Lonceng Gereja

924

HIDUPKATOLIK.com – Peziarahan setiap orang atau komunitas bisa digambarkan menyerupai kurva lonceng. Ia akan mengalami naik turun, pasang surut kehidupan. Kadang kurva itu menanjak hingga mencapai puncak, dan kemudian menurun sampai ke dasar. Setiap insan atau komunitas bisa dipastikan pernah mengalami hal ini. Pun perjalanan hidup Gereja.

Keniscayaan ini bukanlah nasib yang tidak bisa dikendalikan dan dikelola. Gereja mestinya sadar akan hal ini. Karena dalam tubuh Gereja pun kadang mengalami fenomena yang tidak biasa ini atau bahkan mencapai titik kritis.

Kondisi kritis membawa dampak pada dua situasi; menjadi peluang atau justru membawa kehancuran. Dengan kata lain, Gereja memiliki dua kemungkinan; akan segera bergerak mendaki kurva lonceng, atau dia akan terus menuruni lembah hingga terjerembab ke jurang dalam.

Tentu banyak orang akan memilih pilihan yang pertama. Dengan beragam upaya, ia akan merencanakan aneka program, agar perjalanannya bisa menaklukkan pendakian menuju puncak. Tapi ini tentu tidak sesederhana yang dibayangkan.

Pendakian baru menuju puncak kurva lonceng bukan hal mudah, lantaran kebanyakan orang sudah terbiasa dengan jalan yang datar, tanpa tanjakan dan turunan. Orang lebih terbiasa dengan kebiasaankebiasaan lama. Tanpa disadari, ia harus mulai mendaki atau menurun, sementara jurang dan lembah sudah berada di depan mata. Keletihan pun bisa membuat semakin kalut.

Pembaruan kerasulan dan pelayanan Gereja tak bisa dilakukan ketika orang-orang yang berada di dalamnya dalam kondisi letih. Terobosan-terobosan baru juga tak mungkin didorongkan ketika orang-orang sedang mengalami keletihan. Apalagi jika sumber daya material dan finansial morat-marit.

Sebuah lembaga, termasuk Gereja Keuskupan, mulai merencanakan pembaruan justru ketika puncak sudah ada di depan mata; ketika semua orang yang berada di dalamnya mengalami kegairahan dan diliputi semangat yang menggebu; ketika masih menyimpan kekuatan besar untuk mengatasi segala tantangan dan rintangan. Karena ketika sudah berada di puncak, yang terjadi kemudian hanyalah grafik menurun. Maka sebelum mencapai puncak, perlu disiapkan agar perjalanan tidak menurun. Di sinilah sebenarnya, sebuah krisis atau jalan yang menurun, mestinya bisa dipersiapkan dan dikelola.

Sebuah Gereja Lokal dengan aneka persoalan dan tantangan yang kompleks, namun tanpa kehadiran pimpinan, berada dalam situasi bahaya. Banyak keputusan-keputusan strategis yang tak bisa diambil, perjalanannya pun akan datar-datar saja. Sementara kepemimpinan ad interim kadang dijalan oleh orang-orang yang itu-itu saja. Inilah kompleksitas jika sebuah “Keuskupan tanpa Uskup”.

Tentu Gereja punya cara sendiri untuk mengatasi segala tantangan ini. Ecclesia semper reformanda, ‘Gereja senantiasa membarui diri’, pembaruan dalam tubuh Gereja bukanlah hal yang tabu untuk dibicarakan dan dilakukan. Dalam setiap pembaruan, selalu dibutuhkan semangat berkurban, kerendahan hati, dan belas kasih.

Lonceng Gereja yang selalu berdentang setiap hari memanggil kita agar kembali ke pangkuan Gereja; kembali ke Allah yang Maharahim. Allah yang berani mengutus Putra-Nya membarui bumi. Allah yang selalu menemani peziarahan Gereja di dunia, dalam suka dan duka.

Redaksi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini