Bangkit Dari Luka Bakar Yang Menimpa

1320
Dukungan Keluarga: Subi bersama istri dan dua buah hatinya
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Mercon bumbung melukainya, parah. Luka bakar itu masih meninggalkan jejak di tubuhnya. Sempat frustrasi, ia berjuang bangkit. Ia persembahkan kepiawaiannya bermain gitar dan biola untuk melayani.

Jemari tangan dan anggota badan Antonius Subiyanto tak lagi utuh. Luka bakar di wajahnya masih nampak. Namun, tergurat di wajahnya, semangat untuk menghibur dan melayani Tuhan bersama grup musiknya “Rindu Order”.

Bersama “Rindu Order”, Subi kerap di minta untuk tampil menghibur tamu dalam acara syukuran keluarga – resepsi pernikahan, menyemarakkan perayaan ulang tahun Gereja, serta mengisi di pesta Natal dan Paskah serta mengiringi paduan suara dalam Perayaan Ekaristi.

Subi tidak mau meminta bagian uang dari hasil imbalan yang diterima grup musiknya. “Biar uangnya untuk pengembangan grup musik saja,” ungkap Subi kepada HIDUP di kediamannya, Pedukuhan Klampokan, Desa Granting, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah pada medio Mei 2015.

Selain itu, laki-laki yang piawai memetik gitar dan menggesek biola ini juga kerap diminta untuk membantu kelompok musik lain di sekitar daerahnya. “Saya sering dicomot kelompok musik lain yang sedang dapat tanggapan pentas keroncong,” ujarnya.

Kepiawaiannya bermain alat musik itu baru ia kembangkan secara serius pasca musibah kebakaran yang mengakibatkan sekujur tubuhnya penuh luka bakar. “Badan saya, 65 persen terbakar, tinggal 35 persen yang utuh,” kata Subi.

Frustrasi
Subi tidak akan pernah bisa melupakan peristiwa tragis yang ia alami sekitar 24 tahun silam. Tragedi mengenaskan itu nyaris merenggut nyawanya. Saat itu, 1991, Subi masih duduk di bangku kelas 5 SDN Granting, Klaten. Suatu siang, sekitar pukul 13.00, ia baru pulang dari berenang. Tak jauh dari rumahnya, ia melihat ada mercon bumbung,petasan yang menggunakan bambu. Ia menduga teman-temannya yang memainkan petasan dari bambu itu sedang pulang ke rumah masing-masing untuk beristirahat.

Tanpa banyak pertimbangan, Subi pun mencoba untuk menyulut mercon bumbung itu. Ia menuangkan minyak yang tersedia di dekat bambu yang menjadi bahan utama mercon bumbung. Bungsu dari lima bersaudara pasangan Yusuf Muryadi dan Maria Sutinem ini tak mengetahui kalau minyak yang dipakai teman-temannya untuk membunyikan mercon bumbung adalah bensin. Biasanya, mercon bumbung menggunakan minyak tanah atau minyak pet. Ketika Subi menyulut mercon bumbung, api langsung berkobar dan menyambar bagian wajah dan anggota tubuhnya yang lain.

“Api mubal mengenai seluruh badan saya. Saat itu, suasana sepi sehingga tidak ada orang yang menolong saya. Api yang mengenai badan, saya matikan sendiri,” kenang Subi. Kobaran api juga menyambar pohon di dekatnya hingga daun-daunnya meranggas terbakar.

Akibat api yang mengenai tubuhnya, Subi berteriak-teriak kesakitan menahan panas. Beberapa saat kemudian, orang-orang berdatangan. Lalu mereka segera melarikan Subi ke RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro atau lebih dikenal dengan RS Tegalyoso, Klaten.

Dengan setia, keluarga Subi – terutama kakak perempuannya Yanuarita Sunarti – mendampinginya di rumah sakit. Melihat kondisi Subi yang mengkhawatirkan, sang kakak berinisiatif untuk mempermandikan adiknya. Waktu itu, keluarga mengkhawatirkan keselamatan nyawa si bungsu. Mereka berpikir, seandainya nyawa Subi tidak tertolong, ia sudah dibaptis. “Saya dibaptis oleh Romo Sunu Wibowo dari Paroki Gondang,” ujarnya.

Selama 40 hari, Subi dirawat di RS Tegalyoso, Klaten. “Waktu bercermin kali pertama di rumah sakit, saya kaget melihat fisik saya sendiri.” Setelah masa kritis berlalu, Subi diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan.

Meski nyawanya tertolong, namun anatomi gerak tubuhnya terganggu karena lengan tangan menempel dengan kulit pinggangnya. Ia harus menjalani operasi bedah plastik di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Proses bedah pastik di beberapa bagian tubuhnya itu memakan waktu berbulan-bulan, yang tentu saja menguras banyak hal.

Bedah plastik yang dijalani Subi tak serta-merta mengembalikan tubuhnya seperti sediakala. Bekas luka bakar masih nampak di wajahnya. Melihat kondisi fisiknya seperti itu, hampir setengah tahun Subi mengurung diri di rumah. Ia tidak mau bertemu dengan orang lain dan cenderung menutup diri. “Dulu sempat frustrasi, siapa orangnya tidak frustrasi mengalami peristiwa seperti ini,” ungkap Subi.

Berusaha Bangkit
Seiring waktu, Subi mau melanjutkan sekolah. Dukungan keluarga turut menguatkan Subi untuk tidak hanya berdiam diri di rumah. Ia sempat ditawari masuk Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM)-YAKKUM Craft, di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Pusat rehabilitasi ini memberikan pelayanan kepada anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik. Namun, Subi lebih memilih untuk menempuh studi di SMP Pangudi Luhur I Klaten, lalu melanjutkan di SMA Padmawijaya Klaten.

Perlahan-lahan Subi mulai membiasakan diri dengan kondisi dan keterbatasan fisiknya. Ia berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya selama ini dan mengobarkan semangat hidupnya untuk terus maju dan bertumbuh.

Ketika kembali melanjutkan sekolah, ada juga teman-teman sekolahnya yang takut melihat wajah Subi. Bahkan, ada juga teman yang mengejeknya. “Kalau ada yang mengejek, saya tidak dengarkan,” ujar laki-laki kelahiran Klaten, 24 Juni 1980 ini.

“Dulu waktu saya jajan di warung makan, orang keluar melihat saya. Saya merasa tidak enak sendiri. Tapi sekarang, saya anggap itu biasa saja,” kata Subi. Bahkan pernah ketika ia sedang menunggu temannya di pinggir jalan, ada pejalan kaki dan pengguna jalan lain yang lewat di dekatnya memberi uang receh. Orang mengira Subi adalah seorang pengemis. “Orang mengira saya adalah korban wedhus gembel (letusan Gunung Merapi- Red),” ujarnya.

Subi berusaha untuk menerima semua itu dengan lapang dada. Dalam sanubarinya, ia tidak ingin terpuruk dengan hal-hal seperti itu.

Lulus SMA, Subi ingin hidup mandiri. Karena merasa tidak bisa mendapat pekerjaan di pabrik, ia mencoba untuk membuka counter handphone. Ia juga pernah membuka usaha budidaya burung ocehan. Hingga akhirnya, ia bergabung dengan kelompok musik keroncong dan campursari. “Kami juga baru saja siaran di televisi swasta Solo,” kisah laki-laki yang menikah dengan Margaretha Maria Wuryanti Widyaningsih pada 2008 ini.

Sejak menikah, ayah dua anak ini mulai menekuni usaha jual-beli barang antik, seperti lampu gantung, lemari kuno, meja-kursi kuno, gitar dan biola kuno. Ia juga menyewakan barang-barang kuno untuk kepentingan pembuatan film, seperti meja-kursi antik, tas, koper dan radio kuno.

Di tengah kesibukan usaha jual-beli dan menyewakan barang antik, Subi tetap berusaha untuk bisa memberikan diri bagi Gereja. Kepiawaian bermain gitar dan biola yang ia miliki diupayakan juga untuk bisa memuji Tuhan. Ini seolah sebagai salah satu bentuk ungkapan syukur atas anugerah kehidupan yang ia terima dan keselamatan dari musibah kebakaran yang pernah menimpanya.

H. Bambang S.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini