Seumpama Arah Sang Surya

619
Sisa bangunan bekas Hotel Van Duyne di Marengan Sumenep.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Bagai arah matahari, perkembangan Gereja Katolik di Madura bermula dari sebelah timur ke barat. Di tengah mayoritas orang Madura, benih Gereja tetap tumbuh.

Berjalan-jalan di sekitar Marengan, Sumenep, Jawa Timur, boleh jadi orang tidak akan lagi menemukan Hotel Van Duyne. Tempat penginapan terkenal pada zaman Belanda itu, kini telah menjadi kompleks sekolah. Hotel yang dimiliki
Dirk van Duyne ini, pada zamannya menjadi gambaran majunya industri garam di Pulau Madura.

Siapa sangka, Hotel Van Duyne ternyata menandai salah satu titik perkembangan umat Katolik di Madura, khususnya di
Sumenep. Di tempat ini, tercatat diadakan Misa pada sekitar bulan April 1934. Namun, itu bukanlah yang pertama, Misa di tempat itu, sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Belum punya gereja yang permanen, umat Katolik di Sumenep, sempat juga merayakan Misa di kediaman Asisten Residen Busselaar yang beserta istri dan anaknya akhirnya
juga menjadi Katolik.

Pada sekitar tahun 1930-an ini, beberapa orang Tionghoa yang telah menjadi Katolik. Orang Tionghoa inilah, bersama
orang Belanda yang bekerja di perusahaan garam, menjadi umat-umat Katolik awal yang tinggal di Sumenep.

Hingga akhirnya, pada 15 Oktober 1937, Vikaris Apostolik Malang Mgr Antonius Everardo Johannes Albers OCarm memberkati gereja dan pastoran di Sumenep. Mgr Albers juga mengumumkan peresmian paroki baru dan menugaskan Romo
Richard Vissers OCarm sebagai Romo Kepala Paroki St Maria dari Gunung Karmel yang pertama.

Gereja Lahir
Pada masa-masa awal ini, tidak banyak umat Katolik di Sumenep. Perayaan Natal tahun 1937, hanya 12 umat yang menghadiri Misa. Jumlah ini meningkat secara signifikan setahun kemudian. Ketika itu, tahun 1938, umat Katolik yang tinggal di Sumenep tercatat sebanyak 200-an orang.

Romo Vissers tidak sendiri ketika mulai paroki baru itu, ia bekerja bersama lima Suster dari Tarekat Darah Mulia
(Liefdezusters Van Het Kostbaar Bloed/ADM). Rencana awal, kelima suster ini sebenarnya akan bekerja untuk karya pendidikan di Pamekasan. Namun, dengan beragam pertimbangan, mereka akhirnya memilih Sumenep sebagai ladang karya.

Awalnya, Suster-suster Darah Mulia ini tinggal di daerah Moncol, Sumenep, komunitas suster akhirnya dipindahkan ke
Pabean di rumah yang lebih besar. Di tempat ini, Suster darah Mulia merintis Sekolah Katolik. Setelah pembangunan sekolah selesai pada 2 Februari 1942, sekolah ini terpaksa ditutup setelah Jepang mulai masuk ke Nusantara dan juga ke Madura. Suster-suster dan Romo N. Kroode OCarm, yang ketika itu sudah bertugas di Sumenep menggantikan Romo Vissers, akhirnya mengungsi ke Jawa.

Pada masa ini sampai setelah kemerdekaan, praktis menjadi masa suram bagi perkembangan kekatolikan di Sumenep. Selama itu juga, aset-aset Gereja Katolik, baik itu pastoran dan sekolah menjadi tak terurus. Kedaan ini mulai berubah sejak tahun 1949 ketika gereja darurat mulai dibangun. Sekolah pun dapat difungsikan sebagaimana mestinya pada Juli 1950.

Dari Sumenep
Sejak mulai karya di Sumenep, Romo Vissers tidak hanya bertugas untuk wilayah sebelah timur Madura. Ladang kerasulannya membentang dari Sumenep sampai di Bangkalan. Dua kali sebulan, Romo Vissers mengunjungi Pamekasan. Ia dibantu para Suster Darah Mulia setiap kali mengunjungiPamekasan.

Namun, pelayanan di Pamekasan sebenarnya sudah berjalan jauh sebelumnya. Tahun 1930, saat Romo W. Ards OCarm menjadi Pastor Pembantu di Probolinggo, ia sudah rutin mengunjungi Pamekasan dan memberikan pelayanan sakramen untuk umat Katolik, yang kebanyakan berkebangsaan Belanda. Romo Ards sering kali dibantu beberapa awam dalam menjalankan tugasnya. Pada pertengahan 1930-an sampai 1941, Pamekasan dilayani layaknya stasi dari Paroki Sumenep.

Semua berjalan lancar sampai pada ketika Jepang masuk Madura, umat Katolik yang sebagian adalah warga Belanda, menjadi terancam oleh tentara Dai Nippon yang mulai menguasai Madura. Alhasil, semua pelayan pastoral baik Romo maupun suster,yang berkebangsaan Belanda, akhirnya terusir dari Madura dan harus mengungsi ke Jawa.

Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, Gereja Katolik di Pamekasan perlahan menemukan kembali ritme yang lebih lancar.
Kunjungan pelayan pastoral dari Sumenep kembali terjadi.

Puncak dari perjuangan umat akhirnya terbayar, pada 8 Mei 1984, Pamekasan diresmikan menjadi paroki. Mgr Albers merestui dibentuknya paroki baru di wilayah tengah Pulau Madura ini. Sejak itu, Romo Q. Kramer OCarm mulai menetap di Pamekasan dan melayani di sana. Pada hari yang sama, gereja stasi yang awalnya dengan pelindung St Herman Yoseph, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi gereja paroki dengan nama pelindung, St Maria Ratu Para Rasul.

Di Pamekasan sendiri, jejak kekatolikan sudah dimulai saat didirikannya Hollandsch-Chineesche School (HCS) Katolik
pada 1 Juli 1933. Ini adalah Sekolah Dasar Katolik yang dirintis Romo Ards OCarm. Romo Ards mengusahakan agar Carmelsyichting, yayasan milik Ordo Karmel, membuka karya pendidikan di Pamekasan.

Sekolah ini sejak itu mulai mendidik anak-anak keturunan Tionghoa yang ada di Pamekasan. Pendidikan berjalan dengan
lancar sampai Jepang masuk Madura pada awal 1942. Praktis setelah itu, pelayanan pastoral dan karya pendidikan Katolik di Pamekasan tidak berjalan. Keadaan ini baru kembali normal pada tahun 1950.

Sebuah Keluarga
Ketika Gereja akhirnya menancapkan fondasi yang cukup kuat di Pamekasan, di saat yang sama, umat Katolik di Bangkalan pun mulai tersemai. Yusuf Budiharjo mulai menetap di kompleks Kapitan Bangkalan pada 1949. Meski bukan penganut Karolik, namun istri Yusuf yang bernama Suryani dan ketiga anaknya adalah penganut Katolik yang taat. Saat itu, Yusuf hanya bersimpati saja pada iman, yang ketika itu sudah menjadi bagian dari kehidupan keluarganya.

Saat Romo Kramer mendengar bahwa di Bangkalan ada umat Katolik, seketika Romo Paroki Pamekasan itu berinisiatif mengunjungi keluarga Yusuf. Setelah mengetahui dengan pasti bahwa ada keluarga Katolik di Bangkalan, seminggu kemudian Romo Kramer mengunjungi lagi keluarga Yusuf dan merayakan Misa. Sejak itu, Romo Kramer datang rutin sebulan sekali untuk merayakan Misa di rumah keluarga Yusuf, mengingat saat itu belum ada gereja Katolik di Bangkalan.

Ketika tahun 1951 Mgr Albers mengunjungi keluarga Yusuf, ia lalu memutuskan untuk mengadakan Misa setiap Minggu di Bangkalan. Seiring waktu, jumlah umat yang datang pun semakin banyak. Umat datang dari Sepulu, Banyuates, dan Batuporon di wilayah Sumenep. Puncaknya, umat lalu berpikir untuk merencanakan membangun gereja. Pada tahun 1952, umat mulai mengumpulkan dana untuk mesujudkan impian ini.

Saat dirasa umat Katolik cukup mandiri, Mgr Albers akhirnya meresmikan Bangkalan menjadi paroki pada tanggal 29 Juli 1956. Setelah diresmikan, paroki ini mengambil nama pelindung Maria dari Fatima. Ketika itu, pusat peribadatan dan paroki menggunakan sebuah gedung di jalan Sak-sak yang kini menjadi Jalan Letnan Mestu, Sumenep. Hingga sekarang, di sinilah pusat kehidupan umat Katolik di Bangkalan.

Kini 80 tahun telah berlalu, waktu yang beranjak dari bagian Timur berjalan sambil melahirkan satu per satu paroki di Pulau Madura. Dimulai dari Sumenep, benih Gereja akhirnya juga tumbuh di Pamekasan dan Bangkalan. Laksana mentari, tumbuh kembang Gereja berawal dari timur dan berjalan ke barat.

Antonius E. Sugiyanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini