Udara pagi ini terasa sangat pekat. Raungan kendaraan terdengar bising. Hilir mudik manusia berbagai macam rupa dan bentuk menghiasi jalanan. Pekerjaan, pendidikan, dan kesibukan lainnya membuat orang berlomba mengambil bagian di dalamnya.
Yah, ini zaman modern. Makanan tidak begitu saja duduk manis di atas meja kalau manusia tak berkeringat. Inilah kehidupan. Tak bekerja, berarti tak makan.
“Hidup ini keras nak! Sekarang kamu mempunyai kesempatan untuk menimba ilmu, maka teruslah menempuh pendidikanmu apapun tantangannya. Kamu telah memutuskan untuk menjawab panggilan Tuhan, maka jangan sia-siakan rahmat panggilan itu. Kami akan selalu mendukungmu dalam doa,” pesan-pesan orangtuaku ketika aku memutuskan untuk hidup membiara kembali terngiang di telingaku.
Waktu terasa begitu cepat. Setahun lalu aku mengucapkan kaul perdanaku dan kini aku telah menjadi mahasiswa di sekolah tinggi ilmu filsafat tempatku menempuh pendidikan menjadi seorang Imam.
Ku kayuh sepedaku menyisiri jalan yang telah padat, walau jam baru menunjukan pukul 07.30.
Tak terasa aku telah separuh perjalanan. Entah lamunan atau pikiran yang menutupi kesadaranku tadi, namun aku bersyukur karena aku tak lagi memikirkan sepedaku.
Rasa kesal sepertinya perlahan menghilang. Sekali lagi ku kayuh sepedaku, namun baru beberapa kayuh, sepedaku terasa berat dan terdengar bunyi besi patah terseret di aspal. Rantai sepedaku lepas. Ah sial! Kesalku kembali memuncak.
Kubanting sepeda sambil mengumpat. Mengapa kau terus menyiksaku?
Kamu harus bersyukur, karena masih ‘ku gunakan walau sebenarnya tak lagi layak! Umpatan dan makian terus kusesarkan pada sepeda itu, meski kutahu bahwa itu tak menjawab kekesalanku.
Kupinggirkan sepedaku sembari berharap kalau-kalau ada teman yang lewat, tetapi bukankah aku yang paling terakhir keluar dari biara tadi? Ah, lagi-lagi sial! dengan rasa kesal kudorong sepedaku.
“Kalau sejak awal aku tahu bahwa selalu mendapat tantangan seperti ini, aku tak akan menjawab panggilan-Mu,Tuhan. Memang menurut-Mu tantangan ini tak berarti, tapi bagiku ini masalah terbesar. Engkau memanggilku dan aku dengan tulus menjawab panggilan-Mu, tapi mengapa selalu saja ada tantangan? Tidakah Engkau bahagia karena Engkau telah menanggalkan kebebasanku hanya untuk-Mu?
Mengapa kau tabur duri di jalan yang ‘ku lalui. Bukankah Engkau tahu bahwa langkahku ini adalah mengikuti-Mu?” Kekecewaanku sekarang telah beralih kepada Tuhan. Aku lelah!
Perjalanan yang menguras tenaga berakhir kala memasuki gerbang kampus. Rupanya aku telah jauh terlambat. Rasa sesalku makin menjadi ketika dosen memarahiku. Akhirnya aku diperbolehkan kuliah asal aku tak terlambat lagi. Kuikuti kuliah dengan hati dan pikiran yang kecut. Pelajaran tentang kebaikan dan cinta kasih yang dibahas oleh dosen tak mampu meredam kekesalan hatiku.
Akhirnya pelajaran berakhir tanpa makna bagi diriku. Hatiku tak mempan disiram pembahasan karena aku terlalu fokus dengan kejadian pagi tadi. Sapaan dan keingintahuan teman-teman mengenai keterlambatanku, kujawab seadanya tanpa penjelasan lebih lanjut.
Seandainya mereka mengetahui kejadian pagi tadi, mungkin mereka tak perlu banyak bertanya.
***