Bangunan Superblock

192

HIDUPKATOLIK.com – Superblock adalah sebuah kompleks besar multifungsi, mulai dari perkantoran, pusat belanja, dan apartemen, sampai berbagai fasilitas penunjang kenyamanan yang lain, yang terletak dalam satu areal. Superblock kini kian marak bermunculan di kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Abidin Kusno dalam Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif (2008) berteori bahwa fenomena kehadiran superblock ini menandai warga kota kembali ke jantung kota setelah sempat tercerai-berai ke pinggiran kota, suburban pasca kerusuhan Mei 1998.

Kerusuhan dan penjarahan membuat jantung kota identik dengan kejahatan dan kekacauan. Maka, di wilayah pinggiran kota bermunculan perumahan mewah berpagar dan menawarkan keamanan serta kenyamanan, sebab terletak jauh dari pusat kota.

Perkembangan superblock pada saat ini mengindikasikan warga mulai pulih dari trauma kerusuhan dan kesediaan kembali ke “pusat”. Namun, trauma bukan barang yang cepat bisa dihapuskan. Superblock menjanjikan keamanan dan kenyamanan, karena semua kebutuhan tersedia dalam satu areal yang dijaga ketat dan penghuni tidak perlu keluar dari situ. Selain itu, superblock juga memulihkan gengsi kaum urban sebagai “penguasa pusat kota”, yang sempat jatuh akibat amuk massa.

Namun, superblock juga membuat penghuninya kian terkucil dari dunia luar. Bau anyir kali yang hitam dan mampat, tumpukan sampah di pinggir jalan, kemacetan lalu lintas, deretan hunian kumuh liar, pemulung, pengemis, dan pemalak, seolah menjadi bagian dari dunia yang jauh dan tak nyata. Dalam superblock, penghuni seolah hidup di sebuah firdaus di tengah dunia jahiliyah.

Warga yang kabur ke pinggiran kota saat kerusuhan dan tinggal di perumahan berpagar pun masih harus menyusuri jalan tol yang melingkari kota untuk menuju ke surga aman yang lain berupa pusat perbelanjaan, yang biasa terletak tak jauh dari mulut tol. Sebaliknya, bagi penghuni superblock, jarak seolah-olah terhapus. Semua tempat tujuan berada dalam jangkauan langkah kaki. Namun, yang dirasakan sebagai firdaus juga bisa menjadi penjara yang dikamuflase dengan kemewahan, kenyamanan, dan keamanan.

Sama seperti tokoh Maya dalam novel “CalaIbi” (2003) karya Nukila Amal, yang merasa aman berada di dalam mobil saat di jalanan. Mobil itu ibarat kontainer yang mewadahi dirinya dan memisahkan dia dari jalanan yang menakutkan. Namun, dengan segera ia sadar betapa rentan saat berada di tengah kemacetan. Mobil yang mesti menjadi juru selamat terjebak tak mampu bergerak, dan massa di luar mobil itu dapat melihat dirinya dengan leluasa melalui kaca. Ia tak dapat lari dari mereka. Tiba-tiba, Maya merasa tidak berdaya dan takut. Superblock pun tidaklah sekokoh penampilan fisik. Dalam situasi krisis  superblock menjadi seperti benteng masif, namun rentan terhadap kepungan musuh. Ia dibuat untuk melindungi penghuni, tetapi juga menjadi kurungan maut, sebab tak ada jalan keluar bagi yang berada di dalam.

Peduli dan melayani sesama yang lemah menjadi tantangan tersendiri bagi penghuni  superblock, jika jiwa mereka tak ingin dikuasai dan dikungkung dinding-dinding beton kokoh yang memisahkan mereka dari orang lain di luar areal; orang-orang yang kian jarang mereka lihat dalam kehidupan nyata, orang-orang yang bermandi peluh di tengah terik, berdiri dalam antrean panjang menanti angkutan umum, dan menata superblock dari jauh dengan mata nanar. Di mata penghuni superblock, mereka ini menjelma menjadi sosok-sosok tak nyata yang hanya muncul di layar televisi saat siaran berita. Bahkan, mereka ditakuti, dijauhi, dan dicemooh.

Menara Babel ditinggalkan penghuni bukan tanpa sebab. Para penghuninya menjadi asing satu dengan yang lain. Di superblock, rasa keterasingan yang sama juga tak mustahil. Ketika yang di luar ditakuti dan yang di dalam tak dikenali, manusia penghuni superblock  tidak hanya terancam kehilangan kepedulian kepada orang lain, tetapi juga kehilangan harkat diri sebagai manusia.

Manneke Budiman

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini