HIDUPKATOLIK.com – Pemanasan global menjadi isu yang menarik. Negara maju dituding sebagai penyumbang karena emisi karbondioksida industri dan kendaraan. Gereja pun bersuara lantang mencari solusi.
Terdengar suara tangisan bayi di dalam angkutan umum. Beberapa penumpang terlihat jengah mendengar pekik tangisan itu. Berbagai cara dilakukan sang ibu untuk menenangkan buah hatinya, tapi tak juga berhasil. Bocah yang masih berumur kurang dari setahun itu terlihat terus berkeringat. Meski tiap kali sang ibu mengeringkannya, cucuran keringat itu seolah tak mau berhenti.
Si sopirpun sempat mengomentari bayi yang menangis itu. Hingga akhirnya, sang ibu turun dan bergegas menerobos kerumunan orang di keramaian salah satu ter minal di ibukota. Beberapa penumpang di angkutan umumpun berkomentar, terik siang itu memang seakan membakar kulit. Mereka berbincang mengenai musim dan cuaca yang kian sulit diprediksi. Cuaca panas di siang hari tidak menjamin malam hari tidak akan turun hujan. Begitupun sebaliknya.
Secuil kisah itu menggambarkan tentang fenomena perubahan iklim (climate change) yang telah dialami umat manusia selama beberapa dekade belakangan ini. Perubahan iklim merupakan pergantian cuaca di bumi, seperti perubahan suhu, pola angin, siklus musim, turunnya hujan, dll. Secara global, juga terjadi peningkatan suhu atmosfer bumi yang disebabkan bertambahnya beberapa unsur dan senyawa tertentu di dalam atmosfer, secara khusus karbondioksida (CO2), yang berasal dari asap hasil pembakaran bahan bakar fosil. Pemanasan global (global warming)merupakan fenomena yang memicu perubahan iklim.
Menurut sebuah lembaga non-profit American Institute of Physics (AIP), suhu udara di bumi terus meningkat. Secara global, kurun 1850-1870 suhu bumi rata-rata sekitar 13,6oC. Lalu tahun 1960, naik menjadi 13,9 oC, dan tahun 2014 meningkat 14,6 oC. Percepatan kenaikan suhu bumi ini dipicu oleh peningkatan emisi CO2 sampai dua kali lipat. selama lima dekade terakhir.
Jadi Isu Seksi
Perubahan iklim yang salah satunya di tandai dengan pemanasan global telah lama disadari sebagai persoalan dunia Namun, banyak kalangan pada paruh pertama abad XX yang masih menganggapnya sebagai masalah yang belum mendesak untuk ditangani. Misal, Joseph Fourier –fisikawan Perancis– telah meramalkan adanya “efek rumah kaca” (greenhouse effect) sejak 1824. Penemuan Fourier ini sebagai konsekuensi emisi karbondioksida yang merupakan imbas dari Revolusi Industri pada abad sebelumnya.
Efek green house atau rumah kaca menyebabkan kenaikan permukaan air. Gas rumah kaca tercipta akibat ulah manusia. Lapisan pelindung bumi dari sinar matahari terpengaruh oleh pembakaran fosil. Banyak sinar matahari disimpan di dalam atmosfer, sehingga bumi menjadi lebih panas. Kenaikan suhu itu mengakibatkan banyak daratan es di kutub Utara dan Selatan meleleh sehingga permukaan air laut meningkat lebih cepat dari seharusnya.
Naiknya permukaan laut berpotensi menenggelamkan daratan. Menurut catatan, rata-rata kenaikan muka laut dunia tiga milimeter per tahun. Namun berdasarkan catatan AVISO Perancis, permukaan laut di Indonesia Timur yang menghadap samudera Pasifik sudah naik sekitar sembilan milimeter dan di Jawa berkisar delapan milimeter per tahun. Kalau pemanasan global tak direm, ada yang meramalkan pada 2030, sekitar 2000 pulau di Indonesia – dari total 17.480 pulau saat ini – akan tenggelam.
Awal abad XX, isu pemanasan global mulai bergulir. World Conservation Union Meeting di Copenhagen, Denmark, tahun 1954. Negara-negara Barat cukup risau dengan isu ini. PBB akhirnya membahas isu perubahan iklim dalam konferensi di Stockholm, Swedia, tahun 1972. Inilah konferensi pertama tentang Lingkungan Hidup (Earth Summit) yang dilakukan PBB, yang menghasilkan United Nations Environment Programme (UNEP). Pasalnya, tahun itu terjadi kekeringan panjang yang berdampak kelaparan di Afrika, Ukraina, dan India. Dan pasca krisis energi karena embargo minyak yang membuat harganya melambung pada 1973, perubahan iklim pun menjadi isu seksi di tingkat dunia. Maka diadakanlah Konferensi Dunia Pertama tentang Perubahan Iklim di Jenewa, Swiss tahun 1979 –yang ditandai dengan krisis energi kedua dan mulai dikembangkannya energi nuklir.
Kecemasan Dunia
Ketika perubahan iklim menjadi isu mondial, perbagai upaya dilakukan untuk mencari solusi atas persoalan ini. Aktivitas di tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional dihelat untuk meredam kecemasan umat manusia. Dalam Sidang Umum PBB tahun 1988, perubahan iklim disebut sebagai “common humanity concern” dan dibentuklah Intergovern mental Panel on Climate Change (IPCC) untuk mengumpulkan data dan riset tentang perubahan iklim dunia.
Tahun 1992, Earth Summit kedua diadakan di Rio de Janeiro, Brazil. IPCC melaporkan, pemanasan global merupakan ulah manusia, maka dibutuhkan usaha pengendalian emisi bahan bakar fosil.
Pertambangan dan industri seolah cerah di dunia berkembang, meskipun sebenar nya hutan dan ekosistem dikorbankan demi penumpukan kapital. Earth Summit ini juga menghasilkan United Nations Framework Conventionon Climate Change (UNFCCC), konvensi dalam bidang perubahan iklim.
Kecemasan dunia internasional ini begitu terlihat dari berbagai upaya menghadapi isu perubahan iklim. Apalagi mengetahui bahwa emisi bahan bakar fosil yang menjadi penyebabnya. Dalam hal ini, manusialah yang menjadi faktor kunci per soalan ini, karena manusia sebagai pengguna bahan bakar itu.
Jawaban Gereja
Setelah sekian dekade dunia bergumul dengan isu seksi perubahan iklim, tiba-tiba Gereja Katolik muncul menyerukan ajarannya. Melalui Ensiklik Laudato Si’, Paus Fransiskus menggarisbawahi soal refleksi moralitas religius atas isu seksi ini. Seolah inilah jawab Gereja atas persoalan dunia yang dihadapi umat manusia. Maka, Ensiklik ini pun menjadi seruan bagi semua orang yang berkehendak baik –tidak melulu umat Katolik. Dan, banyak teolog menjajarkan nya dengan tradisi Ajaran Sosial Gereja (ASG) dari para pendahulunya, karena yang menjadi korban pertama perubahan iklim adalah orang kecil dan negara miskin.
Ulah manusia yang menyebabkan polusi, pemanasan global, kelangkaan air, dll merupakan elemen yang membuat iklim lambat laun berubah. Di sinilah isu seksi itu dilawankan dengan etika religius, yakni tiap orang butuh pertobatan ekologis. Pertobatan ini harus nyata, konsisten, dan muncul dari penghormatan akan alam sebagai ciptaan Allah yang tanggung jawab kelangsungan hidupnya diserahkan di pundak manusia. Oleh karena itu, Bapa Suci menegaskan, tiap orang adalah bagian dari solusi, mulai dari cara sederhana hingga level pengambil kebijakan.
R.B.E. Agung Nugroho