Pelayanan di Ujung Tanduk

809
Romo Stanislaus Sutopanitro. (HIDUP/Maria Pertiwi)

HIDUPKATOLIK.com – Gereja Katolik memberikan pelayanan pastoral kepada tapol di beberapa penjara dan keluarga mereka. Sampai sekarang pun masih ada tapol dan keluarganya yang memerlukan bantuan.

ROMO Stanislaus Sutopanitro, pada mulanya, tidak begitu memperhatikan tahanan politik (tapol) G30S yang ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM), Jakarta Pusat. Sebagai pastor tentara, setiap ia datang ke RTM, dari balik jeruji besi para tapol memperhatikannya seolah-olah meminta Romo Suto menyapa mereka.

Beberapa saat kemudian muncul rasa iba di benak Romo Suto. Ia lalu mengirim surat kepada Pangdam Jaya Mayjen Poniman (1970) untuk minta izin agar bisa melayani tapol. Poniman menganjurkan Romo Suto mengirim surat ke Panglima Kopkamtib, ketika itu Jenderal Soemitro.

Seminggu kemudian ia mendapat jawaban dan dipanggil menghadap Pangkokamtib. Ia diminta membuat proposal program pembinaan. Kurang lebih satu minggu, proposal itu selesai. Pangkokamtib setuju dan menunjuk Romo Suto menjadi pembina tapol di seluruh Indonesia.

Beberapa hari kemudian Romo Suto menghubungi Uskup Agung Semarang, Kardinal Yustinus Darmojuwono yang saat itu menjabat Uskup ABRI. Ia mengusulkan agar Kardinal bertemu Pangkokamtib. Kardinal bersedia datang ke Jakarta dan bertemu Jenderal Soemitro. Kardinal meminta izin agar Gereja Katolik bisa ikut melayani keluarga tapol. Setelah disetujui, maka 1971 dibentuklah Program Sosial Kardinal (PSK).

Keluarga Tapol
Sebelum PSK dibentuk, beberapa keuskupan lain diajak berkoordinasi di Wisma Samadi, Klender, Jakarta. Yang hadir adalah wakil dari Keuskupan Agung Palembang, Semarang, Makassar, Keuskupan Tangjungkarang, Bandung, Malang, dan Surabaya. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa PSK akan segera dibentuk di keuskupan mereka masing-masing.

Penderitaan keluarga para tapol ketika itu sungguh berat. “Jika ketahuan sebagai keluarga tapol akan dianggap sebagai sampah masyarakat dan rumahnya dilempari batu atau tai,” katanya.

Menurut catatan, PSK melayani kurang lebih 17.000 keluarga atau 80.000 orang di seluruh Jabodetabek. Mayoritas keluarga tapol yang dilayani bukan beragama Katolik. Dalam pelayanan, Romo Suto dibantu para suster FMM, KSF, CB, Fransiskanes, para dokter dan sejumlah awam yang tergabung dalam PSK. Selain umat Katolik ada juga umat beragama Islam bernama Niniek Astuti yang menjadi sukarelawan PSK. Tugas Niniek di PSK Nasional sebagai sekretaris. Setiap Rabu ia ikut memberikan konseling sekaligus menjadi staf administrasi pengobatan. Di lain hari, Niniek juga ikut mendapat tugas kunjungan ke rumah-rumah keluarga tapol di pinggiran Jakarta.

Dalam pelayanan ini Niniek merasa terharu dengan keadaan keluarga tapol khususnya ketika para tapol sudah pulang dan bergabung dengan keluarga. Rupanya masalah justru muncul ketika sang ayah pulang dari tahanan. “Banyak anak yang berantem dengan sang Ibu. Ketika bapaknya pulang, otomatis si ibu melayani bapaknya dan si anak cemburu,” ujar Hajah Niniek.

Menolong Bayi
Dalam pendampingan Romo Suto juga pernah memberikan pelayanan di Penjara Wanita Bukit Duri, Jakarta. Di tahanan, ada 39 anak, baik yang lahir di penjara maupun bawaan tapol. Suatu saat, Romo Suto melihat seorang ibu sedang diinterogasi. Ibu itu memiliki bayi berumur satu minggu. Di siang hari, bayi itu dijemur di lapangan dan menangis terus. Sang ibu diperiksa menghadap anaknya yang menangis kepanasan oleh teriknya matahari. Melihat peristiwa itu, Romo Suto tak tahan. Ia langsung menemui komandan penjara yang berpangkat Kapten. Sebagai Kolonel, Romo Suto memerintahkan komandan penjara untuk mengakhiri pemeriksaan. “Itu tidak manusiawi. Cara pemeriksaan seperti itu sungguh tidak Pancasilais,” ujarnya.

Sejak menolong ibu itu, para tapol ramai-ramai menyerahkan anak mereka untuk dirawat oleh Romo Suto, yang kemudian menitipkan 39 anak itu kepada seorang bapak dan ibu tua di Tebet, Jakarta Selatan. Di rumah itu, ia juga ikut merawat mereka. Setiap malam, Romo Suto ikut mengganti popok dan membuatkan susu.

Setelah dua minggu, anak-anak dipindahkan ke panti asuhan milik suster-suster FMM di Bogor. Selama dua bulan anak-anak dirawat di tempat itu. Karena panti ditutup, Romo Suto mencari tempat penitipan lain. Ia lantas membawa 11 anak ke panti asuhan di Ganjuran, DI Yogyakarta dengan mengendarai mobil tentara sendirian.

Sesampai di Magelang, Romo Suto sakit. Ia meminggirkan mobil dan menggelar tikar di pinggir jalan. Sambil tiduran ia meminta anak yang paling besar mencari bantuan ke kantor polisi. Untung saja ada polisi yang mau membantu dan mengantar mereka ke tempat tujuan.

Kepercayaan
Selama memberikan pelayanan Romo Suto mengibaratkan hidupnya bagaikan “telur di ujung tanduk”. Ia harus bisa memupuk kepercayaan dari aparat keamanan, tapol dan keluarganya. Lewat kepercayaan itu ada beberapa tapol yang tertarik menjadi Katolik. Keinginan para tapol itu tidak hanya muncul di penjara Jakarta, tetapi juga di Pulau Buru.

Selama tiga bulan, Romo Suto berkunjung ke Pulau Buru. Ia sempat singgah di unit tempat Pramoedya Ananta Toer tinggal. Saat pulang, ia dititipi tulisan tangan Pramoedya. Setelah lolos dari pemeriksaan, sesampainya di Jakarta, Romo Suto mengirimkan tulisan Pramoedya ke Belanda.

Selama di Pulau Buru, Romo Suto melihat para tapol membuat perubahan pulau itu. Ketika bertemu dengan penduduk asli, ada yang bertanya kepadanya, “Bagaimana caranya bisa menjadi tapol?” Pertanyaan itu memang aneh, tetapi rupanya penduduk asli terkesan dengan usaha para tapol dan ingin menjadi pandai seperti para tapol itu.

Keinginan para tapol menjadi Katolik meningkat. Romo Suto berusaha selektif menerima begitu saja karena takut dipolitisir. Ia memberikan syarat untuk menjadi Katolik yakni ikut pelajaran agama selama tujuh tahun.

Pelayanan di penjara Salemba kemudian dilanjutkan Romo Isak Doera (kemudian Uskup Emeritus Sintang-Red). Di penjara itu, Romo Isak Doera membaptis 200 orang yang sudah mendapat pelajaran agama selama dua sampai empat tahun dari Romo Suto. “Sayang pembaptisan itu hanya dicatat di lembaran folio tanpa keterangan yang jelas sehingga tidak tercatat di Paroki Kramat,” ujar Romo Suto.

Operasi Mental
Di Yogyakarta juga ada pendampingan kepada para tapol dan keluarganya. Karya pastoral itu digerakkan oleh Romo Paul de Blot SJ yang saat itu menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia membuat gerakan Operasi Mental. Dengan bantuan mahasiswa kedokteran UGM, sejumlah aktivis mahasiswa, Romo de Blot mendirikan asrama untuk menampung keluarga tapol.

Romo de Blot mengakui bahwa saat itu masih banyak orang belum berani membantunya karena takut dicurigai terlibat G30S. Untunglah ada beberapa mahasiswa dan beberapa lembaga swadaya seperti Dian Desa, Purba Danarta, dll. yang mau membantu.

Salah seorang yang membantu Romo de Blot dalam program ini adalah JC. Tukiman Tarunasayoga. Selama kurang lebih dua tahun (1973-1974), Tukiman ikut memberikan pelayanan rohani kepada para tapol. Setiap Sabtu siang, ia datang ke tempat tahanan di Benteng Vredeburg, Yogyakarta.

Selama pendampingan, begitu Tukiman masuk ruangan, pintu utama akan dikunci petugas dan baru dibuka pada jam yang telah ditentukan. Setelah dikunci, Tukiman membagi-bagikan tembakau kepada para tapol yang merokok.

Selain tembakau, para tapol juga haus informasi. Tukiman selalu membawa guntingan koran. Ketika dibagikan, mereka berebut membaca koran meskipun sudah terlambat satu bulan. Sekitar 10-15 menit awal, para tapol akan sibuk membaca. Setelah itu mereka mulai bertanya tentang perkembangan di luar tahanan. “Setelah berbincang-bincang, barulah ‘pelajaran agama’ dimulai, membahas hal-hal yang terkait dengan iman dan Yesus,” ungkap Tukiman. Sebulan sekali, ia mengirim komuni dalam ibadat sabda.

Selain benteng Vredeburg, pelayanan pastoral juga dilakukan untuk tapol yang dititipkan di LP Wirogunan, Yogyakarta. Tukiman melayaninya setiap Selasa sore. Kebanyakan tapol di tahanan ini masih muda-muda.

Pembebasan
Tahun 1975, para tapol Pulau Buru mulai dibebaskan. Menghadapi gelombang pembebasan Romo Suto menampung 76 mantan tapol pria dan wanita di Tebet, Jakarta Selatan sampai tahun 1982. Di rumah itu, para mantan tapol dibantu mencari keluarganya dan dilatih membuat mebel sebagai bekal usaha.

Selama pelayanan, Romo Suto merasakan mukjizat Tuhan karena tidak kekurangan dana. Pemerintah Jerman, Inggris, Perancis, Kanada, Australia dan Belanda berkenan membantu lewat KAJ maupun Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Sampai 1986, PSK masih menanggung mantan tapol yang tua dan cacat.

Tahun berikutnya bantuan mulai berhenti, namun jalinan persaudaraan Romo Suto dengan para mantan tapol tetap berlanjut sampai sekarang. Setiap Natal atau Paskah, ia selalu diundang oleh salah satu keluarga bekas tapol ke rumahnya. Sekitar 20 keluarga mantan tapol akan datang berkumpul.

A. Nendro Saputro

Sumber: Majalah HIDUP edisi No. 39/2015

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini