Ditantang Membagi Waktu Untuk Gelar, Keluarga Dan Gereja, Sanggupkah Clara Rosa Menghadapinya?

350
Foto ini hanya sebagai ilustrasi. (Dok HIDUP)

HIDUPKATOLIK.com – Dua beasiswa untuknya hadir ketika anak-anaknya masih amat belia. Ia membagi peran sebagai istri dan ibu, sekaligus mahasiswa. Semua bisa berjalan berkat Tuhan dan dukungan keluarga.

Kabar gembira mendarat di telinga Clara Rosa Pudji Yogyanti. Ia mendapat tawaran beasiswa dari sebuah lembaga Katolik di Belanda, untuk mengambil program magister psikologi. Padahal, Clara baru dua tahun bekerja di Unika Atma Jaya Jakarta. Kebahagiaan kian berlaksa, sang kekasih, Albertus Maria Ajisuksmo mendapat kesempatan serupa. Bedanya, beasiswa Aji dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Sebelum berangkat, dua sejoli itu memutuskan menikah pada 1986. Clara yang sebelumnya ditawari ke Belanda, memilih Amerika. Alasannya sederhana, ingin ikut suami. Syukurlah, lembaga pemberi beasiswa itu menuruti kemauannya. Dari tiga pilihan universitas, Clara hanya melamar di Universitas New York, Albania, Amerika Serikat.

Aji melamar di tiga kampus, satu diantaranya adalah tempat sang istri. Ternyata lamaran Aji diterima di semua universitas. Keputusan Aji bisa langsung ditebak. Ia memilih kuliah di tempat yang sama dengan istrinya. Tapi rencana mereka untuk melanjutkan kuliah di negara Abang Sam menghadapi tantangan. Clara hamil.

Tiga Sesanti
Situasi itu membuat pasangan muda, terutama Clara, dilematis. Ia terus terang menginginkan kuliah sekaligus mengasuh anak. Ada rekan dosen yang meminta Clara mengurungkan niat ke Amerika. Katanya, kutip Clara, ia bakal kesulitan berkomunikasi di sana. “Atau anakmu mati,” kata rekannya, melanjutkan.

Clara terngiang dengan tiga sesanti yang diberikan oleh sponsor beasiswanya. Mereka meminta kepada alumna Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini agar pulang dari Amerika membawa gelar dan membantu Gereja, serta keluarganya tak boleh berantakan. Jika Clara tak sanggup, beasiswa itu takkan diberikan kepadanya.

Bagi anak ketiga dari delapan bersaudara pasangan F.X. Sjamsoe Soedibjo dan Albertina Rochaeni, tiga tanggung jawab itu amat berat. Clara lantas berkonsultasi kepada dokter anak dan Kedutaan Amerika di Jakarta. Kegundahan hatinya perlahan terkikis. Kata mereka, ia tak perlu takut. Negeri yang akan ia masuki bukan hutan belantara, tapi sebuah negara yang sudah amat maju.

Clara kian optimistis, karena orangtua dan mertuanya mendukung rencana mereka ke Amerika. “Mereka tak pernah nggondelin (menahan) saya. Mereka bilang, ‘ok, you’re in good hands, jalan saja’.”

Persalinan Clara berjalan lancar. Ia dan bayinya juga sehat. Dua bulan usia buah hatinya, Aji terbang ke Amerika. Ia harus mengikuti penyesuaian bahasa, sekaligus mempersiapkan tempat tinggal dan kebutuhan istri serta anaknya. Sementara Clara berangkat tiga bulan kemudian. Ia membawa putra pertama serta tekad membara. “Saya harus lulus, anak saya tak mati, dan keluarga saya tak kocar-kacir,” tegasnya.

Beragam Tantangan
Clara-Aji harus mengencangkan “ikat pinggang” selama di negeri Abang Sam. Uang beasiswa mereka tiap bulan merupakan satu-satunya sumber hidup. Duit itu, mereka pakai untuk membayar sewa rumah, tempat penitipan anak, dan kebutuhan sehari-hari. Beruntung, berkat social security dari pemerintah, kebutuhan pokok bayi mereka tercukupi. “Kami melamar sebagai orang miskin demi mendapat social security untuk membeli makanan bayi. Harga susu mahal,” kata Clara.

Selain biaya hidup yang tinggi, musim dingin di sana juga ekstrem. Seringkali, kenang Clara, kuping balitanya sakit, karena angin berhembus kencang. Anaknya juga kerap mengeluh sakit perut selama musim itu. Bagi Clara, semua pengalaman itu merupakan proses adaptasi. Hal serupa terjadi ketika mereka kembali ke tanah air.

Pada awal tiba di Indonesia, kenangnya, putra mereka sempat menangis ketika meminta susu kepada asisten rumah tangga (ART). Anaknya menyebut milk, sementara ART tak tahu arti kata itu. “Deo (nama anak pertama-Red) belum bisa berbahasa Indonesia waktu itu,” beber Kepala Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atma Jaya Jakarta, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis, 3/8.

Suatu hari, Clara bertemu Anton M. Moeliono. Salah satu perintis dan pendiri Yayasan Atma Jaya itu menanyakan kepadanya, soal rencana untuk mengambil program doktoral. Clara merasa tertantang dengan pertanyaan seniornya itu. Ketika di Amerika, Clara sempat ditawari untuk langsung mengambil gelar doktor di sana. Tapi kesempatan itu ia tolak.

Keluarga, terutama nasib dan masa depan anaknya menjadi pertimbangan utama bagi dosen psikologi sekaligus peneliti di sejumlah lembaga Katolik di berbagai Keuskupan di Indonesia. “Kuliah S3 sambil ngopeni (mengurus) anak, dan tinggal di Amerika, saya tak sanggup. Anak saya usianya dua tahun saat itu, lagi nakal-nakalnya. Kami mementingkan anak,” terangnya.

Baru satu tahun kembali dari Amerika, Clara-Aji mendapat tawaran beasiswa lagi. Tapi rencana mereka terbendung, lantaran Clara kembali berbadan dua. Ia meminta kepada sponsornya di Belanda untuk menunggu sampai umur anaknya satu tahun. Pertimbangan Clara, pada usia itu seluruh proses imunisasi putranya selesai, anaknya juga sudah lebih bebas mengkonsumsi makanan, dan tak terlalu bergantung kepadanya.

Ada kebaikan lain yang Clara terima dari lembaga itu. Mereka bersedia untuk membiayai perjalanan Clara seandainya tiap bulan ingin menjenguk keluarga di Indonesia. Mereka hanya meminta kepada Clara pulang membawa gelar, keluarganya harmonis, dan membantu karya Gereja. “Luar biasa kan, saya begitu dimanja. Tapi justru tanggung jawab itu yang berat,” akunya.

Dukungan suami begitu luar biasa dirasakan Clara. Aji ikhlas melepaskan kesempatannya untuk studi lanjut. Ia memilih tinggal di Indonesia, bekerja, dan mengurus anak-anak selama istrinya di Negeri Kincir Angin. “Dia adalah dosen. Yang harus dilakukan seorang dosen adalah S3. Saya bukan dosen, jadi dia yang harus maju ke depan,” ujar Aji.

Jaga Kepercayaan
Clara mengakui, tiga tanggung jawab dan kepercayaan yang diembannya lebih sulit dibanding menulis dan mempertahankan disertasi. Tugas dan peran itu melekat dalam dirinya seumur hidup. Clara pernah dikejutkan oleh pernyataan putra pertamanya. “Mami, semua yang Mami dapat ini dari Gereja. Maka, Mami harus mengembalikan semua itu kepada Gereja.”

Umat dan anggota Seksi Kerasulan Keluarga Paroki St Bartolomeus Taman Galaxi Bekasi, Keuskupan Agung Jakarta ini, mensyukuri semua yang telah diterima dan dialaminya. Clara merasa Tuhan amat menyayanginya. Tuhan memberikan beasiswa, meski ia tak pintar. Dia menganugerahi orangtua, suami, dan anak-anak yang amat pengertian dan mendukung kariernya. Tuhan jugalah yang telah menjaga keluarganya sampai kini.

Bagi Clara, tak ada pertemuan atau peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Tuhanlah yang mengatur. Namun, tambah perempuan yang membantu karya Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia ini, justru manusia yang harus bisa memaknai segala peristiwa agar berguna bagi orang lain.

Semua peristiwa yang dialaminya menjadi latar belakang Clara getol membantu misi Gereja dan setia di Atma Jaya hingga kini, meski sering tawaran menggiurkan dari luar menghampirinya. Ia bergeming. “Atma Jaya bagi saya Gereja. Ini rumah kedua saya,” ujar Clara, yang kini sedang menanti kelahiran cucu kedua.

Yanuari Marwanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini