Transformasi Formator Seminari Tinggi

604
Para rektor dan staf seminari Tinggi se-Indonesia.
[Diakon Engga Fernatyanan]

HIDUPKATOLIK.com – Kehadiran para formator di Seminari Tinggi diharapkan memberi transformasi iman untuk calon imam lewat keteladanan hidup.

TANTANGAN terbesar bagi seorang imam di zaman ini adalah kemampuan imam untuk berdialog dengan umat. Kemampuan berdialog bagi seorang imam dituntut dalam rangka pastoral kegembalaan bagi umat. Apalagi jika seorang imam yang berkarya di kota-kota besar, tentu “tuntutan” kemampuan berdialog menjadi lebih tinggi, kompleks karena persoalannya variatif. Pernyataan ini disampaikan Ketua Komisi Seminari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Mgr Ludovicus Simanullang OFMCap dalam pembukaan lokakarya para rektor Seminari Tinggi se Indonesia di ruang rapat Rumah Keuskupan Amboina, Senin-Kamis, 17-20/7.

Mgr Simanullang mengatakan, saat ini dunia menawarkan kehidupan yang metropolis. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para formator Seminari Tinggi. Terkadang dengan fasilitas yang bersifat hiburan dari internet, sungguh menggoda sebagai “pelarian” para calon imam dan imam dari kejenuhan panggilan. “Disadari bahwa para calon imam dan imam saat ini bisa saja terpeleset dan terlena dalam kondisi yang nyaman, manja, mapan, merasa tidak cukup, bahkan sampai mencari kesenangan-kesenangan lain. Ini bertolak belakang dengan tujuan pembinaan calon imam,” ujar Uskup Sibolga ini.

Spirit Transformasi
Lokakarya ini mengambil tema, “Spritualitas Imam Diosesan”. Tema ini berangkat dari kesadaran akan lunturnya semangat melayani sebagai imam diosesan. Beberapa refleksi dari tema ini dikemukakan dengan berpatokan pada seruan Paus Yohanes Paulus II dalam “Pastores Dabo Vobis”, ‘gembala-gembala akan Kuangkat bagimu’, lebih-lebih soal bentuk ideal seorang formator Seminari Tinggi. Para formator menempati posisi kunci yang menentukan semangat dan efektivitas karya pembinaan calon imam. Para formator perlu memiliki kualitas intelektual yang baik, pengalaman pastoral cukup, dan pembinaan khas di bidang rohani.

Romo Toto Wahyu Puji Listyanto dari Seminari Tinggi St Petrus Pematang Siantar mengatakan, dalam pembinaan seorang formator memiliki kecapakan intelektual dan spiritual. Romo Toto menambahkan, satu faktor utama adalah unsur transformasi dalam pembinaan. “Kita harus mencari dan menemukan serta membuka diri bagi Allah agar para frater mengalami transformasi.”

Sedangkan Romo Nikasius Jatmiko Rektor Seminari Tinggi St Petrus dan Paulus Keuskupan Bogor mengatakan, prinsip dasar dalam pembinaan adalah keteladanan. Seorang formator harus memberi teladan yang baik kepada calon imam. Teladan itu dialami dalam perjumpaan dengan Tuhan, sesama dan kesadaran sebagai wakil Kristus. “Maka pertemuan kali ini adalah cara seorang formator memperdalam prinsip keteladanan dengan belajar dari teman imam yang lain.”

Sementara itu, Romo Simon Petrus Lili Tjahjadi, Ketua STF Driyarkara Jakarta, merefleksikan bahwa tema ini sangat fundamental. Karena saling menguatkan bidang kerasulan para rektor yang bertugas di Seminari Tinggi. Selain itu, ada perspektif baru para imam dalam membina para calon imam. “Semoga forum ini rutin membahas kehidupan para calon imam sekaligus cermin bagi para formator,” harap Romo Lili.

Diakon Engga Fernatyanan (Ambon)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini