Perempuan Penjaga Keamanan Purworejo

2629
Pendidikan hukum: AKBP Theresia Arsida Septiana melantik anggota Patroli Keamanan Sekolah (PKS) di SMP N 2 Purworejo.
[NN/Dok. Polres Purworejo]

HIDUPKATOLIK.com – Ia tercatat sebagai perempuan pertama yang menjabat Kapolres Purworejo, Jawa Tengah. Meski sempat ditolak, ia terus merajut kerja sama dengan berbagai pihak.

Bapak Kapolres kok belum datang ya?” celetuk seorang pria yang duduk di samping Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Theresia Arsida Septiana. Kala itu, Arsida baru beberapa hari dilantik sebagai Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Purworejo, Jawa Tengah. Arsida memang tercatat sebagai Polisi Wanita (Polwan) pertama yang menduduki jabatan sebagai Kapolres Purworejo.

Mula-mula, Arsida diam saja. Namun, karena sang pria terus bertanya-tanya, Arsida pun membuka identitas barunya. “Lha ya saya ini Kapolres Purworejo!” ucap Arsida sembari tersenyum.

Arsida dilantik sebagai Kapolres Purworejo pada Kamis, 16 April 2015. Ia menggantikan AKBP Roma Hutajulu. Sebelum menjabat Kapolres Purworejo, Arsida berkarya sebagai Kepala Sub Bagian Administrasi Inspektorat Pengawasan Umum Markas Besar Polisi RI di Jakarta. Sebagai Kapolres Purworejo, Arsida menjadi komandan bagi sekitar 800 personel Polri.

Ditolak
Kehadiran Arsida sebagai pemimpin baru, mula-mula tak disukai. Sehari setelah ia dilantik sebagai Kapolres Purworejo, tersiar kabar ada pihak yang akan berdemo menolak keberadaan Arsida di Purworejo. Mereka menolak ke hadiran pemimpin perempuan dan beragama Katolik. “Saya menangis. Saya hanya diam mendengar penolakan itu!” kisah perempuan yang pernah menjadi umat Paroki St Stefanus Cilandak, Jakarta Selatan ini. Tapi untunglah, aksi penolakan tersebut urung digelar.

Padahal, setelah dilantik sebagai Kapolres Purworejo, Arsida bersama AKBP Roma Hutajulu mengunjungi sejumlah pemuka agama di Purworejo. “Di Purworejo ada 75 pondok pesantren. Menurut Kapolres yang lama, saya harus merangkul sembilan kiai besar di Purworejo ini. Puji Tuhan, mereka semua menerima dan mendukung saya,” ungkap anak pertama dari tujuh bersaudara ini.

Tantangan belum usai. Lagi-lagi, Arsida difitnah. Ia dikabarkan telah melecehkan para pemuka agama Islam karena mengundang mereka dalam acara Natal dan Paskah. “Padahal, ketika Natal dan Paskah, saya belum bertugas di Purworejo. Lha kok saya yang dituduh?”

Arsida melewati segala tuduhan itu dengan kepala dingin. Ia terus dan tetap menjalin komunikasi dan kerja sama dengan beragam pihak di Purworejo, seperti bupati, para pemuka agama, dan tokoh-tokoh masyarakat yang lain.

Suatu hari, Arsida datang ke sebuah acara yang dipimpin Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid Kedungsari, Purworejo K.H. Thoifur Mawardi. Acara ini dihadiri sekitar 15 ribu santri. Kala itu, Arsida sudah pasrah. Jika tak diijinkan masuk ke dalam masjid, ia akan tetap berjaga di luar masjid. Tak dinyana. Ia diijinkan masuk ke dalam masjid. Bahkan, ia diminta duduk di barisan paling depan. “Kata orang-orang di situ, seumur hidup, Kiai Thoifur Mawardi belum pernah menempatkan seorang perempuan di depan ketika ia berceramah,” cerita Arsida.

Pada hari lain, Arsida menghadiri acara Shalawat yang diadakan Barisan Anshor Serba Guna (Banser) Nahdlatul Ulama yang dihadiri lebih dari 25 ribu orang. Ia diminta naik ke panggung mendampingi Bupati Purworejo. “Melihat orang sebanyak itu, kaki saya gemetar. Nyali saya ciut. Tak henti-henti, saya berdoa Bapa Kami dalam hati. Saya mohon kekuatan agar mampu berbaur dengan banyak orang dan mereka bisa menerima saya,” kisah Arsida.

Panggilan
Cita-cita Arsida menjadi penegak hukum bermula saat ia duduk di sekolah menengah pertama. Suatu hari, ia melihat seorang Polwan berjibaku melerai sebuah perkelahian antarpemuda di kawasan terminal Surabaya, Jawa Timur. Sang Polwan berhasil menyudahi pertikaian itu. Dari pengalaman itu, tumbuh benih cita-cita dalam benak Arsida untuk mengabdikan diri sebagai penegak hukum di negeri ini.

Setelah lulus dari proses pendidikan polisi, Arsida berkecimpung dalam dunia pendidikan Polri. Untuk menjadi seorang Kapolres, Arsida mesti meniti berbagai tahapan seleksi yang ketat. “Saya dari bintara. Suatu hal yang tidak mungkin untuk mencapai jabatan Kapolres. Biasanya yang menjabat Kapolres itu alumni Akademi Polisi. Kalau bukan karena izin dari Tuhan, pasti tidak mungkin,” tutur mantan atlet judo ini.

Sebagai Kapolres, ia mesti memantau situasi keamanan di Purworejo. Ia kerap berpatroli hingga larut malam. Ia juga rutin mengunjungi anggota Polri yang sedang berjaga. “Jika ada kasus, saya langsung cek ke tempat kejadian perkara. Saya tidak mau tawar-menawar dengan kasus. Kalau sudah ditangkap, harus langsung diproses!” tegasnya.

Saban hari, setiap pukul 05.00, ia terjaga. Arsida lalu bergegas ke kantor untuk mengadakan apel pagi. Sebelum beranjak dari rumah, Arsida selalu berdoa, “Tuhan jadikan saya Kapolres yang bijaksana. Terserah apa yang akan terjadi, akan saya hadapi. Saya yakin kepada penyelenggaraan-Mu.” Setiap hari, Arsida melayani banyak tamu, memimpin rapat, mengurusi beragam administrasi kepolisian, berpatroli, sampai mengecek tahanan di sel.

Menjadi tidak mudah bagi Arsida, lantaran ia tinggal sendiri di Purworejo. Suaminya telah meninggal dunia tiga tahun silam. Sementara putri tunggalnya Angela Windari Melanie Sapulette, tinggal di Jakarta. Meski demikian, Arsida menjalankan tugas dengan penuh suka cita dan tanggung jawab. “Menjadi Kapolres itu panggilan agar bisa membaur bersama masyarakat, terutama yang paling terpinggirkan dan terhimpit oleh sistem.”

Belum genap satu tahun bertugas di Purworejo, sepak terjang Arsida banyak mendapat apresiasi. Beberapa jurnalis yang bertugas di Polres Purworejo sering berujar, “Casing sih ibu-ibu, tapi ternyata jagoan!” Sembari tersenyum Arsida menjawab, “Lha saya ini perempuan beneran lho.Saya pernah melahirkan anak!”

Fr B. Yogie Wandono SCJ

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini