Siap Menjadi Keranjang Sampah

414
Akrab: Bu Siwi sedang berbincang dengan siswa dan siswinya.
[HIDUP/Yohanes Muryadi]

HIDUPKATOLIK.com – Ia dikenal sebagai guru yang dekat dengan siswa. Ia menyatakan diri siap mereka hubungi kapan saja dan membuka diri untuk mendengarkan.

Lewat tengah malam, jarum jam telah menunjukkan pukul 00.30. Yustina Eka Siwi Supriyati baru menyelesaikan doa malam. Ia pun bersiap untuk merebahkan diri dan istirahat malam setelah seharian beraktivitas, mengerjakan tugas sebagai guru, kepala sekolah, dan ibu rumah tangga.

Belum sempat matanya terpejam, tiba-tiba telepon selulernya berdering. Siwi, sapaannya, kemudian bangun dan menerima telepon yang masuk. Penelepon itu, Anton, mantan muridnya yang sedang kuliah di Yogyakarta. Menurut Siwi, Anton biasa tidur sore, lalu bangun tengah malam untuk belajar.

Kepada Siwi, melalui telepon, Anton mohon doa karena esok pagi akan ujian. “Saya katakan kepada Anton bahwa saya doakan semoga dia lulus dengan baik,” kisah perempuan kelahiran Yogyakarta 15 Agustus 1965 ini. Setelah menerima telepon itu, Siwi pun beristirahat malam. Dua hari berselang, Anton menelepon Siwi kembali dan mengungkapkan, ia mendapat nilai A. Mendengar hal itu, ada kegembiraan dan rasa syukur yang menyelimuti hati Siwi.

Siwi memang dikenal dekat dengan siswa-siswinya. Pun dengan alumni yang pernah mengenyam pendidikan di SMA Putra Nirmala Cirebon, Jawa Barat, sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan Salib Suci Bandung. Ia dikenal sebagai guru yang bisa memotivasi anak didiknya untuk menjadi lebih baik.

“Saya mencintai murid-murid saya sepenuh hati. Saya senang sekali jika ketemu anak-anak. Bersama mereka, hidup saya menjadi bergairah,” ungkapnya.

Selalu Siap
Awalnya, Siwi tak memiliki cita-cita sebagai guru. “Bapak dan Ibu saya adalah guru, tetapi saya justru bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Untuk itu, saya mendaftarkan diri ke Universitas Gadjah Mada (UGM). Sayang saya tidak diterima,” kenangnya.

Sambil menanti kesempatan pada tahun berikutnya, ia pun mendaftarkan diri dan diterima di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Sanata Dharma – sejak 1993, menjadi Universitas Sanata Dharma. “Di situ saya masih ogah-ogahan. Saya sering membolos kuliah,” ujar Siwi.

Waktu bergulir, Siwi setengah hati dalam menempuh pendidikan di IKIP Sanata Dharma. Hingga akhirnya, ia mulai tertarik dengan pendidikan yang ditempuhnya dan tergerak hati untuk menjadi guru ketika mulai menjalani praktik mengajar. “Bertemu dengan para murid, saya senang sekali. Sejak itulah saya tertarik menjadi guru, lupa dengan keinginan untuk menjadi dokter,” kisah lulusan IKIP Sanata Dharma Jurusan Pendidikan Ekonomi Koperasi tahun 1989 ini sambil tersenyum.

Selain itu, ketertarikan Siwi untuk menjadi guru merekah berkat dorongan dari para dosen. Berkat dorongan dan bimbingan seorang dosen, ia bisa menyelesaikan skripsi yang hampir terhenti di tengah jalan karena putus asa. “Dosen itu terus membesarkan hati saya, padahal saya sudah menyerah. Akhirnya, saya juga bisa ikut wisuda tepat waktu. Saya juga termotivasi untuk menjadi guru seperti dosen saya itu,” tutur Siwi.

Lulus kuliah, Siwi mengajar di sebuah SMA swasta di Prambanan, Yogyakarta. Tahun 1990, ia menjadi guru Ekonomi Akuntansi SMA Putra Nirmala Cirebon. Hingga kemudian, ia dipercaya sebagai Kepala SMA Putra Nirmala Cirebon sejak 2004 hingga sekarang. Siwi berusaha untuk memberikan diri semaksimal mungkin dalam mendidik dan mendampingi para muridnya.

