapal (ABK) di kapal penangkap ikan milik perusahaan nasional di Maluku Tenggara. Dugaan perbudakaan mencakup perbudakan tradisional dan masa kini. Perbudakan tradisional menempatkan pekerja sebagai “barang milik” di mana sebagian pekerja tidak memperoleh gaji bulanan, tanpa batas waktu yang jelas, tidak memperoleh hak cuti sampai ketiadaan kebebasan untuk mengakhiri pekerjaannya. Sedangkan perbudakan masa kini lebih luas sebagaimana digambarkan di atas.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Komnas HAM dan beberapa institusi lain menemukan indikasi kuat adanya perbudakan dan pelanggaran HAM dalam kasus dugaan perbudakan atas ABK di Maluku Tenggara. Indikasi mencakup dari perbudakan tradisional dan perbudakan masa kini, termasuk perdagangan manusia dewasa dan anak. Secara khusus, Komnas HAM menemukan indikasi terjadinya pembunuhan, penyiksaan, penahanan semena-mena dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Sebagian besar ABK berasal dari Thailand, Myanmar, Kamboja dan sebagian kecil dari Indonesia dan Laos.

Sebagian besar mereka beragama Budha dan tidak dapat sepenuhnya menjalankan ibadat sesuai ajaran agama. Yang paling memprihatinkan, dalam kurun waktu delapan tahun masa kerja perusahaan, sudah 77 orang ABK meninggal yang dicatat di kepolisian setempat. Namun, sebagian besar mantan ABK memperkirakan jumlah ABK yang meninggal lebih dari 100 orang.

Indikasi perbudakan di kapal penangkap ikan berbendera Indonesia berdampak langsung pada korban dan keluarga. Masyarakat desa di lokasi perusahaan juga tidak nyaman dengan kehadiran tempat hiburan dan pekerja seks komersial dari luar daerah. Kalangan bisnis perikanan Indonesia juga mulai dirugikan. Saat ini, sudah mulai ada gerakan boikot atas produk perikanan Indonesia di luar negeri sebagai reaksi atas pemberitaan tentang adanya perbudakan. Dan, gerakan boikot jelas akan merugikan nelayan Indonesia yang mungkintelah bekerja sesuai prinsip HAM selama ini.

Meski Gereja Katolik memiliki sejarah kelam tentang perbudakan di masa lampau, namun saat ini sikap Gereja Katolik sangat progresif. Paus Fransiskus pada penampilan perdana di hadapan publik mengungkapkan harapannya, agar tidak ada lagi peperangan dan perbudakan. Paus juga meminta kepada umat untuk bertarung mencari kebebasan. Hal ini, termasuk bebas dari perbudakan dan perdagangan manusia.

Pemerintah bersama beberapa lembaga nasional dan lembaga internasional sedang berupaya menggali fakta dan akar masalah perbudakan. Seluruh elemen bangsa perlu menjalin kekuatan bersama untuk menghapus perbudakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sejalan dengan pesan Paus Fransikus dan mandat UUD 1945, siapkah Gereja Katolik di Indonesia berperan aktif dalam memerangi segala bentuk perbudakan modern maupun tradisional?.

Sandra Moniaga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini