HIDUPKATOLIK.com – Saya berbahagia atas Pidato Presiden Joko Widodo di Sentul, Jawa Barat. Ia membantu warganya bermimpi. Sebagai imam yang berkarya di bidang hubungan agama dan kepercayaan, saya terbantu oleh mimpi itu. Jokowi mengatakan, “Pancasila adalah rumah kita bersama, rumah bersama kita sebagai saudara sebangsa, setanah air!
Tidak ada toleransi sedikit pun bagi yang mengganggu Pancasila!” Ungkapan lugas ini mengungkapkan mimpi Indonesia sebagai milik bersama. Di tengah arus masyarakat yang semakin rentan terhadap konflik, Jokowi kembali mengungkapkan pentingnya menyelamatkan persatuan. Ia mengingatkan, bahwa Pancasila sudah menjaga kita, sekarang saatnya bersama-sama menjaga Pancasila.
Sayangnya kita tidak sedang ada dalam situasi yang mudah akibat arus radikalisme dan konflik antar masyarakat. Apa yang terjadi dengan berbagai peristiwa pengeboman di berbagai tempat di negara kita, mulai dari peristiwa bom Natal di tahun 2000 yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia terus berlanjut dengan berbagai peristiwa terorisme. Belum lagi pemisahan yang terjadi akibat kontestasi politik, yang membawa nama suku atau agama membuat situasi makin runyam. Ada pula serangan hoak yang membuat situasi tidak nyaman.
Di dalam konteks ini, hidup bersama tidak lagi menjadi sumber kebaikan. Orang sampai harus mengorganisir acara lintas agama, pemimpin agama berfoto di depan panggung, menampilkan suster dan seorang berjilbab berfoto. Rasa-rasanya ini bukan suatu kemajuan. Semua itu menunjukkan, bahwa relasi kita mulai renggang, sehingga banyak hal harus diformalkan. Sedih kalau melihat relasi antar-agama, harus dibawa ke meja-meja seminar dan negara harus berjuang keras menjaga kerukunan antar umat beragama. Kalau tidak ada masalah, tidak perlulah semua itu diperbincangkan.
Kembali Menghangatkan
Saat belajar Kitab Suci, saya jatuh cinta kepada imaginasi Kerajaan Allah yang digambarkan oleh Yesus. Ia mengutip tulisan dari Kitab Nabi Yesaya, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4: 18-19).
Yesus dan para pengikutnya adalah orang-orang yang memiliki Roh Tuhan karena pengurapan. Tugasnya adalah untuk menghangatkan mereka yang hidupnya sudah ‘dingin’ (kesepian, ada dalam penjara, miskin, buta, tertindas). Saya membayangkan bahwa usaha-usaha dialog adalah sarana untuk tetap merawat situasi masyarakat yang relasinya mulai dingin. Namun, perjuangan menghangatkan relasi antar masyarakat tidak boleh berhenti pada tataran formal. Di dalam hidup bersama, orang Katolik perlu terus berusaha menghangatkan kebersamaan, sebagai panggilan dasarnya. Sabda Yesus, “Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu” (Mat 5: 15).
Namun, di tengah masyarakat yang tidak ideal, kita menemukan umat yang merasa diri sebagai minoritas, bahkan sebagai korban yang terjajah. Padahal, jelas-jelas kita sesama anak bangsa, kehadiran kita diakui, suara kita dihitung sama dengan yang lain, ibadah kita dijaga oleh polisi, gereja kita berdiri di mana-mana. Saya takut, perasaan diri sebagai minoritas dan kelompok yang tertindas memunculkan keyakinan, bahwa kita tidak bisa menjaga Pancasila.
Dalam hal ini, Paus Fransiskus berpesan, “Setiap dialog harus dimulai dari identitas kita. Saya tidak bisa melakukan dialog, tanpa identitas saya sebagai orang Katolik.” Kalau bukan kehangatan dan terang yang kita tawarkan, kita mengingkari identitas kekatolikan kita. Yesus bersabda, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Mat 5: 16). Negara kita membutuhkan kehangatan, dan semoga orang Katolik bisa menjadi sumbernya.
Presiden Joko Widodo sudah mengajari kita bermimpi untuk perdamaian Indonesia. Mimpinya tak jauh beda dengan mimpi Yesus tentang orang-orang yang mau menghangatkan kehidupan bersama. Hanya saja, mimpi akan sekadar jadi mimpi tanpa
keinginan bergerak. Lebih parah lagi kalau ada orang yang tak mau lagi bermimpi.
Martinus Joko Lelono
HIDUP NO.38 2019, 22 September 2019