Pancasila Sebagai Titik Pijak Bangsa Indonesia Tak Tergantikan

143
Yudi Latif.
[HIDUP/A. Nendro Saputro]

HIDUPKATOLIK.com – Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika adalah titik pijak sekaligus tujuan bangsa Indonesia. Tugas anak bangsa adalah merawat keberagaman demi Indonesia yang lebih maju.

Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Tak heran Indonesia sering disebut negara dengan heterogenitas tinggi. Keanekaragaman ini termaktub dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dan dasar negara Pancasila. Idealnya, semboyan dan dasar negara ini harusnya menjadi falsafah, dasar pijakan hidup bersama. Namun sepertinya, gema dari semboyan dan dasar negara ini sedang menghadapi terpaan yang dapat meruntuhkan kekuatan bangsa.

Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) Yudi Latif mengatakan, agar semboyan dan dasar bisa tetap sakti, Indonesia perlu merespon soal mispersepsi dasar negara yang telah dikumandangkan 72 tahun lalu. Bagi Yudi, masih banyak paham Pancasila yang mendarah daging dalam praktik hidup sehari-hari. Selama 20 tahun terakhir, di beberapa daerah masih ada distorsi-distorsi sejarah. “Ada juga sangkaan bahwa Pancasila bisa menggantikan agama. Padahal agama dan Pancasila tidak bisa diperbandingkan,” ujar Yudi.

Untuk mengatasi mispersepsi itu, pada peringatan 72 tahun kemerdekaan Indonesia, UKP PIP akan menerbitkan dokumen otentik persidangan BPUPKI yang dikenal sebagai Dokumen A.K. Pringgodigdo. “Lewat proses ini, publik bisa membaca ulang proses perumusan dasar negara Pancasila sehingga distorsi-distorsi yang ada dapat dikikis.”

Berkaitan dengan “Bhinneka Tunggal Ika”, alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran ini menambahkan, satu masalah lain yang tumbuh adalah eks klusivisme berwajah keagamaan, kedaerahan, dan lainnya. Kata Yudi, tren eksklusivisme muncul akibat tingkat kesenjangan sosial yang tinggi. Situasi ini mengikis upaya lahirnya kemajemukan bangsa. Konsekuensinya, lahirlah kecemburuan, radikalisme sosial sebagai kritik terhadap kegagalan membangun infrastruktur nilai dalam masyarakat. “Kita ingin mengatasi hal ini, supaya cita-cita keadilan sosial bisa tercapai,” ujar pria kelahiran Sukabumi, 26 Agustus 1964 ini.

Nasionalisme Bangsa
Doktor Sosiologi Politik dari The Australian National University ini juga melihat, saat ini Indonesia masih sibuk membahas hal remeh-temeh. Meminjam ungkapan Soekarno, “Senang melihat sesama susah, dan susah melihat sesama senang.” Bila bangsa masih ribut soal hal sepele, maka rasa nasionalisme juga menurun. Masih ada yang hidup dalam kecurigaan, tidak percaya, saling menjegal, juga saling sikut. Konsekuensi lain adalah isu sosial media direspon secara negatif oleh banyak orang. Tetapi bila ada kinerja yang positif, sepi apresiasi. “Gelap tidak bisa dilawan dengan gelap. Gelap hanya bisa dilawan dengan cahaya. Caranya kita harus mengutamakan praktik-praktik kebaikan dan prestasi-prestasi bangsa ini di ruang publik, sehingga rasa nasionalisme warga bisa meningkat,” terangnya.

Demi melejitkan prestasi bangsa, UKP-PIP telah memonitor kinerja positif yang dikerjakan penyelenggara negara dalam semangat gotong-royong. Misal, kerjasama saat momen Lebaran 2017. UKP-PIP memberikan penghargaan kepada beberapa kementerian dan lembaga yang menyukseskan kegiatan tersebut. Program lain juga adalah pada 21-28 Agustus ini, akan diadakan festival prestasi Indonesia dengan menghadirkan 72 tokoh dari berbagai latar belakang. Mereka akan dijadikan duta nasionalisme lewat prestasi positif mereka. Pada bulan yang sama, UKP-PIP dalam kerjasama dengan Kementerian Ristendikti meluncurkan Program Penyegaran Pendidikan Pancasila bagi Mahasiswa di seluruh perguruan tinggi Indonesia di Istana Bogor. Semua program ini, sambung Wakil Rektor Universitas Paramadina (2005-2007) ini, berasal dari rakyat dan untuk rakyat. “Pancasila adalah titik pijak seluruh warga bangsa Indonesia. Pancasila juga menjadi titik tujuan bangsa Indonesia,” tegas Yudi.

A. Nendro Saputro

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini