Sepedaku, Panggilanku

521

Kutuntun sepedaku kembali ke biara dengan langkah yang layu. Aku harus mengakhiri semuanya ini. Kebahagiaan tak selamanya kudapatkan pada jalan ini, toh di luar sana semua orang menempuh pendidikan tanpa bersusah payah seperti diriku sekarang.

Siang ini terasa menyengat. Tenggorokanku terasa kering, namun biarlah, toh tak ada uang untuk membeli minuman. Hiruk pikuk kendaraan lalu lalang tak putus-putusnya meninggalkan debu yang beterbangan kian kemari. Kupercepat langkah mencari tempat berteduh. Aku memarkirkan sepeda tepat di bawah sebatang pohon, sambil menarik nafas dan mengibaskan bajuku yang basah oleh keringat.

“Aku harus mengambil keputusan.Yah, sebuah keputusan keluar dari biara menikmati hidup di luar,” gumamku.
“Selamat siang Nak”.
Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh dan tampak seorang bapak duduk tak jauh dari tempatku.
“Selamat siang juga, Pak,” jawabku.
“Sepedamu rusak ya Nak? tanya bapak itu.

“Iya pak, rantainya terlepas sehingga terpaksa aku harus mendorongnya,” jawabku.
Bapak itu mengangguk-angguk sambil matanya menerawang jauh ke depan.
“Seandainya anakku mempunyai semangat seperti kamu, pastinya saya akan sangat bangga dan bahagia karena pengorbanan, kerja kerasku sebagai seorang ayah terbayar,” gumamnya lirih.

“Maksud bapak?” tanyaku.
“Iya, kamu hebat, Nak. Kamu tidak menyia-nyiakan kesempatan menempuh pendidikanmu walau hanya bersepeda. Tidak seperti anak-anakku yang menyalah-gunakan kesempatan yang kuberikan kepada mereka. Semua permintaan mereka selalu kupenuhi, namun pada akhirnya mereka terlena dan berhenti melanjutkan kuliah. Semua fasilitas yang kubelikan justru menina-bobokan mereka sehingga mereka menjadi lupa akan kerja keras serta keringatku untuk memanusiakan mereka.”

Aku tersentak mendengar kalimat-kalimat itu. Semua kemarahan, kekusutan serta rencana yang kubangun luruh seketika. Aku sadar. Aku telah sadar. Sepeda tuaku. Yah, sepeda tuaku itu, teman seperjalananku.

Ilustrasi: Sepeda dan Pater Jan Weitjen,SJ di Museum Katedral, Jakarta. [HIDUP/Antonius Bilandoro]
Sepeda itu setia menghantarku dari aku yang kosong ke tempat menimba ilmu, dan membawaku pulang dengan diriku yang telah terisi. Sepeda itu tak pernah mengeluh sepertiku, ketika ‘ku gunakan dengan kasar. Tak juga marah ketika ditendang. Tak pernah mengeluh diguyur hujan dan dibakar terik matahari.  Yah, sepeda itu telah merawat panggilanku.

Akhirnya aku sadar bahwa tantangan ini merupakan bumbu panggilanku. Jika tak ada tantangan, keindahan hidup tak dapat kunikmati. Mengikuti Yesus berarti siap memikul Salib. Selama ini aku terlalu banyak mengeluh.

Kupalingkan wajahku ke arah bapak itu,namun bapak itu telah pergi entah ke mana. Mungkin ia pergi karena tak mendapat respon dariku atau karena aku terlalu lama termenung.

Akhirnya aku bergegas kembali ke Biara dengan semangat yang baru. Terimakasih Tuhan atas pengalaman yang berharga ini. Terimakasih sepedaku.

 

Anno Rebon

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini