Ada Tangis di Pasungan

568

Begitulah, tangis itu tetap lantang, tak hanya sehari namun berminggu sehingga menjadi biasa bagi semua penduduk kampung. Mereka terus beraktivitas dengan biasa. Hingga suara terakhir kali bergema sejak tiga hari lalu, barulah mereka menyadari.

Gubuk pasungan yang sangat kecil itu menjadi seperti tak berpenghuni. Nasi dan air yang disediakan di bibir celah kecil sudah tiga hari tak dijamah dan membusuk. Penduduk mulai panik, takut, dan penasaran. Bagaimanapun nurani mereka masih sedikit berfungsi dari kebutaan batin dan jiwa kemanusiaan. 

Pada hari yang disepakati, mereka berbondong-bondong pergi ke gubuk pasungan, layaknya ingin menghadiri suatu pertunjukan akbar. Anak-anak tak ketinggalan membuntuti dengan penasaran bercampur takut. Dinding mulai diketuk-ketuk, tapi tak ada reaksi. Diputuskan untuk didobrak. Brukkk…

Para warga mulai berdegup, menanti apa cerita yang tersaji di balik gubuk pasungan ini. Begitu pintu mendabik ke tanah, para warga melihat seonggok pasungan yang rantainya sudah terlepas dengan rapi. Mak Imang lepas.

Tapi tiada tanda-tanda Mak Imang melarikan diri, atau dicuri orang. Hanya saja, di sudut
gubuk, mereka temukan Mak Imang terduduk meringkuk memeluk erat kedua kakinya. Kaku. Namun, air matanya serasa masih hidup, terus mengembun di sekitar bola mata kerdilnya.

Sungguh situasi yang mengundang haru paling dalam. Semua penduduk tak tahan melihat cara kematian seorang ibu. Satu persatu mereka pergi dengan perasaan teraduk haru dan tangis. Mungkin tangis penduduk itulah yang diharapkan Mak Imang. Ia ingin ditangisi pada saat kematiannya, bukan seperti suami dan anaknya, yang mati tanpa ditangisi. 

Bikap Alverna, Oktober 2018
Untuk seorang ibu yang disekap semasa kecilku.

Suhendro Afandi Purba

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini