HIDUPKATOLIK.com – Apa yang dibuat seorang Uskup di kota metropolitan dengan 512.172 umat Katolik, tersebar di 66 Paroki? Bagaimana ia menata daerah yurisdiksinya, tempat berkarya 291 imam yang terdiri dari 20 tarekat (belum termasuk dua tarekat bruder dan 41 tarekat suster), dengan latar belakang formasi, suku, budaya, praksis, mazhab spiritual, dan akademis yang berbeda? Perhatian macam apa yang ia berikan kepada 63 imam praja yang banyak-sedikit jumlahnya ikut menentukan apakah sebuah Keuskupan bisa disebut mandiri atau masih tergantung secara personalia pada pihak lain? Pewartaan dan kesaksian apa yang perlu diberikan di ibukota yang sarat dengan aneka kontras, “isme”, dan sistem nilai ini?
Ada banyak ciri-corak yang tampak pada cara bertindak Mgr Ignatius Suharyo, dalam menjalankan tanggung jawab episkopal yang telah dipikulnya selama 20 tahun, mulai dari Keuskupan Agung Semarang (KAS) hingga Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), dan kini Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI,) tentu juga sebagai Uskup pada Ordinariatus Castrensis Indonesiae (OCI) di lingkungan TNI dan Polri, dan 2,5 tahun diantaranya sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Bandung. Transparansi keuangan, perombakan struktur paroki, kejelasan regulasi, keterpaduan kinerja aneka komisi, penciptaan pos pelayanan baru seperti advokasi adalah beberapa contoh saja.
Dari semua, yang paling menonjol kiranya adalah adanya kesatuan visi dan misi sebagai gerak bersama se-Keuskupan yang dirumuskan sebagai Arah Dasar (Ardas) Keuskupan. Kalau sebelumnya, paroki-paroki tampak berjalan sendiri-sendiri sesuai aturan main pastornya, bahkan tarekatnya (ada 20 tarekat imam di KAJ) yang kadang terkesan eksklusif mirip “ghetto spiritual”, maka mulai kini ada orientasi bersama sebagai pedoman arah berpastoral. Ardas ini tidak jatuh dari langit, melainkan dicari, ditemukan, dan dirumuskan secara bersama dalam pertemuan para pastor, untuk lantas diterjemahkan ke dalam aneka karya dan kegiatan mereka nantinya. Tujuannya tunggal, menjadikan keyakinan kepada Allah sebagai Gembala yang baik dan murah hati bisa dialami oleh semua orang, baik umat maupun masyarakat. Tidak boleh diragukan, pada visi-misi termuat eklesiologi Gereja KAJ juga.
Adanya visi-misi dengan kebijakan, regulasi, dan standar yang diturunkan daripadanya ini penting. Sebab, ia menciptakan kejelasan yang menunjang mutu pelayanan bersama yang terarah, tidak subyektif dan berbuah. Mgr Suharyo sering mengibaratkan cara pelayanan para imam yang mau bekerja di KAJ dengan permainan olah raga. “Jika kita mau bermain sepakbola, ya jangan memakai aturan kasti. Kita akan bisa bermain sepak bola dengan berhasil dan memuaskan, justru kalau kita mengikuti peraturan permainan sepak bola. Siapa yang mau bermain kasti jangan masuk ke lapangan sepak bola,” tukasnya ibarat wasit, berhadapan dengan fakta beragamnya latar belakang para imam yang bekerja di KAJ seperti telah disinggung sebelumnya. Tapi sikap tegas sang wasit ini tidaklah kejam. Sebab di KAS ia terkenal dengan ucapan, Yen Romone bener aku melu seneng, yen salah tak apura, (Kalau pastornya berhasil saya ikut senang, namun kalau ia salah, saya akan memaafkan). Ia mengharapkan, imam itu happy, commited, and professional.
Berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan gaya pelayanan pada aneka fungsi, Mgr Suharyo pada hakikatnya melakukan dua level pendekatan, yakni pendekatan personal dan pembaruan struktural. Hal ini, bagi penulis, tampak jelas antara lain dari caranya memperhatikan imam diosesan yang merupakan “karyawan tetap” di Keuskupannya.
Menyangkut “pendekatan personal”, Bapa Uskup misalnya melakukan kunjungan kepada para imam praja yang bekerja menjadi misionaris domestik di pedalaman Kalimantan dan Papua. Ia juga memberikan bantuan material dan finansial yang diperlukan secara konkret di lapangan. “Hal ini dilakukan tentu saja dalam semangat solidaritas pelayanan Keuskupan Agung Jakarta juga dengan keuskupan lainnya, khususnya yang membutuhkan,” ujar Uskup yang sekaligus Guru Besar bidang Teologi ini.
Kesungguhan maksud Mgr Suharyo bahwa KAJ peduli dan solider dengan keuskupan lain dan bahwa imamnya memang dimaksudkan untuk itu, tampak saat ia secara terbuka menugaskan imamnya dalam perayaan Misa Krisma di Katedral Jakarta yang dihadiri semua pastor dan umat. Di sini, ia mendoakan imam yang akan bertugas ke luar KAJ itu, memberikan salib kepadanya dan mengutusnya secara resmi. Dengan demikian, ditangkis kesan miring bahwa imam praja yang diutus ke luar KAJ adalah imam bermasalah. Selain itu, ini cara baru untuk memperlihatkan juga, KAJ memberi dari kekurangan imam prajanya untuk keuskupan lain. Berhadapan dengan kecenderungan imam-imam yang mau (tetap) tinggal di Jakarta saja, tindakan Mgr Suharyo ini bisa dilihat sebagai kritik simbolis agar mereka mawas-diri dan mengikuti panggilan misionaris mereka ke keuskupan-keuskupan lain juga.
Menyangkut “pembaruan struktural”, Mgr Suharyo juga seorang administrator yang ulung. Beberapa hal yang telah disebutkan dan kesaksian lain di lembaran majalah ini sudah menyatakan itu. Misal di bawah kegembalaannya diadakanlah visitasi rutin ke Paroki-paroki oleh tim-tim yang ditunjuk (tim keuangan, tim administrasi) untuk melihat apa kebutuhan mereka dan mana yang bisa dibantu secara struktural, agar Gereja bisa hadir secara bertanggung jawab terhadap umat dan masyarakatnya.
Selain itu, upaya ini dimaksudkan untuk membangun suatu budaya kesatuan tubuh (corporate culture), selain peningkatan mutu pribadi dan karya para imam yang berkarya di sana. Contoh lain pembaruan struktural berkaitan dengan apresiasinya terhadap imam diosesan: ia menetapkan Ketua UNIO KAJ sebagai anggota Dewan Konsultor Uskup, padahal sebelumnya dewan ini terdiri antara lain dari beberapa provinsial tarekat yang bekerja di Jakarta, tanpa ada wakil dari komunitas imam diosesan pun di dalamnya.
Begitulah, dalam ruang terbatas ini tidak bisa dimasukkan pelbagai hal mengenai apa yang terjadi pada masa episkopat Mgr Suharyo. Apa yang ditulis di sini hanyalah beberapa catatan yang memuat apresiasi terhadap kepemimpinannya. Ini gaya kepemimpinan yang mempunyai sikap dan keterbukaan positif terhadap segala sesuatu (teologi, manajemen, ilmu, dan keterampilan sekuler) yang bisa menjadi sarana bagi Gereja menjadi lebih baik, kredibel, dan commited pada tugas panggilannya. Di baliknya ada keyakinan mengenai Umat Allah sebagai gerakan yang tidak statis-kaku, melainkan dinamis, terarah, dan berfokus alias tidak ngawur. Proficiat atas lustrum IV episkopat, Mgr Suharyo.
Simon Petrus L. Tjahjadi