Banyak pengalaman indah, mengharukan, membanggakan, dan juga menyedihkan yang ia alami selama mengabdikan diri sebagai seorang guru dan kepala sekolah. Pernah pada suatu ketika, pukul 02.00 dini hari, telepon selulernya berdering. Ketika diangkat, Siwi mendengar dari seberang salah seorang siswinya menangis.

Dengan sabar, Siwi pun mendengarkan curahan hati siswinya itu, sambil terus berdoa dalam hati, “Tuhan Yesus, tenangkanlah putriku”. Setelah siswi itu sedikit tenang, Siwi bertanya, “Ada apa Nak? Ceritakan, Ibu mendengarkan!” kata Siwi.

Dengan masih sesenggukan, murid itu menceritakan kepada Siwi bahwa ia baru saja bertengkar dengan sang ibu. “Ia mengatakan kepada saya bahwa ibunya terlalu mengekang dia. Lalu saya tenangkan dia. Minta supaya dia tidur dan besok bertemu di sekolah,” tutur perempuan yang dua kali terpilih sebagai Kepala Sekolah terbaik se-Yayasan Salib Suci ini.

Pagi harinya, Siwi bertemu dengan siswi itu. Mata siswi itu bengkak karena semalaman menangis. Pada hari itu, Siwi juga menghadirkan ibu dari siswi tersebut. Siwi mempersilakan muridnya menceritakan semuanya kepada sang ibu. Salah paham antara ibu dan anak tersebut akhirnya bisa diselesaikan pada hari itu. Ibu dan anak itu berangkulan. Siwi merasa terharu dan bersyukur karena salah paham di antara ibu dan anak itu bisa diselesaikan.

Siwi berharap bisa total mendampingi anak-anak didiknya. Ia berusaha untuk menyediakan diri dan mendengarkan keluh kesah dan aneka persoalan yang mereka hadapi. “Mereka boleh telepon saya kapan saja. Mereka juga boleh marah, menangis, dan apa saja di depan saya. Saya siap menjadi keranjang sampah. Yang penting, mereka jadi senang, tenang, dan benar,” imbuhnya. Dalam telepon selulernya, Siwi menyimpan ratusan nomor handphone para muridnya.

Ketika di sekolah, Siwi juga berusaha untuk memperhatikan siswa-siswinya. Jika ia mendapati ada siswa yang murung, sedih, ataupun marah, Siwi akan berusaha untuk mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Para siswa bisa menumpahkan segala isi hatinya kepada Siwi. Setelah siswa itu merasa lega, Siwi biasanya akan mengajak anak itu untuk berdoa.

Menjadi Alat-Nya
Selain mendampingi para siswa, Siwi juga menjadi pendamping Orang Muda Katolik (OMK) di Gereja Bunda Maria Cirebon, Keuskupan Bandung. Siwi bersyukur karena boleh ikut ambil bagian dalam pelayanan bagi kaum muda. Ia berharap bisa terus mendampingi anak-anak didiknya dan kaum muda di paroki nya agar mereka bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

Di tengah pelayanannya untuk mendampingi para siswa dan kaum muda, terkadang Siwi juga menghadapi berbagai tantangan. Dalam menghadapi situasi seperti itu, pun dalam menghadapi permasalahan yang menghampiri, kekuatan doa menjadi sandaran Siwi. Pada malam hari menjelang tidur, Siwi bertelut dalam doa di depan patung Bunda Maria, Salib, dan dua lilin yang menyala. Siwi memohon kekuatan dari Tuhan Yesus dan Bunda Maria.

Siwi menyerahkan semua kehidupan dan pelayanannya sebagai guru maupun pendamping OMK kepada penyelenggaraan Tuhan. “Tuhan yang berkarya dan saya hanyalah alat-Nya,” kata perempuan yang dianugerahi putra semata wayang ini.

Siwi berharap, dirinya selalu di anugerahi kekuatan untuk bisa terus mendampingi para siswa di sekolah dan kaum muda di parokinya. “Semoga saya tetap menjadi guru, ibu rumah tangga yang baik, yang melakukan pelayanan dengan hati yang berkobar-kobar karena cinta. Saya dididik Tuhan lewat perjalanan hidup saya, dalam suka dan duka saya, dan lewat para murid yang dipercayakan Tuhan kepada saya,” ungkapnya.

Siwi tak henti bersyukur atas setiap pengalaman hidup yang boleh ia alami. “Tuhan terima kasih atas segala kebaikan- Mu. Inilah aku, gunakan aku seturut kehendak-Mu!”

Yohanes Muryadi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini