GEREJA DAN PERILAKU ONLINE: KITA PERLU MENGUBAH PARADIGMA

614
Romo Ignatius Swasono SJ

HIDUPKATOLIK.COM – ROMO Ignatius Swasono, SJ, biasa dipanggil Romo Swa, memberikan tanggapan terhadap kolom Gereja dan Perilaku Online yang dilansir hidupkatolik.com Rabu, 7/10/2020. Romo Swa sudah empat tahun berkarya di Wisma Mahasiswa SJ di Depok. Bergaul erat dengan mahasiswa dari banyak perguruan tinggi di Jabodetabek, khususnya dari Universitas Indonesia (UI) dan sekitaran Depok, mengajar di UI dan terlibat di dalam diskusi-diskusi politik, kepemudaan atau perkembangan Gereja pada umumnya. Sebelumnya Romo Swa berkarya sebagai kepala paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Tangerang, Banten. Hati-hati kalau berkunjung ke Wisma Mahasiswa SJ, tempat Romo berpastoral dan tinggal, karena banyak sekali anjing dan sebagian galak. Bisa dimaklumi, mengapa ia perlu ditemani banyak anjing karena kalau para aktivis mahasiswa sudah bubar, wisma itu sepi nyenyet. Namun baik juga berkunjung di saat sepi nyenyet itu, sebab ‘botol-botol spesial akan keluar. Berikut petikan wawancara RUY Pamadiken yang menemui Romo Swa di Depok, Jawa Barat, 9/10/2020:

Bagaimana pendapat romo atas artikel tersebut?

Ya itu menggambarkan keadaan yang nyata sekarang ini. Gereja perlu melihatnya, merefleksikannya sebagai sebuah tantangan dalam strategi pastoralnya.

Pendapat Romo atas digitalisasi dan sikap Gereja?

Menurut saya kita semua termasuk hierarki perlu mengubah paradigma atau cara pandang. Dunia secara nyata sudah berubah oleh banyak kemajuan teknologi komunikasi, dan kita, Gereja, berada di dalam arus perubahan itu. Tidak bisa kita berdiam dalam cara berpikir lama yang kurang responsif terhadap perubahan, atau lebih dari itu, terhadap disrupsi.

Kongkritnya atau tindakannya apa?

Kalau paradigma kita menerima bahwa teknologi komunikasi menjadi wahana atau sarana kita berkatekese dan berpastoral, maka kita harus menyiapkan konten yang baik, yang modulnya sesuai dengan aplikasinya. Dalam era disrupsi ini kita perlu melihat atau mencari kesempatan serta peluang untuk berkatekese dan berpastoral ria.

Jadi kalau kita sudah mengatur Misa online, itu bagus dan harus dilanjutkan, namun kebutuhan umat lebih dari itu, masih banyak. Mengapa paroki tidak membuat pastoral daring untuk keluarga? Kan kebutuhan keluarga untuk didampingi banyak sekali, dari hal ekonomi, pendidikan anak, perkembangan dan penghayatan iman, pengetahuan agama, sekolah online, persiapan perkawinan untuk anak remaja dan lain-lain. Bisa membuat kelompok daring, dari mulai kecil, secara tematik dan pelan-pelan akan menjadi embrio model pastoral dan katekese. Kegiatan yang tadinya pertemuan fisik berubah menjadi pertemuan virtual. Dan cara ini bisa menjangkau lebih banyak umat.

Sounds good, tapi apakah para romo dan aktivis paroki cukup menguasai penggunaan aplikasi dan gadget?

Nah ini. Saya sendiri dari generasi babby boomers. Hal teknis bisa dipelajari-lah namun kreativitas yang diperlukan saat ini. Para romo dan para aktivis Gereja harus menjadi pemain media yang aktif. Saya membeli alat-alat media cukup mahal untuk kegiatan mahasiswa di Wisma Mahasiswa SJ di Depok. Karena saya melihat bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lain di zaman sekarang ini kecuali mereka menjadi  ahli di bidang media sosial.

Menjadi praktisi yang pragmatis?

Ya enggaklah. Spiritnya tetap contemplativus in actione. Semua kegiatan itu harus muncul dari refleksi iman dan kemudian mencari sarana yang tepat yang sesuai dengan tuntutan jzaman. Kalau saat ini adalah tuntutan digitalisasi dan online, ya kita harus memanfaatkannya.

Saya menjadi teringat akan sebuah buku yang saya baca, berjudul “Heroic Leadership”, tulisan Chris Lowney, mantan Jesuit yang kemudian puluhan tahun menjadi eksekutif di JP Morgan. Alasan dia menulis buku setebal kurang lebih 400 halaman itu hanya timbul dari satu pertanyaan: Bagaimana sebuah organisasi seperti Serikat Jesus bisa bertahan berabad-abad, menembus dan mengatasi seluruh tantangan zaman, namun tidak mati tapi terus berkembang sampai hari ini? Salah satu jawabannya adalah – barangkali – seperti apa yang diungkapkan oleh Romo Swa di atas, yakni menghadapi dan memenuhi tantangan dan tuntutan zaman. Saya kemudian melanjutkan wawancara.

Butuh keberanian, Romo?

Ya, pasti. Perlu keberanian untuk itu. Tidak saja keberanian untuk mengambil sikap dan memutuskan namun juga mengatasi risikonya. Hal itu lebih baik daripada terus diam di dalam zona nyaman konvensional kita, sambil berharap wabah atau pandemi Covid-19 berakhir. Para pastor, menurut saya, akan lebih banyak mempunyai waktu untuk berkreasi di dalam katekese dan pastoral model baru ini. Sekali lagi tidak hanya Misa melalui online yang dilayani. Harus berkembang biak ke ranah-ranah lainnya.

Saya kemudian teringat akan Temu Pastoral KAJ di daerah Bogor tahun 2016, di mana sekitar 250an pastor yang berkarya di KAJ berkumpul untuk membuat diskresi bersama dan membaca tanda-tanda zaman. Pada saat itu disepakati bahwa era kemajuan teknologi komunikasi yang menyebabkan disrupsi akan menjadi tantangan Gereja ke depan. Sudah sempat disetujui untuk membuat semacam studi untuk mengantisipasi gejala tersebut.

Bukankah pernah didiskusikan dalam Temu Pastoral KAJ tahun 2016?

Ya, memang.

Kelanjutannya?

Ya itu kan proses. Pertama-tama adalah proses kesadaran, di mana masing-masing orang berbeda. Cepat atau lambatnya bereaksi tergantung dari situ (terkesan untuk tidak memberi pernilaian).

Kalau Wisma Mahasiswa sendiri?

Ya kami bersikap terbuka. Siap melayani sejauh dimungkinkan. De facto saya juga kadang-kadang melayani kebutuhan sakramental umat dari paroki-paroki. Kalau untuk mahasiswa saya menyiapkan mereka untuk menghadapi era digitalisasi. Sekali lagi mereka harus menjadi pemain media.

Apa harapan atau himbauan, Romo?

Ya, Gereja perlu mempersiapkan mental untuk berubah karena Gereja harus berubah. Perubahan ini telah dipercepat oleh wabah Covid-19, namun ke depannya juga akan lebih cepat. Romo Haryatmoko, SJ telah menulis dengan sangat baik yakni bagaimana disrupsi ini kita pandang secara positif, untuk mendapatkan peluang dan kesempatan di dalamnya. Disrupsi tidak selamanya negatif. Justru positif karena memberi ruang bagi kita untuk berkreasi seluas mungkin. Dunia maya dunia tak terbatas.

RUY Pamadiken, Kontributor (Tangerang)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini