Beriman Bersama Samadikun

209
Andreas Slamet di rumahnya di Bangkalan, Madura.
[HIDUP/Antonius E. Sugiyanto]

HIDUPKATOLIK.com – Ditinggal sang ayah sejak masih belia, jalan hidup membawanya menjadi anak panti di Surabaya. Dari panti, kehidupan membawanya menjadi prajurit di tengah samudera.

Sudah tak terhitung banyaknya ombak di Samudera Pasifik telah mengguncang USS Claud Jones (DE 1033) yang bertolak dari Hawaii, Amerika Serikat (AS) tahun 1973. Di perairan, kapal buatan tahun 1959 itu hanya seumpama titik di tengah samudera luas. Tak hanya ombak, hujan dan badai sesekali harus diterjang oleh kapal berjenis destroyer itu, untuk sampai di rumah barunya di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Dari 135 personel di kapal itu, salah satunya adalah Yohanes Slamet. Sebelumnya, dengan sebuah pesawat dari maskapai penerbangan Amerika, Slamet bersama 134 Prajurit Angkatan Laut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) bertolak ke Hawaii. Tujuan mereka satu, membawa pulang USS Claud Jones (DE 1033) yang telah disumbangkan Amerika untuk Indonesia.

Di Hawaii, Slamet bersama prajurit lain, belajar untuk mengoperasikan kapal yang pernah berlaga selama Perang Vietnam (1955-1975) itu. Karena badannya yang tinggi semampai, Slamet pun dipercaya untuk mengoperasikan meriam di kapal itu. Sejak itulah, hidup Slamet seperti menjadi bagian dari Kapal Republik Indonesia (KRI) Samadikun, nama Indonesia dari kapal yang dibuat di Pabrik Avondale Marine Westwego, Los Angeles, AS. Angka “341” yang tergambar di bagian depan kapal, tidak pernah hilang dari ingatan Slamet.

Anak Panti
Seumpama naik turunnya gelombang di tepian pantai, boleh jadi demikian juga dengan perjalanan Slamet, sampai menjadi seorang prajurit Angkatan Laut. Dilahirkan sebagai anak ke empat dari sembilan bersaudara, Slamet harus ditinggal sang ayah, bahkan saat ia belum menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Hanya memiliki ibu tanpa ayah, Slamet kecil sepenuhnya sadar akan beratnya hidup yang harus dilalui.

Slamet mengingat, belum ada satu pun dari kakaknya yang cukup dewasa untuk membantu sang ibu menghidupi keluarga. Beruntung, Slamet memiliki seorang bulik (bibi) yang bekerja di Panti Asuhan Don Bosco Surabaya, Jawa Timur. Sang bibi yang bekerja sebagai tukang masak panti inilah yang lalu memasukkan Slamet ke panti tempat ia bekerja. Sejak itulah, Slamet mulai tinggal di panti, bersama salah satu adiknya. “Dari situlah saya mulai melanjutkan sekolah dan tinggal di panti asuhan,” kenang suami Cicilia Maria Sri Hariati ini.

Mungkin memang sudah menjadi jalan yang Tuhan tunjukkan untuk Slamet, sebab di tempat ini juga, Slamet lalu mengenal apa itu “Katolik”. Slamet pun menyerah pada teladan cinta Yesus, dan dibaptis tahun 1958. “Saya memberitahu Romo orang Belanda, bahwa saya ingin dibaptis. Romo lalu menyuruh saya belajar tentang iman Katolik selama beberapa saat, lalu saya dibaptis.”

Sebagai seorang beriman, Slamet ternyata ingin menempuh jalan yang lebih mulia lagi. Menjelang lulus sekolah menengah pertama, Slamet pernah menyampaikan ketertarikan untuk menjadi biarawan kepada Romo kepala panti. Namun, ternyata bukan jalan religius ini yang ditunjukkan sang imam. Setelah lulus, Slamet bersama empat temannya dikirim untuk bekerja di sebuah percetakan di Malang. “Saya hanya mengikuti saja apa yang menjadi arahan Romo, dan sejak lulus sekolah itu, saya langsung ke Malang dan bekerja.”

Prajurit Katolik
Namun, seperti Samuel yang taat mengikuti apa saja yang menjadi arahan Elia, begitu pula jalan hidup Slamet. Belum lama setelah Slamet mulai bekerja, seorang teman mengajaknya mengikuti ujian masuk untuk bergabung dalam Angkatan Laut. Yakin bahwa dia punya kemampuan untuk itu, Slamet lalu ikut tes masuk ABRI bersama empat temannya yang lain. Siapa sangka, Slamet menjadi salah satu yang lulus untuk menjadi calon prajurit Angkatan Laut. “Waktu itu, saya bersama empat teman lain yang mendaftar, tiga diantaranya diterima,” ujar Slamet.

Lulus tes masuk ABRI, Slamet lalu menghabiskan sembilan bulan menjalani pendidikan untuk menjadi prajurit yang tangguh. Slamet mengingat, masa ini termasuk enam bulan pendidikan di “ujung”, atau di Pangkalan Angkatan Laut ABRI di sebelah timur Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Saat akhirnya sah menjadi seorang prajurit pada tahun 1969, Slamet ditugaskan di Irian Jaya (sekarang Papua), yaitu di sebuah pulau di dekat Biak, sebelah timur Pulau Papua.

Slamet mengenang, saat di Biak inilah, hidup menjadi seorang prajurit dan sekaligus beriman Katolik benar-benar diuji. Tugas yang harus dijalankan Slamet, termasuk tugas patroli keamanan di daratan Irian yang ketika itu sangat rawan dengan tindak kekerasan. Tak jarang, Slamet harus berjalan di tengah rimba. Pada saat-saat inilah, Slamet tak lupa berserah kepada Tuhan. Dengan cara ini, ketakutan yang kadang melanda pun bisa sirna. “Kalau rasa takut ya pasti ada, tapi ya sebagai orang Katolik, saya berserah saja dengan berdoa,” kenang Slamet.

Di Biak, Slamet bekerjasama juga dengan penduduk setempat. Dalam setiap perjalanan, Slamet bertemu dengan masyarakat dan mencoba berdialog dengan mereka. Dalam perjumpaan ini, Slamet berusaha memberi nasihat kepada penduduk untuk jangan sampai ikut terlibat dalam gerombolan kriminal. “Kami bertemu saja dengan mereka, dan sedapat mungkin memberi nasihat kepada mereka.”

Pada pertengahan 1972, Slamet dipindahtugaskan di darat. Saat itu, Slamet bertugas di Surabaya. Sebagai seorang prajurit beragama Katolik, rasanya cukup menjadikan Slamet tidak tergoda untuk terpengaruh dengan hal-hal buruk yang saat itu ada di sekitar tempat tugasnya.

Panggilan Samudera
Samudera luas, sepertinya masih memanggil Slamet. Sekitar tujuh bulan tugas di darat, Slamet menjadi salah satu yang terpilih untuk menjemput beberapa kapal perang bekas kombatan Perang Vietnam, yang disumbangkan Pemerintah AS untuk Indonesia. Tiga bulan lamanya, Slamet menjalani pelatihan di Hawaii. Di sanalah, Slamet belajar mengoperasikan meriam yang menempel di kapal itu. “Waktu itu, semua mesin masih manual, termasuk meriam harus ada orang yang mengoperasikan, tidak otomatis seperti kapal-kapal sekarang,” kenang Slamet.

Sesaat mengikuti pendidikan di Hawaii, Slamet lalu membawa pulang kapal itu mengarungi Samudera Pasifik. Tiga bulan lamanya, Slamet melawan ombak dan badai di perairan yang terletak antara benua Amerika dan Asia itu. Setelah menjadi bagian dari armada Angkatan Laut Republik Indonesia, kapal ini lalu diberi nama KRI Samadikun. “Saat ini kapal ini sudah tidak aktif, tapi saya selalu ingat angka yang tertulis di kapal ini, ‘341’,” kenang Slamet.

Slamet yang memiliki pangkat terakhir Serma (Sersan Mayor) ini kini menghabiskan waktu pensiunnya bersama sang istri di sebuah kampung di Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Di rumah sederhananya, Slamet sesekali mengenang perjalanan hidupnya. Semilir angin dari pesisir di sekitar selat Madura kadang membawa kerinduan ke tempat-tempat yang dulu pernah disinggahinya selama bertugas.

Antonius E. Sugiyanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini