HIDUPKATOLIK.com – Tak sedikit calon pasangan suami istri Katolik yang melangsungkan upacara sakramen atau pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja. Bisnis di bidang ini pun marak, terutama di kawasan wisata seperti Bali. Namun, kadang mereka lupa, pernikahan memiliki dimensi kesakralan.
Bali menawarkan sejuta mimpi, termasuk kepada para calon pasangan suami istri. Tak sedikit pasangan, terutama mereka yang berkantong tebal, memimpikan menikah di tempat berjuluk Pulau Dewata ini. Tak hanya Bali, tempat-tempat di sekitarnya, seperti Lombok dan Sumbawa menjadi incaran pasangan yang menginginkan romantisme upacara pernikahan.
Keinginan dan mimpi ini ditangkap sebagai sebuah peluang bisnis baru. Agen wisata, vila, hotel, kapal pesiar, serta tempat-tempat wisata lain mencoba menawarkan paket-paket pernikahan dengan nuansa berbeda. Paket pernikahan ini bisa dipilih oleh para calon pasangan suami istri, seperti paket menikah di vila, hotel, taman, pantai, atau di kapal pesiar yang sedang berlayar. Paket pernikahan ini juga disesuaikan dengan agama calon pasangan suami istri. Maka, dalam paket pernikahan ini juga disediakan fasilitas penyediaan penghulu, pendeta, bahkan pastor. Memimpikan paket-paket pernikahan ini, calon pasangan suami istri harus siap dengan dana besar karena pasti tidak murah.
Tempat-tempat favorit di Bali yang kerap menjadi lokasi upacara pernikahan adalah di daerah Kuta dan Ubud. Bahkan, beberapa hotel dan vila di sini menyedia kan tempat ibadah kecil, seperti kapel untuk melangsungkan pernikahan. Menurut Sekretaris Komisi Keluarga Keuskupan Denpasar, Laurens Sogen, kebanyakan calon pasangan suami istri yang melangsungkan pernikahan di Bali justru datang dari luar Keuskupan Denpasar. “Amat jarang ditemukan calon pasangan suami istri setempat yang melakukan hal itu,” tuturnya.
Seperti pasangan suami istri Thomas-Maria, bukan nama sebenarnya. Mereka menikah di Bali enam tahun lalu. Thomas seorang berkebangsaan Australia, sementara Maria tinggal di Jakarta. Mereka berdua umat Katolik. Setelah melewati segala prosedur persiapan pernikahan, mereka memutuskan melangsungkan upacara Sakramen Pernikahan di Bali. Mereka memilih menggunakan event organiser (EO) pernikahan. Thomas-Maria hanya membayar sejumlah uang sesuai dengan paket yang mereka pilih. Dan, pihak EO mengurus segala hal, termasuk administrasi pernikahan.
Thomas-Maria memilih paket menikah di sebuah pantai. Pada hari pernikahan, segala sesuatu telah siap. Mulai dari pakaian pengantin, dekorasi, bahkan imam yang akan memberkati pernikahan mereka. “Saya tidak mengenal pastor itu, karena sudah disediakan oleh pihak event organiser,” ujar Maria. Upacara pernikahan berjalan sesuai rencana. “Ya, … kami menikmati suasana pernikahan yang berbeda,” imbuh Maria. Usai upacara pernikahan, mereka bisa langsung bulan madu, sementara keluarga berlibur menikmati keindahan Pulau Dewata.
Pasangan Thomas-Maria hanyalah satu dari ratusan pasangan Katolik yang telah melangsungkan upacara pernikahan Katolik di luar gedung gereja. Fenomena ini juga diakui oleh Sekretaris Komisi Keluarga Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Hibertus Hartono MSF. Romo Hartono pernah ditawari memimpin upacara Sakramen Pernikahan di sebuah hotel. Tawaran serupa juga pernah dialami Ketua Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) Romo Alexander Erwin Santoso MSF. Romo Erwin pernah diminta memimpin upacara Sakramen Pernikahan di sebuah taman. Namun, kedua imam ini dengan tegas menolak tawaran tersebut.
Mulai berkurang
Upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan Katolik di luar gedung gereja ini tentu menimbulkan persoalan. Selain mengindahkan sakralitas sebuah upacara pernikahan, hal ini juga menyulut kesulitan administrasi. Kesulitan ini terutama datang ketika calon pasangan suami istri bukan berasal dari paroki setempat atau dari luar Keuskupan Denpasar.
Ketika fenomena ini belum marak terjadi, beberapa pastor paroki di Keuskupan Denpasar memberikan izin. Namun lambat laun, mereka menilai tata cara liturgi perkawinan di luar gedung gereja tidak sesuai dengan tata cara liturgi dalam Gereja Katolik. Apalagi ketika marak paket-paket pernikahan di hotel, vila, pantai, taman, dan kapal pesiar. Upacara pernikahan dijadikan bisnis dan mengabaikan kesucian di dalamnya.
Ketika Komisi Keluarga Keuskupan Denpasar mengadakan rapat pleno, para imam yang hadir membahas trend ini dan menyimpulkan bahwa terdapat kelemahan-kelamahan dalam upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja. Salah satunya, nilai sakramental sebuah perkawinan Katolik menjadi tidak dihayati sebagaimana mestinya. Para pastor paroki di Keuskupan Denpasar meminta kepada Uskup Denpasar Mgr Silvester Tung Kiem San melarang upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja yang berlangsung di wilayah yurisdiksi Keuskupan Denpasar. Surat yang berisi kebijakan pastoral Keuskupan Denpasar tentang peneguhan perkawinan Katolik dilayangkan pada akhir April 2015.
Dua bulan setelah surat tersebut dikeluarkan, hal positif mulai terlihat. “Sejak surat itu dikeluarkan, fenomena upacara sakramen dan pemberkatan pernikahan di luar gedung gereja mulai berkurang, bahkan sudah tidak terdengar lagi,” ujar Laurens Sogen.
Y. Prayogo
Laporan: Takas Tua